Generasi “Kripto”

Oleh
Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si.
Guru Besar Komunikasi Organisasi pada Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB) UPI,
Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI

Istilah “kripto” (crypto) dewasa ini kian melekat di benak masyarakat, terutama di sektor keuangan, sejak awal abad-21. Ia dinisbatkan kepada bentuk mata uang digital yang digunakan sebagai instrumen investasi. Padahal asal usul istilah ini telah ada sejak tiga ribu tahun lalu dari bahasa Yunani “kruptos”, yang bermakna “tersembunyi” atau “rahasia”. Merriam-Webster sendiri mengartikan istilah crypto sebagai “a person who adheres or belongs secretly to a party, sect, or other group” (seseorang yang menganut atau secara diam-diam menjadi bagian dari suatu partai, sekte, atau kelompok lain).

Sebagai instrumen investasi, sekaligus sebagai alat transaksi di beberapa negara, ternyata popularitas mata uang kripto kian menggeliat secara eksponensial. Di Indonesia sendiri, menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), jumlah investornya per akhir Februari 2021 telah tembus 4,2 juta orang, yakni dua kali lipat jumlah investor saham yang memegang single investor identification (SID). Padahal pada awal-awal kemunculannya, mata uang virtual ini banyak disangsikan, bahkan menuai beragam kritik karena dinilai tidak memiliki aset dasar (underlying).

Tampaknya, kelemahan karakter aset kripto tidak begitu dipersoalkan oleh banyak generasi milenial. Data menunjukkan bahwa generasi tersebut adalah kontributor terbesar dalam investasi digital ini. Saya menyebutnya sebagai fenomena “generasi kripto”. Namun, dibalik fenomena ini, khususnya di Indonesia, muncul benih-benih kekhawatiran yang berpeluang merugikan kehidupan sosial dan ekonomi.

Kekhawatiran

Pertama, budaya investasi kripto dikhawatirkan menciptakan mentalitas instan terutama bagi investor milenial muda dan generasi-generasi sesudahnya. Karakter investasi kripto yang menjanjikan keuntungan tinggi dalam waktu singkat secara perlahan berpotensi mengubah definisi anak-anak muda terhadap pekerjaan. Kelak, mereka akan berfikir bahwa bekerja itu tidak harus menjadi pegawai ataupun menjadi pengusaha. Untuk mendapatkan uang, mereka cukup belajar strategi sukses berinvestasi, kemudian seiring waktu mereka akan menjadi investor yang ahli dan berpengalaman.

Bahkan, “pekerjaan” tersebut bisa dimulai sejak usia belasan tahun. Seorang remaja asal Amerika Serikat, Erik Finman, pernah membuktikannya. Ia sudah membeli bitcoin di usia 12 tahun, dan enam tahun kemudian ia telah menghasilkan 403 koin yang waktu itu nilainya mencapai sekitar 24,5 milyar rupiah (2017). Alhasil, ia berpandangan bahwa bersekolah formal sudah tidak lagi penting. Kisah semacam ini tidak mustahil dijadikan sebagai role model anak-anak remaja masa depan serta diduplikasi pola-pola kesuksesannya.

Jika fenomena demikian terjadi terlalu masif, dikhawatirkan generasi masa depan tidak lagi memandang sekolah formal itu sebagai “investasi” yang penting. Dari perspektif ekonomi, selain banyak membuang waktu dan biaya, return of investment-nya (ROI) juga terlalu lama. Boleh jadi mereka lebih memilih berinvestasi di aset kripto, dengan pengembalian (return) yang cepat, meski beresiko tinggi.

Kedua, selain mentalitas yang instan, fenomena tersebut juga berpeluang menghasilkan karakter dan perilaku “introvert” bahkan asosial. Ini seolah sesuai dengan istilah “kruptos” dari bahasa Yunani, yang bermakna “tersembunyi” (hidden). Kegiatan mencari uang dapat mereka lakukan hanya dengan “sembunyi-sembunyi” di rumah, bahkan di dalam kamar. Pekerjaan mereka hanya memonitor naik-turunnya nilai koin untuk menentukan kapan harus membeli dan menjual.

