HIPENDIS DAN UNIT LAYANAN DISABILITAS DI PERGURUAN TINGGI

Oleh:
Dr. Hidayat, Dpl. S.Ed. M.Si.
(Dosen dan Peneliti Departemen Pendidikan Khusus FIP dan Pascasarjana UPI)

Memperingati Hari Internasional Penyandang Disabilitas (HIPENDIS) yang jatuh pada tanggal 3 Desember 2017 dengan tema “Menuju Masyarakat Inklusif yang Tangguh dan Berkesinambungan” bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kecacatan, hak-hak fundamental para penyandang disabilitas dan integrasi para penyandang disabilitas didalam setiap aspek kehidupan utama, seperti aspek sosial, poiltik, ekonomi dan status budaya masyarakat mereka. Peringatan ini memperluas kesempatan untuk menginisiasi tindakan untuk mencapai tujuan kesetaraan hak asasi manusia dan kontribusi dalam masyarakat dari penyandang disabilitas, yang diluncurkan oleh Program Dunia: Aksi untuk para Penyandang Disabilitas, yang dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB pada tahun1982.

Berdasarkan data dari WHO (2016), ada sekitar 15% dari jumlah penduduk dunia, atau kurang lebih sebanyak satu milyar orang, adalah merupakan penyandang disabilitas. Kita seringkali tidak menyadari banyaknya penyandang disabilitas di seluruh dunia dan tantangan yang mereka hadapi. WHO mempunyai misi  untuk meningkatkan kualitas hidup bagi para penyandang disabilitas melalui upaya nasional, regional dan global serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampaknya disabilitas yang tidak memperoleh pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Pendidikan adalah hak setiap warga negara termasuk penyandang disabilitas. Untuk mewujudkan pendidikan yang ramah untuk keberagaman siswa dan mahasiswa, maka pemerintah menetapkan, setiap institusi pendidikan termasuk pendidikan tinggi wajib memiliki Unit Layanan Disabilitas (ULD).

Pada Pasal 42 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menyebutkan setiap penyelenggara pendidikan tinggi (Universitas) wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD). Salah satu fungsinya untuk membimbing dan mengevaluasi pelaksanaan akomodasi yang layak bagi mahasiswa penyandang disabilitas. “ULD ini nantinya menyediakan salah satunya layanan konseling bagi mahasiswa disabilitas. Dirjen Ristek Dikti menuturkan, perguruan tinggi yang tak melaksanakan pasal 42 ayat (3) UU Nomor 8 tersebut, dapat dikenai sanksi administrasi berupa teguran tertulis hingga pemberhentian aktivitas. “Namun, sanksi administrasinya perlu diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah). Berdasarkan pengamatan penulis, ternyta saat ini masih sedikit perguruan tinggi di Indonesia yang sudah menjalankan amanah UU Nomor: 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dengan demikian perlu Pimpinan Perguruan Tinggi membentuk peraturan tentang perlindungan hak-hak mahasiswa disabilitas dengan mengacu kepada UU Penyandang Disabilitas tersebut. Hal ini penting untuk mewujudkan pemahaman Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas (P4D) bagi masyarakat, supaya penerapan dan implementasi Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 itu berjalan optimal.

Meskipun demikian, Sunanto dan Hidayat, (2015) dalam penelitiannya mengevalusi inklusivitas proses pembelajaran menggunakan indeks inklusi (dalam Booth, T dan Ainscho, M. 2002). Hasilnya menunjukkan bahwa inklusivitas dalam proses pembelajaran di Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Tinggi masih belum ideal. Selain itu, sebagian besar guru dan dosen tidak merancang secara khusus saat mengajar di kelas yang ada siswa dan mahasiswa disabilitas. Hal ini disebabkan karena sebagian guru dan dosen belum memiliki  kompetensi dan pengetahuan tentang pembelajaran bagi siswa dan mahasiswa disabilitas. Sehingga perlu dirumuskan model layanan pendidikan bagi siswa dan mahasiswa disabilitas dalam seting pembelajaran yang ramah untuk keberagaman.

Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All) pada tahun 1990 di Thailand menegaskan, bahwa telah terjadi kesenjangan pendidikan, khususnya bagi kelompok tertentu yang  rentan akan diskriminasi dan eksklusi (UNESCO dan PLAN Indonesia, 2006).  Kelompok tersebut adalah anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan secara khusus disebutkan penyandang disabilitas. Untuk memperkuat deklarasi tersebut, pada tahun 1991, Persekutuan Bangsa Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi berupa peraturan standar mengenai Kesamaan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat (Standard Rules on Equalization of Opportunities for People With Disabilities). Salah satu resolusinya adalah mendesak negara-negara agar menjamin pendidikan bagi para penyandang disabilitas sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan umum.

Semangat Pendidikan untuk Semua dan Pendidikan inklusif juga telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, di antaranya: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Indonesia menindaklanjuti Pernyataan Salamanca, maka pada Januari 2003, Pemerintah menerbitkan Permen Diknas No. 70 Tahun 2009 (saat ini sedang dalam proses revisi) tentang Pendidikan inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Dengan adanya dukungan regulasi tersebut, tidak secara otomatis implementasi pendidikan inklusif dapat dilakukan secara mudah. Hingga saat ini implementasi pelaksanaan pendidikan inklusif masih menghadapi tantangan antara lain yang terkait dengan pemahaman konsep pendidikan inklusif oleh sebagian guru dan dosen, orang tua, masyarakat dan kompetensi sebagian guru dan dosen yang belum memadai dalam menangani anak dan mahasiswa berkebutuhan khusus dalam seting yang ramah untuk keberagaman siswa dan mahasiswa (inklusi), serta aksesibilitas fisik, psikologis dan sosial yang belum mendukung.

Pada dimensi lain, Pendidikan inklusif telah menjadi pilihan masyarakat internasional sebagai strategi untuk mewujudkan pendidikan yang tidak diskriminatif dan terbuka bagi semua siswa dan mahasiswa. Berbagai upaya telah dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia, namun aksi-aksi pendidikan inklusif masih terus dinantikan. Untuk mengembangkan implementasi pendidikan inklusif di sekolah, ada baiknya kita simak pandangan Ainscow, M, (2002) seorang pakar pendidikan inklusif dari University of Manchester di Inggris, yang menyampaikan kerangka kerja implementasi pendidikan inklusif di sekolah dengan empat tindakan, yaitu: (1) mengembangkan pemahaman konsep (concept) Pendidikan inklusif yang benar pada warga sekolah dan Perguruan tinggi, terutama kepala sekolah, guru, pimpinan Universitas, dosen dan staf. (2) mengembangkan kebijakan (policy) sekolah dan Perguruan Tinggi yang terkandung nilai-nilai dan prinsip Pendidikan inklusif. (3) mengembangkan struktur dan sistem yang fleksibel sehingga mudah untuk beradaptasi dalam rangka menyesuaikan dengan setiap siswa dan mahasiswa. (4) mempratikkan nilai-nilai Pendidikan inklusif dalam kegiatan sehari-hari di sekolah, Universitas, keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian, penyelenggara pendidikan tinggi diseluruh Indonesia sebaiknya segera membentuk atau memfasilitasi Unit Layanan Disabilitas dimaksud. Selain itu, konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas, yang juga telah diratifikasi pemerintah RI dengan UU Nomor: 19 Tahun 2011, mendorong pihak-pihak terkait, agar penyandang disabilitas juga mendapatkan haknya untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sekolah, universitas, keluarga dan di masyarakat.