Hanjeli dan Ekosistem Literasi
|Pagi dini hari di Selasa, 2 Juli 2024, kami meluncur menuju kampus FIP UPI untuk berkumpul bersama rombongan P2M (Pengabdian pada Masyarakat) fakultas. Tepat kami tiba, hiace luxury telah terparkir apik di bundaran di depan gymnasium Universitas Pendidikan Indonesia, Setiabudi.
Bersamaan dengan ketibaan di Fakultas Ilmu Pendidikan, ada notifikasi pesan WA di grup P2M program studi tepat di pukul 00.07 WIB, “Bapak ibu mobil sudah siap. Nomor lima. Dekat bundaran”,
Sejurus kemudian saya balas “siap”. Resonansi tak pernah bekerja sendirian.
Di temaram malam, rombongan dosen dan mahasiswa dari prodi lain berjalan merapat ke mobil Hiace yang sudah diberi tanda nomor. Ada sekitar 15 unit mobil hiace luxury, dengan kapasitas 8 s.d 10 orang setiap unitnya. Kurang lebih total ada 155 peserta.
Sekitar pukul 00.30 WIB sesuai rencana satu persatu rombongan mulai bergerak keluar UPI menuju lokasi pertama, masjid Cibadak. Estimasi ketibaan 3 jam 55 menit, tepat waktu subuh. Semestinya tiba 4.25 pagi, nyatanya kami tiba lebih cepat. Sekitar pukul 03.00 WIB sudah masuk area parkir masjid Cibadak yang luas dan nyaman.
Benar kata nabi saw dalam riwayat hadits, “jika bepergian hendaknya pada waktu (Duljah) malam, karena seolah-olah bumi itu terlipat pada waktu malam.” (HR Abu Dawud Nomor 2571, Al Hakim II/114, I/445, hasan)
Turun dari kendaraan, perlahan sejauh mata memandang saya melihat bangunan masjid dengan arsitektur bergaya Timur Tengah (Turki Ustmani) yang dikemas dengan nuansa modern/minimalis. Fasad didominasi oleh bidang yang diisi roster bercorak bintang islami, dalam paduan warna hitam dan tembaga. Bidang ber-roster sisi terluar (pinggir) dibentuk pola seperti mata busur anak panah. Kubah dengan corak terakota dan dicat warna emas semakin menambah kemegahan masjid. Sebagai musafir, saya terkesan dengan Masjid Daarul Matiin, Cibadak. Di pagi buta, terbuka lebar untuk yang sedang dalam safar. Toilet bersih, terpisah dengan tempat wudhu dan sholat antara laki-laki dan perempuan. Airnya yang bening nan sejuk, menggemericik menyapa epidermis kulit membangunkan sisa kantuk yang bergumul di lelap sekejap.
Pemandangan yang sangat maksyuk: para guru besar/ profesor, Dekan beserta jajarannya, dosen, dan mahasiswa semua berkumpul dalam ceruk sholat malam. Nampak tak ada beda jika dalam rumah Allah. Semua rengkuh dalam shaf tahajjudnya masing-masing, hingga adzan subuh berkumandang, shaf kembali dirapatkan. Kami sholat berjemaah. Suara imam sholat di masjid ini mengingatkan saya pada salah satu suara khas imam masjidil haram. Lantunan ayat Quran mirip syeikh Maher bin Hamad Al-Mu’aiqly. MaasyaAllah. InsyaAllah dengan permulaan yang baik perjalanan pengabdian pada masyarakat ini ada dalam ridho Allah.
Setelah subuh, semua rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Rute perjalanan semakin menantang, kelokannya melebihi kelok sembilan di Padang. Rute yang meliuk liuk, namun dengan lanskap pemandangan alam yang sendu karena langit sedikit berkabut. Sesekali saja saya tengok jendela, selebihnya mata terpejam tapi bukan tidur. Semata untuk meminimalisir mabuk kendaraan.
