In Memoriam Prof. Ahmad Slamet Hardjasujana: PENDAMBA INDONESIA YANG MEMBACA

Ahad, 14 Mei 2023 salah seorang mahaguru bidang pendidikan membaca, Prof. Dr. Ahmad Slamet Hardjasujana, M.A, M.Sc. Ed.S.,Ed.D., telah dipanggil oleh Allah SWT dengan tenang pada usianya yang ke-91  tahun. Kepergian beliau menghadap Al-Khaliq sudah barang tentu menyisakan duka, baik  bagi keluarga besar  sivitas akademika  UPI maupun sejumlah PTS LPTK di Jawa Barat, serta tentu saja bagi mahasiswa dan  guru-guru Mapel Bahasa Indonesia di seluruh negeri yang pernah mendapatkan kucuran  ilmu membaca dari dosen yang terkenal amat santun ini.

Prof. Ahmad Slamet, merupakan salah satu (atau satu-satunya?) pakar  dalam bidang pendidikan membaca yang dimiliki negeri ini yang secara formal memiliki ijazah doktoral dalam bidang membaca dari Reading Departement, School of Education di Indiana University Bloomington, AS.  Oleh karenanya sebelum dunia pendidikan negeri ini diramaikan istilah ‘literasi’ dengan berbagai ‘gerakannya’, sejak awal tahun 1980-an Prof. Ahmad Slamet  sudah menyosialisasikan  ihwal literasi kepada para mahasiswanya di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI yang kala itu masih bernama IKIP Bandung. 

Selanjutnya, bersama sastrawan Taufiq Ismail dan Ismail Marahimin, pakar Kepenulisan kreatif dari FIB UI,  peraih magister Linguistik ini, dengan dibantu oleh para asistennya masing-masing, selama  hampir 15 tahun melakukan safari ke berbagai pelosok tanah air berbagi kiat menatar guru-guru Bahasa Indonesia SMA/MA dan SMP/MTs. Ketiga mahaguru ini berbagi kiat-kiat praktis bagaimana menggelar pembelajaran literasi yang joyfull dan penuh makna kepada para siswa.  Berdasarkan sejumlah testimoni  alumni program penataran yang diberi nama MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) yang pendanaannya disokong oleh Kemendikbud  tersebut, banyak guru bahasa Indonesia SMA dan SMP yang  kemudian menjadi  penulis produktif serta mampu menjadikan para anak didiknya para juara literasi. 

Sebagai orang yang merasa pernah berguru ilmu membaca kepada Prof. Ahmad Slamet, saya ingin menuliskan beberapa pemikiran beliau  yang masih lekat dalam memori seputar peran dan urgensi penting literasi  dalam konteks pembangunan peradaban bangsa Indonesia.  Meski sayangnya, menurut saya hingga setakat ini sejumlah pemikiran bernas beliau masih belum banyak mendapatkan respons positif dari para pengambil keputusan yang diberi amanah mengurusi pendidikan negeri ini. 

Dalam banyak kesempatan sangat kerap Prof.Ahmad Slamet menekankan peran penting membaca dalam kehidupan umat manusia, baik dalam konteks individual maupun komunal. Beliau sering menyitir pernyataan  Prof. Leo Fay  mantan presiden IRA (International Reading Asociation) yang konon meyakinkan para koleganya dengan sebuah kalimat yang berbunyi, To read is to possess a power for transcending whatever physical human can muster. Juga ucapan Hartoonian, salah seorang politikus AS, saat  diwawancarai seorang wartawan, ihwal apa yang harus dilakukan bangsa Amerika untuk mempertahankan supremasinya sebagai negara adidaya. Dengan tegas, ujar Prof.Ahmad Slamet, politikus tersebut  menjawab, If me want to be a super power we must have individuals with much higher levels of literacy.

Menurut Prof. Ahmad Slamet, sebagai sebuah pembuktian atas pernyataan kedua tokoh tersebut, para ahli ekonomi telah membuat prakiraan bahwa kehidupan perekonomian mendatang akan menemukan sumber kekuatannya pada kegiatan yang bertalian dengan suatu sumber daya yang hanya ada pada manusia, yakni daya nalarnya. Sebab daya nalar tersebut merupakan sumber utama yang dimiliki oleh manusia untuk berkreasi dan beradaptasi agar mereka mampu memacu kehidupan dalam zaman teknologi yang semakin canggih dan berkembang. Nalar manusia hanya akan berkembang secara maksimal jika diasah melalui pendidikan. Dan jantung dari pendidikan, ujar Prof. Ahmad Slamet  adalah kegiatan membaca: Reading is the heart of education. Membaca juga merupakan alat utama agar seseorang dapat menggapai kehidupan yang baik, demikian katanya.

Atas dasar keyakinan tersebut dalam pengukuhannya sebagai mahaguru bidang membaca, Prof. Ahmad Slamet Hardjasujana secara gamblang mengatakan peran kemahiran membaca sebagai prasyarat bagi bangsa Indonesia untuk dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. “Jika kita memimpikan Nusantara ini sebagai negara kerta raharja, gemah ripah repah rapih, baldatun toyyibatun wa robbun ghafur maka rakyat Nusantara dituntut untuk menjadi masyarakat yang literat, yakni masyarakat yang menjadikan aktivitas baca-tulis sebagai bagian dari budaya hidupnya. Mengapa? Karena keterampilan membaca merupakan katalisator atau penghantar yang sangat ampuh untuk mendayagunakan sumber daya manusia Indonesia yang jumlahnya demikian dahsyat, yang sekarang belum dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya”, demikian ujarnya.

Di mata Prof. Ahmad Slamet, hanya masyarakat yang memiliki kebudayaan literasilah yang akan sanggup menyerap dan menganalisis, kemudian membuat sintesis dan evaluasi tentang informasi yang dapat mengambil keputusan menurut kemampuan nalar dan intuisinya. Juga hanya masyarakat Indonesia yang memiliki kompetensi baca-tulis mumpuni  yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, bekerja keras dan berkualitas, tangguh dan bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohaninya.

Atas dasar hal tersebut Prof. Ahmad Slamet meyakinkan para guru bidang studi apa pun untuk senantiasa membekali diri dengan berbagai kompetensi kiat-kiat membaca yang relevan jika mereka benar-benar menghendaki anak-anak didiknya mencapai prestasi yang diharapkan. Itu berarti, mata kuliah keterampilan membaca perlu diajarkan kepada seluruh mahasiswa calon guru.  Sangat disayangkan gagasan bernas nan strategis beliau ini masih sekadar wacana. Sependek pengetahuan penulis, hingga saat ini belum ada PT LPTK yang menerapkannya, termasuk di Universitas Pendidikan Indonesia. Bahkan saat Kemendikbudristek menggulirkan kebijakan Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar; yang jika memang memiliki keinginan gagasan Prof. Ahmad Slamet tersebut sangat mungkin untuk direalisasikan.***  

Kholid A. Harras

Pengajar pada Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI