HARI IBU, SAAT TEPAT “BACK TO CIRCLE ONE”

1

Oleh OONG KOMAR

(Guru Besar Tetap UPI dalam Bidang Ilmu PLS)

Pada hari Ibu, ada baiknya mengenang jasa dan keutamaan ibu sambil menganalisis bias gender atau bergeser/pudarnya beberapa peran ibu dalam keluarga seiring dengan era iptek sekarang ini. Jasa ibu sangat besar, sungguh luar biasa, sangat mulia, tak terbantahkan dan tak dapat diukur dengan apa pun. Hampir tak mungkin terbalas pengabdiannya itu.

Tak ada anak yang lahir tanpa ibu. Meski lahir bukan kemauan anak, suatu “vonis” atas kehendaknya. Sembilan bulan ibu mengandung. Selama itu membuat ibu penuh pengorbanan. Ketika anak masih di perut ibu, terbentang ruang yang memberinya rasa aman. Hanya ketulusan hati ibu yang tanpa pamrih sebagaimana dilukiskan dalam bait lagu: “hanya memberi// tak harap kembali// bagai sang surya// menyinari dunia”.

Namun, saat lahir merasa tiba-tiba terlempar ke dalam dunia lain. Bahkan segera disusul pengalaman baru seperti getir, lapar dan dahaga. Anak hanya dapat “protes” dengan menangis dan meronta, seolah-olah mohon pertolongan. Dalam keadaan tak berdaya, berbaring lemah dan berharap ada pertolongan segera untuk bertahan hidupnya. Figur ibu lagi-lagi tampil sebagai penolong segalanya.

NET
NET

Mother is warmth, mother is food, mother is the euphoric of satisfaction and scurity. Berkat kesabaran ibu, kondisi anak mampu survive. Bagaimanakah eksisting ibu, tak dapat dipisahkan dari apakah sebabnya wanita kawin? Alasan paling banyak, ternyata karena wanita ingin dapat keturunan, ingin jadi ibu, walaupun banyak pengorbanan batin. Motherhood takes precedence over wifehood. Kawin bagi wanita lebih banyak menderita.“…that they are willing to pay an exorbitant price for it even all the cost that marriage exact”. Jika memang benar, mengapakah lebih banyak memilih status kawin daripada tidak? Ternyata penderitaan bukan dari status perkawinan, melainkan kurang mampu memainkan peranan kehidupan berkeluarga. Yaitu, menghadapi tuntutan peran sebagai isteri (sex partner), pengurus keluarga (home maker), ibu (mother), teman (companion) dan intimitas kehidupan sosial.

Kaitannya dengan keutamaan sebagai ibu, maka untuk memainkan peran ibu di syaratkan memiliki integritas kejiwaan, yaitu suatu kondisi stabil emosi, produktif, kreatif, bertanggung jawab, religious dan bahagia.Syarat ini akan menjadi “vitamin psikologis” bagi kehidupan keluarga, terutama untuk menumbuh-kembangkan anak ke arah kedewasaan. Yaitu, andaikata ibu dapat menciptakan kondisi kasih-sayang, gembira dan bahagia dalam kehidupan keluarganya. Keluarga yang demikian itu, mungkin anak menjadi intimitas kehidupan sosial yang mesra, hangat, tenteram, senang, tenang, sabar dan merasa aman menghadapi persoalan hidupnya. Di samping itu, peran ibu dituntut mampu (a) membagi-bagi waktu dan tenaga di antara berbagai jenis pekerjaan keluarga, (b) membagi-bagi pekerjaan di antara anggota keluarga, (c) mengatur distribusi penggunaan uang, (d) mengurus makanan, pakaian dan bahan lain, (e) menjaga harta, ketertiban dan kebersihan rumah.

Suami juga harus mengakui kepuasan berkeluarga karena kehadiran seorang ibu bijaksana. Keutamaan ibu mendampinginya dalam suka dan duka, ibu dengan segala kesabaran dan kasih saying membesarka nanak-anak, ibu menjamin kehidupan keluarga yang harmonis, ekonomis, tertib, tenteram dan religius.Dengan demikian, banyaknya keluarga bahagia, memungkinkan terselengaranya masyarakat yang sejahtera.Kondisi demikian itu, dianggap sebagai indicator kesejahteraan masyarakat.