Pukul 08.00 pagi kami melipir sejenak di tujuan pertama, Desa wisata Hanjeli. Untuk mencapai balai pertemuan, kami mesti turun dari mobil untuk berjalan sedikit menanjak. Melewati warung pojok disambut warga setempat. Sudah banyak peserta yang lebih dulu tiba. Menyeruak harum jahe, agaknya semerbak mirip olahan bubur kacang ijo. Berbekal pengetahuan sebelum ke lokasi, saya pastikan itu adalah bubur hanjeli. Benar saja, di tenda sebelum masuk balai tersaji banyak gelas berisi bubur hanjeli. “Silakan dicicipi dulu bubur hanjelinya bu…”, sambut ibu-ibu paruh baya berkebaya biru navy dengan senyumnya yang manis dalam balutan gincu merah merekah. “Muhun bu, hatur nuhun..”( ya bu, terima kasih), sapa saya sambil memilih gelas berisi bubur hanjeli. Tidak asing di lidah saya, tepat 2 hari yang lalu saya pun membuat bubur kacang hijau tanpa santan. Penampakannya seperti ini, dengan harum jahe berpadu daun pandan. Bubur yang ini warnanya sedikit pucat, mungkin dimasak pakai gula putih bukan gula aren. Rasa manisnya pun bisa dipastikan dominan gula pasir. Di depan balai pertemuan semi permanen sudah tersaji pula nampan berisi macam-macam gorengan, di meja seberangnya ada nasi goreng, lalap timun dan tomat, sambal, telur ceplok, telur dadar, dan mie goreng. Tak lupa air teh tawar panas dalam dispenser stainless bebas tuang, secangkir teh panas cukup menghangatkan perut yang sudah mulai kedinginan diterpa AC perjalanan.
Sambil menyantap sarapan, ada pemaparan dari abah Asep penggagas desa wisata hanjeli ini. Jelas terdengar sejarah awal mula desa wisata ini berdiri dan penjelasan mengenai hanjeli sebagai pangan alternatif selain beras.
Pandangan saya menyapu sekitar, kembali menemukan keunikan bahwa ada banyak preferensi orang berkunjung ke tempat baru. Ada yang fokus pada bungkus, ada yang fokus pada filosofi, ada yang sekedar berfoto selfi tanpa peduli esensi atau hanya sekedar membeli tanpa mencari.
Beranjak dari tempat duduk, saya mendekati ibu-ibu yang sedari tadi menyambut rombongan kami. Menyelami perasaan dan mengindera apa yang dapat saya tarik ke permukaan sebagai pelajaran hidup. “hai, ini desa wisata, jangan terlalu serius”, bukan Thinking extrovert namanya jika tidak menganalisis untuk meyakini pengalamannya sendiri. Kalibrasi logika rasanya ya berkunjung ke tempat-tempat seperti ini. Mengamati, menyelami, merefleksi, dan memaknai.
“Raos bubur hanjelina, bu…mung nganggo gula bodasnya? (enak bubur hanjelinya, bu…hanya pakai gula putih ya?), celoteh saya membuka obrolan. “Alhamdulillah bu, muhun nganggo gula bereum sareng gula bodas..upami ieu mah kaleresan abdi anu ngadamelna, hanjelina direndem heula sawengi teras diwasuh, digodog weh sareng jahe, sareng gulana..sapertos ngadamel bubur kacang hejo da sami. (Alhamdulillah bu, betul pakai gula merah dan gula putih, kalau ini kebetulan yang membuatnya saya, hanjelinya direndam dulu semalam, lalu dicuci, direbus saja dengan jahe dan gulanya…seperti membuat bubur kacang hijau kok, sama), jelasnya panjang lebar tanpa diminta. Pacing and leading dalam komunikasi interpesonal yang membuka tabir lawan bicara tanpa diminta.
Obrolan dengan bu Aminah dan bu Mpok mengalir, banyak makna yang saya ikat dari penjelasan mereka yang bersahaja. Filosofinya mirip seperti hanjeli, tanaman yang sederhana namun memiliki banyak manfaat. Ibu-ibu di Desa Hanjeli ini mengajarkan nilai kesederhanaan dan pentingnya menghargai hal-hal kecil dalam kehidupan yang sering kali diabaikan namun memiliki dampak besar.
Tanpa ditanya, bu Aminah dengan senang hati menjelaskan tugas pokok dan fungsi (tupoksinya) sebagai peran sentral dalam menumbuk hanjeli. Ia menjelaskan rinci siklus hidup hanjeli mulai dari penanaman, pertumbuhan, panen, hingga reproduksi “abdi sareng ibu Koya tugasna ti ngawitan pembibitan dugi ka numbuk sareng pupuk deui, nanam sareng pare, mung panen tiasa tilu kali “(saya dengan bu Koya tugasnya dari mulai pembibitan, sampai menumbuk hingga pemupukan lagi, menanam bersamaan dengan padi, tetapi hanjeli bisa panen tiga kali). Hanjeli mengajarkan kita tentang siklus kehidupan, bahwa setiap tahap memiliki peran dan nilai tersendiri, serta pentingnya menghargai setiap fase dalam hidup kita. Allohumma barik!
Bu mpok memanggil bu wati. Bu Wati nampak berlari kecil menghampiri titik saya berdiri di depan balai pertemuan di samping tenda. Seolah sudah kenal lama, kami berjabat tangan erat, saling mengenalkan diri kemudian lanjut mengobrol.
Mengobrol dan bercerita tentang pengalaman mereka. Desa ini nampak sesuai dengan filosofi hanjeli. Tanaman yang salah satu varietasnya bukan pangan, melainkan biji untuk dibuat gelang atau kerajinan tangan, bentuknya menyerupai air mata. Hanjeli mengajarkan nilai kebersamaan, keterhubungan, dan pentingnya dukungan sosial dalam kehidupan para ibu mantan TKW ini, tutur batin saya.
Sosok bu Wati, mantan TKW (Tenaga Kerja Wanita) ilegal dari Hongkong dan empat negara lain: Oman, Bahrain, Abu Dhabi dan Saudi Arabia “terakhir di Bahrain yang negara konflik, sampai saya dipenjara bu (tertawa)”, kenangnya.
Bukan bangga! tertawa adalah representasi alam bawah sadarnya bahwa ia berani dan mampu bertumbuh di berbagai kondisi lingkungan, seperti halnya tumbuhan hanjeli/sorgum atau jali-jali yang menjadi simbol keberanian dan ketahanan karena kemampuannya tumbuh di berbagai kondisi lingkungan. Pikir saya.
Bu Wati juga menguasai bahasa kanton (Hongkong), Inggris juga Arab secara verbal. Secuplik saya ajak komunikasi dalam tiga bahasa tersebut, dan memang penguasaan bahasa beliau bukanlah bahasa yang dipelajari dari kursus atau sekolah, melainkan bahasa natural yang direkam kognitif secara alami saat berinteraksi sosial dengan warga setempat.
“Saya sekolahnya di SMP, tapi kuliahnya katelkom (katel jeung baskom)”, selorohnya diikuti tawa renyah kami bersama. Ah, obrolan ringan penuh warna menyiratkan kebahagiaan dalam air wajahnya. Sebagaimana hanjeli atau kalau anda kenal lagu “Jali-Jali” dari Betawi?, nah itu sebuah metafora untuk kehidupan yang penuh warna dan kebahagiaan. Persis!
Sejurus kemudian, bu Wati menarik tangan saya untuk berjalan menuju bale rumah panggung yang terlihat di seberang tenda.
Melepas sepatu, saya menyapa putrinya yang berusia sekitar 8 tahun, yang tengah makan sendiri. Nampaknya ia mengalami disabilitas intelektual sindromik (down syndrom). Meski demikian percaya dirinya terpancar, seolah ekologis desa hanjeli ini mendukungnya untuk mudah beradaptasi sekalipun berkebutuhan khusus. Sama halnya dengan hanjeli, tanaman yang mudah tumbuh dan tahan terhadap kondisi tanah yang kurang subur, sehingga sering digunakan dalam program rehabilitasi lahan terdegradasi. Filosofi ini menunjukkan pentingnya ketahanan dan kemampuan beradaptasi dalam menghadapi tantangan hidup. Nilai ini mengajarkan untuk tetap tegar dan fleksibel di tengah perubahan dan kesulitan. Catatan pikiran yang entah ke berapa.
Putri bu Wati begitu gembira ketika saya sapa, raut wajah berbinar selain karena ia mengenakan kaos berwarna kuning cerah. Mungkin ini juga salah satu alasan mengapa bu Wati berhenti menjadi TKW dan memilih menjadi local guide di Desa Hanjeli, supaya ketahanan keluarga tetap terjaga dan anaknya dalam pelukan pengasuhannya, batin saya.
Masuk ke area dalam bale, dengan luas ruangan sekitar 3×4 meter persegi, terpajang banyak penghargaan abah Asep dan desa hanjeli. Beberapa di antaranya poster lengkap hasil sinergi dengan berbagai pihak. Singkatnya waktu kunjung membuat saya tak lagi berlama lama. Memilih beberapa produk hanjeli lalu membayarnya dengan Qris. Produk hanjeli tak hanya pangan, tapi juga obat tradisional dan kerajinan tangan, ini menyadarkan tentang pentingnya multifungsi dan diversifikasi dalam hidup, serta melihat potensi dari berbagai aspek diri kita atau situasi yang kita hadapi.