Apalagi, situasi demikian didukung oleh “habit digital” yang lain, seperti kemudahan membeli makanan secara delivery, membeli barang-barang di platform e-commerce, mengisi token, membayar tagihan dan sebagainya hanya melalui smartphone. Variabel-variabel tersebut seolah semakin menyempurnakan pembentukan generasi kripto yang demotivasional dalam berinteraksi sosial.

Ketiga, secara ekonomi, fenomena ini dapat berdampak terhadap perubahan landskap kegiatan ekonomi. Apabila tren berinvestasi di aset kripto mendisrupsi kegiatan investasi di pasar modal secara masif, besar kemungkinan kegiatan bisnis menghadapi ancaman yang serius. Sebagai contoh indikasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) di tanggal 19-23 April 2021mencatat adanya penurun signifikan aktivitas pasar modal dimana nilai transaksi rata-rata harian saham mengalami penurunan 11,3% dari pekan sebelumnya. Lebih jauh dari itu, fungsi lembaga-lembaga intermediasi keuangan yang seharusnya menghubungkan antara surplus unit (masyarakat) dan deficit unit (perusahaan) berpotensi tereliminasi.

Di waktu yang sama, kegiatan kewirausahaan menjadi semakin tidak populer. Rasio kewirausahaan di Indonesia yang saat ini baru di angka 3,47 persen menurut MenkopUKM (2020), boleh jadi akan semakin terdegradasi seiring dengan semakin besarnya jumlah investor kripto. Apalagi, jika peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia masih stagnan, maka akan lebih banyak milenial yang tidak tertarik terjun di dunia bisnis.

Tidak Ekstrem

Ketiga kekhawatiran yang disebutkan di atas, sebetulnya hanya sebuah eksperimentasi pikiran yang memprediksi kemungkinan di kuadran ekstrem. Boleh jadi praktiknya nanti tidak akan seekstrem itu, apalagi untuk konteks masyarakat Indonesia yang selama ini hidup dalam kehidupan yang relatif seimbang (moderat).

Dalam kuadran moderat, boleh jadi generasi masa depan tetap akan banyak berinvestasi di aset kripto, tapi seiring waktu mereka akan semakin bijaksana dan tetap berusaha menjaga titik ekulilibrium. Pekerjaan sebagai investor kripto tidak akan mensubstitusi penuh pekerjaan riil yang sudah ada, kalaupun ada kemungkinan hanya fenomena minor.

Bagaimanapun juga, kegiatan investasi sebagaimana dijelaskan oleh Karl-Erik Wärneryd (1988) dalam Handbook of Economic Psychology, berhubungan dengan persepsi ketidakpastian finansial masa depan, sehingga setiap individu sejatinya memiliki “wisdom” sendiri saat menjalaninya. Richard H. Thaler, peraih nobel ekonomi tahun 2017, dalam bukunya Mental Accounting and Consumer Choice (2008) menyebutkan bahwa secara psikologis, setiap individu memiliki kecenderungan untuk membagi aset atau uang mereka dalam kategori-kategori tertentu berdasarkan tingkat utilitasnya. Berdasarkan analisis perilaku, baik rasional maupun emosional, pada umumnya seorang investor cenderung melakukan diversifikasi terhadap investasi beresiko maupun investasi yang aman.

Dengan kata lain, investasi beresiko tinggi di aset kripto tidak akan serta-merta mengeliminasi investasi beresiko rendah, seperti pada pasar uang atau obligasi. Yang kemungkinan akan banyak dilakukan adalah investasi berkarakter “hibrid” atau “omni”, dimana setiap individu mengalokasikan asetnya ke dua instrumen secara bersamaan, yakni yang riil dan yang virtual.

Jika perspektif “tengah” ini menjadi kesadaran umum, maka sesungguhnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Generasi kripto masa depan tidak perlu mendisrupsi semua sektor secara brutal: mensubstitusi sekolah formal, pekerjaan formal, dan investasi riil. Mereka juga tidak seharusnya menjadi manusia pemalas, instan, dan asosial. Sebagaimana definisi Merriam-Webster tentang kripto, pelakunya boleh diam-diam bermain di “sekte” (dunia) lain, tapi bukan berarti meninggalkan kehidupan nyatanya saat ini.

*Artikel ini telah dimuat di harian Pikiran Rakyat, 28 Desember 2021