Jelas, keutamaan ibu adalah melahirkan anak dan mempersiapkannya untuk bertahan secara layak dan bermartabat dalam kehidupan. Tentu bukan sekedar upaya mengarahkan pertumbuhan naluri bertahan (survival instincts), melainkan membebaskan kemutlakan belenggu naluri. Upaya ini butuh masa yang panjang dan proses yang sangat lama. Upaya dimaksud merupakan persoalan bagaimana menyelenggarakan interaksi antara anak, ibu dan yang lainnya supaya dapat hidup bermasyarakat. Segala bantuan dari ibunya ditafsirkan sebagai interaksi sosial. Inilah hakekat pendidikan yang terbentang dalam proses sangat lama. Dari bayi sampai usia anak menjelang dewasa. Secara alami terjadi proses meninggalkan ibu dan sanak saudara untuk pergi mencari dan menemukan dirinya sendiri. Pendidikan merupakan bantuan menyiapkanl ingkungan yang kondusif.

Pendidikan bukanlah perbuatan melarang, memerintah dan mengajak anak. Pendidikan tidak secara langsung mempengaruhi anak, tetapi melalui penciptaan iklim psikologis dan penggunaan alat pendidikan atau secara tidak langsung (bacaan, permainan, tugas, contoh, dll).Di samping itu, terbentuknya individu bukanlah semata-mata hasil ibu, melainkan tak dapat dipisahkan dari keseluruhan masyarakat.

Peran ibu lebih besar dalam pendidikan anaknya. Anak belajar dari ibu mengenai pandangan hidup (way of life) yang membentuk persepsi anak terhadap kehidupan kelak. Namun dengan muncul gagasan peningkatan derajat hak ibu dan perbaikan kedudukannya, memiliki konsekwensi terhadap perubahan persepsi ibu mengenai dunia dan dirinya. Dengan perubahan ini ada aktivitas peranan ibu yang dikorbankan. Perubahan sosial ibu, ternyata makin menonjol. Kesempatan untuk bekerja yang makin terbuka lebar seiring dengan peluang ibu memperoleh pendidikan, mengakibatkan perubahan sosial peran ibu dalam keluarga mengalami pergeseran atau pudar.

Ibu yang meninggalkan rumah untuk bekerja karena didorong oleh kebutuhan keluarga, seperti membantu menambah keuangan keluarga, ambisi karier, memperbaiki kehidupan keluarga dan membuktikan kemampuan dan harga diri. Kondisi ini ternyata banyak masalah yang muncul, di antaranya (a) terjadi konflik batin antara meninggalkan peran ibu dalam keluarga dengan tanggung jawab pekerjaan, (kehilangan kontak dengan ibu-ibu di lingkungan masyarakatnya, terganggu konsentrasi akibat persoalan keluarga. Khusus, ibu yang menjadi TKW masalahnya lebih komplek seperti kasus penipuan ditelantarkan, dideportasi, tidak digaji majikan, mengalami kekerasan, pelecehan seksual, masalah suami poligami, anak salah urus, lahir “anak migran”, gangguan jiwa, menjalani hukuman, cacat seumur hidup dan meninggal dunia.

Akibat konflik batin, ibu bisa mengalami tekanan psikologis, yaitu gejala (a) keletihan dalam menyelesaikan kebutuhan di rumah dan tanggung jawab pekerjaan, (b) perasaan bersalah (guilty feellings), selalu was-was apakah meninggalkan anak dapat menimbulkan efek terhadap perkembangan mental anak? Apakah kehidupan keluarga menjadi terganggu? (c) house wife syndrome (menganggap fungsi ibu hanya mengelola keluarga) dan (d) psikosomatis. Secara akal sehat memang tak bias diterima, adanya ibu yang tidak memberikan perasaan kasih-sayang secara wajar pada anaknya yang baru lahir. Ibu dalam kondisi yang konflik, mungkin merasa dosa, benci, cemas, takut dan malu.

Jika hal ini terjadi, anak yang lahir tidak diterima dengan perasaan sayang, tetapi ibu kejam kepada anaknya dengan membunuh, membuangnya atau diterlantarkan. Jangankan sekejam itu, sekedar ibu memiliki sifat cemas, agresi, marah, benci, menggerutu, suka menyalahkan, suka bermain danbekerja terus-terusan akan mempengaruhi sifat yang dimiliki anaknya. Yaitu sifat anak yang peragu, merasa harga diri kurang, agresi, marah-marah, mudah tersinggung, membolos, melancong, alkoholik, tidak patuh dan tidak bergairah.

Setiap ibu yang bekerja di luar rumah diharapakan mendapatkan teknik mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Ibu memerlukan waktu khusus (moment of privacy) dan waktu luang sendiri (private leisure time).Dengan bekerja di luar rumah, menjadikan penampilan ibu lebih menarik, percaya diri, berpikir luas dan produktif.