Sambil pamit ditutup dengan mengabadikan momentum kunjungan tersebut, dalam diam saya berpikir, desa ini merefleksikan filosofi tanaman hanjeli atau Jali-jali yang nama latinnya Coix lacryma-jobi. Betapa alam menjanjikan kesehatan mental manusia. Kisah hidup mereka mungkin pahit dengan sepak terjangnya berjuang hidup di negeri orang. Sebagai buruh migran, mereka berharap bisa memberikan penghidupan untuk keluarga, namun semua itu angan belaka, sampai akhirnya membangun desa menjadi pilihan bersama. Aktivitas membudidayakan hanjeli, kemungkinan merawat jiwa-jiwa lelah mereka sebelumnya saat ditempa menjadi buruh migran. Menanam dan merawat tanaman jali-jali dapat menjadi aktivitas yang terapeutik. Sebuah asumsi.
Berkebun seperti yang saya rasakan memang memiliki banyak manfaat untuk kesehatan mental, termasuk mengurangi stres, meningkatkan mood, dan memberikan perasaan pencapaian. Hal yang sama dilakukan oleh David Beckham setelah gantung sepatu dari sepak bola, menjadi petani daun bawang di pekarangan rumahnya. Serius!
Meninggalkan desa wisata Hanjeli menuju hotel Grand Inna Pelabuhan Ratu, membawa sebungkus makna dan sekelumit pertanyaan. “Desa Hanjeli Sukabumi ini begitu potensial, apakah generasi muda sekitar juga tahu dan pernah berkunjung kesini seperti kami dari Bandung?”
Pertanyaan pribadi ini terjawab ketika keesokan harinya, 3 Juli 2024 kami beserta tim P2M program studi perpustakaan dan sains informasi memberikan materi praktik di sekolah di Pelabuhan ratu yang dihadiri oleh sekitar 30 orang perwakilan.
Sayangnya yang lulusan Ilmu Perpustakaan hanya satu orang saja, dari Universitas Terbuka. Sisanya adalah guru dan tenaga kependidikan yang diperbantukan di perpustakaan. Bahkan ada juga yang tidak memiliki perpustakaan. Tentunya ini mencederai UU No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan sekolah.
Sebelumnya, peserta telah mendapatkan sesi pematerian secara daring. Sebelum memasuki kelas untuk memberikan pelatihan reading theatre, saya mendapat titipan pertanyaan saat daring dari peserta. Ketika itu saya di Malang, sehingga tidak hadir menyimak kelas daring. Pertanyaannya “memangnya kalau perpustakaan sekolah sudah bagus, koleksi memadai, ada pustakawannya, dikelola dengan program yang bagus, diakses banyak orang, itu supaya dapat akreditasi saja, cukup atau bagaimana?”. Saya hanya mengangguk mendapat pesanan pertanyaan untuk dijawab saat nanti di kelas.
Hingga, dalam prolog sebelum praktik reading theatre dimulai, satu persatu wajah peserta saya tatap, perkenalan singkat, diawali dengan pantun kemudian saya menjelaskan tema P2M kami tentang ekosistem literasi.
Disitulah saya bercerita pengalaman kemarin saat berkunjung ke Desa Hanjeli. Bahkan para peserta yang hadir yang notabene adalah penduduk Sukabumi sendiri belum pernah berkunjung kesana. Alih-alih mengajak peserta didik mereka berkunjung untuk belajar kearifan lokalnya sendiri. Padahal aksesnya hanya satu jam dari lokasi peserta. Desa Hanjeli berada di tengah, sehingga akses ke pelabuhan ratu, ujung genteng dan jampang terbilang dekat.
Fenomena yang sama ketika saya mendirikan rumah terapi buku Wangunsari sebagai taman bacaan masyarakat berbasis biblioterapi di Desa Wangunsasi Kecamatan Lembang. Lokasinya dekat dengan Desa astronomi dan peneropongan bintang Bosscha. Dari berbagai daerah berkunjung untuk meneropong bintang, belajar astronomi, sementara anak-anak di Desa Wangunsari yang dekat sekali tidak tahu, bahkan tidak pernah ada akses kesana. Miris sekali, bukan? Hingga kami membuat program field trip. Pengalaman berkesan long march ke beberapa situs astronomi di lingkungan sekitar rumah mereka, meski harus mendaki bukit yang cukup terjal. Inilah yang penting kita kenalkan sebagai ekosistem literasi.
Saya tegaskan bahwa, keberadaan perpustakaan sekolah selain untuk sarana pendukung akreditasi, secara fundamental adalah membangun ekosistem literasi: Membantu generasi mengenal budaya, tradisi, dan bahasa daerah mereka. Hal ini penting untuk menjaga warisan budaya agar tidak punah dan tetap hidup dalam masyarakat. Membantu membangun identitas dan kebanggaan diri. Generasi muda yang memahami sejarah dan budaya mereka cenderung memiliki rasa bangga dan percaya diri yang lebih tinggi. Ekosistem literasi melalui perpustakaan sekolah juga akan membantu generasi lebih toleran dan menghormati perbedaan.
