Guru Berduka

Walau sang Saka merah putih tak berkibar  setengah tiang dan bendera kuning tak terpasang, kami sedang berkabung. Kami dirundung duka. Demikian tulis salah seorang sahabat, seorang dosen FKIP Universitas Cenderawasih (Uncen) dalam WA yang dikirim. Kami  berduka. Kami masgul dan sangat terpukul. Salah seorang alumnus terbaik FKIP Uncen menjadi salah satu dari dua orang guru yang tewas mengenaskan di Distrik Beoga  Kabupaten Puncak Papua pekan lalu (11/4/21).

Mereka menjadi korban yang sangat keji dari kebiadaban Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Mereka adalah Oktovianus Rayo (43) seorang guru SD di Distrik Beoga dan Yonathan Raden (28) guru SMPN Beoga. Keduanya guru terbaik yang mendedikasikan seluruh jiwa raganya bertugas di Kabupaten Puncak. Kami mengutuk keras mengapa  guru sering menjadi korban kekerasan di daerah konflik. Padahal mereka tak membawa senjata. Mereka hanya memiliki pulpen dan potlot dengan sejumlah buku yang dibawa. Dengan cita cita luhur yang membara, mereka hanya ingin mendidik anak Papua bisa membaca dan menulis. Cita cita mulia agar generasi muda Papua memiliki literasi  pengetahuan yang memadai seperti generasi muda lainnya di daerah lain.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun merespon dengan mengecam keras penembakan guru di Papua tersebut. Lewat Instagram resmi PGRI yg ditandatangani Ketum Prof. Unifah Rosyidi, organisasi guru ini mengutuk dengan keras  tragedi brutal tsb. PGRI  menyampaikan lima point pernyataan. Diantaranya mengutuk keras penembakan guru tsb dan menyesalkan terjadinya pembakaran tiga gedung sekolah di Beoga Papua. PGRI juga meminta ada langkah serius dari pemerintah  pusat dan daerah untuk memberikan perlindungan optimal terhadap keselamatan guru, terutama guru yang bertugas di daerah pedalaman dan daerah rawan konflik.

Guru adalah penyuluh peradaban bangsa. Mereka mewakafkan diri untuk mencerdaskan generasi bangsa. Oleh sebab itu kehadiranya tempat tugas harus dilindungi. Palam perspektif internasional, guru sering menjadi korban sasaran brutal di daerah konflik. Koalisi global untuk perlindungan personal pendidikan atau Global Coalition to Protect education from Atttact – GCPEA (2014) merilis kekejaman brutal  yang dialami guru di 23 negara yang rawan  konflik bersenjata.

Negara Nigeria  misalnya, dalam kurun waktu dua tahun, pada tahun 2009 -2010 kelompok militan Boko Haram telah berhasil menculik 300 siswa perempuan dan membunuh lebih dari 171 orang guru. Pada wilayah Maguindano Philiphina Selatan, pada tahun 2010, kelompok tak dikenal bersenjata telah menembak mati kepala sekolah dan sejumlah guru SD. Selain resiko pembunuhan, banyak guru yang mengalami kekerasan seksual ketika sekolah dipakai  barack tentara. Kejadian serupa juga terjadi di Thailand Selatan,Colombia, dan Zimbabwe.

Negeri Paman Sam Amerika Serikat lain lagi. Tragedi penembakan Dylan Klebold   tahun 1999 yang menewaskan 24 orang. Peristiwa penembakan membabi buta terjadi di SMA Columbine Jefferson Collorado. Dua siswa Eric Haris & Dyland melakukan penembakan membabibuta. Dua belas siswa tewas seketika. Korban lainnya seorang guru tewas serta melukai 24 siswa lainnya. Sejarah hitam paling kelam terjadi pada tahun 1927. Dikenal dengan The Bath School Distater atau Bath School Masacre di Bath town Michigan. Dalam peristiwa pembantaian tersebut 38 siswa SD dan 6 guru terbunuh dan 58 orang terluka.

Peristiswa pembantaian guru juga kerap terjadi Pakistan. Tentara Taliban  sering melakukan provokasi dan pembantaian guru. Seorang anak bernama Malala Yousafzai melakukan protes keras atas perlakuan tentara Taliban yg bengis dan keji. Anak kecil mungil warga kampung Swat Valley Pakistan melakukan protes atas ketidakadilan tentara Taliban terhadap ayahnya yang menjadi guru. Kemudian Malala tampil menjadi aktifis cilik yang peduli menyuarakan  nasib anak perempuan di daerahnya. Beberapa tahun kemudian, Malala Yousafzai,  gadis kecil berkerudung pungsat terpilih sebagai  peraih hadiah Noble termuda, usia 16 tahun. Ia dinobatkan sebagai the youngest NOBLE Prize winner!

Itulah beberapa kasus kekerasan kepada guru di daerah konflik. Kembali pada kasus brutal yang menimpa dua orang guru di Beoga kabupaten Puncak Papua, semoga kasus itu terjadi untuk yang terakhir kali. Dua orang guru telah menjadi martir untuk pembangunan pendidikan di Papua. Banyak pekerjaan rumah harus dikerjakan. Percepatan pendidikan pendidikan di 11 kabupaten wilayah pegunungan Tengah Papua merupakan keniscayaan. Bila konflik masih terus berkecamuk, masyarakat setempat akan semakin dirugikan. Trauma masyarakat semakin  berkepanjangan. Guru dan siswa takut ke sekolah. Generasi muda Papua semakin tertinggal.

Kita yakin dua guru yang gugur telah berada dengan tenang di sisiNya. Mereka kesuma bangsa. Guru berduka !!! (Dinn Wahyudin)