“Disini, ada guru matematika, biologi, seni budaya, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, PKN, admin dan staf tata usaha sekalipun, pahamilah bahwa ekosistem literasi lokal memungkinkan materi pembelajaran disesuaikan dengan konteks lokal. Ini membuat pendidikan lebih relevan dan bermakna bagi siswa, karena mereka dapat mengaitkan pengetahuan yang diperoleh dengan lingkungan sekitar mereka. Siapa lagi yang akan membangun desanya, wilayahnya kalau bukan mereka peserta didik kita saat ini? Maka, secara sistematis, massive dan berkelanjutan, kita sepatutnya mengakui pentingnya perpustakaan sekolah sebagai katalisator peradaban.
Koleksi bahan pustaka yang tersedia dan dibaca di perpustakaan akan merawat dan mengasuh jiwa, mental mereka lebih beradab. Tak perlu menunggu mendapat penghargaan, atau gelar untuk berperan dalam peradaban, cukup dengan tidak melakukan potensi kejahatan yang ada dalam diri saja.
Siswa atau guru tidak bullying, siswa atau guru tidak seks bebas atau pelecehan seksual, siswa tidak tawuran, pendidik tidak selingkuh, pendidik tidak KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dan seterusnya, sampai kita hanya fokus pada potensi baik dalam diri dan menahan potensi kejahatan, maka kita sudah mengambil peran peradaban, itu adalah aset sejati Indonesia. Semua ini diikhtiarkan lewat kebiasaan membaca.
Membaca sastra melembutkan jiwa. Sastra mendidik jiwa agar berada pada jalur potensi baik dalam diri. Maka itu ada biblioterapi didaktik. Perpustakaan sebagai sarana penyembuhan jiwa. Membaca teks sastra, membaca teks sastra tingkat tinggi (bahasa Al Quran), dan pendampingan intensif dari pustakawan atau pendidik secara kolaboratif menjadi penting.
Kelas tiba-tiba sunyi, air haru menyeruak tertahan sejenak di kantung mata. Berusaha keluar dengan bijak, akhirnya membuncah juga. Ya, peserta yang hadir pun ikut terpapar dalam kesadaran penuh, mengapa mereka hadir disitu. Di kelas itu, dengan ragam latar belakangnya. Sudah skenario Allah. Mereka orang pilihan. Terbukti dalam praktik reading theatre dari buku sastra anak karya Ibu Murti Bunanta bertajuk “Mengapa Tubuh Udang Bengkok” peserta memiliki keterbacaan dan pemaknaan yang baik saat tampil. Pemilihan naskah reading theatre yang disajikan tentunya menyesuaikan dengan ekosistem literasi wilayah P2M di Pelabuhan Ratu yang notabene pesisir pantai. Sehingga, pemilihan tema sedapat mungkin yang dekat dengan situasi kehidupan mereka. Tokoh yang berperan ikan dan udang secara antropomorfistis.
Pesan dari kisah naskah reading theatre inilah yang menyadarkan potensi buruk dalam diri kita. Refleksi pesan dalam penceritaan, hingga berdampak pada tindakan.
Sebuah jalan panjang, berkelok, sunyi dan mendaki antara pelabuhan ratu dan Bandung yang menorehkan makna bagi saya pribadi: selaksa makna di masjid Daarul Matiin Cibadak, selaksa makna di Desa Hanjeli, selaksa makna di ruang kelas Pelabuhan ratu, ditambah beberapa “bungkus permen” manis, asam, asin, pedas (nano-nano) yang memberi warna rasa di jiwa selama perjalanan, yang sebagiannya telah saya bagikan dalam tulisan akhir pekan ini. Terima kasih untuk pembaca setia peradaban!
Ahad, 7 Juli 2024/ 1 Muharram 1446H
Salam biblioterapi,
Bunda Susan
@susan_motherpreneur
(Dosen Biblioterapi di Prodi Perpustakaan dan Sains Informasi, Depkurtekpen, FIP UPI Bandung. Founder Komunitas Biblioterapi Indonesia. Penulis buku biblioterapi untuk pengasuhan, biblioterapi untuk kecemasan dll. Penyedia layanan biblioterapi) follow IG @bibliotherapy.id @susan_motherpreneur. Email: [email protected].