INDOCIDE

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

BILA para ahli komunikasi organisasi percaya bahwa bangunan kepemimpinan bertumpu pada tindakan komunikatif, maka efektivitas pertukaran simbol dan tindakan simbolik adalah pilar-pilar yang menopang tegaknya muruah seorang pemimpin. Mungkin karena dilandasai doktrin ini pula dalam dua pekan terakhir, khususnya setelah unjuk rasa damai 4 November 2016, Presiden Joko Widodo gencar melakukan komunikasi simbolik untuk memastikan situasi tetap terkendali, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak terkoyak.

Praktik serupa diikuti oleh Panglima TNI dan Kapolri serta beberapa organisasi kemasyarakatan. Dalam serangkaian pertemuan yang digalang Presiden dan para petinggi lain, pesan menjaga keutuhan NKRI menjadi narasi besar, sedangkan memajukan toleransi demi memelihara kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi wacana utamanya. Bila dikaji dari perspektif komunikasi politik, komunikasi simbolik tentang pentingnya menjaga muruah Indonesia yang majemuk menarik dikaji karena terkait dua hal berikut.

Kesatu, untuk kesekian kalinya pesan tentang pentingnya hidup toleran dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia didengungkan kembali. Padahal, sudah sejak kejadiannya Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang majemuk.

Presiden dan para petinggi yang menyerukan pentingnya hidup toleran dipercaya akan bertindak layaknya dokter yang menangani pasien. Bila ada indikasi kemajemukan terancam akibat sikap intoleran harus dicari sebab-sebabnya, bukan hanya dibaca dan disikat gejalanya.

Seorang dokter yang memeriksa pasien dengan suhu tubuh yang tinggi tidak pernah melakukan tindakan hanya untuk menurunkan suhu tubuh, karena dokter paham panas tubuh yang tinggi hanyalah gejala dari sebuah penyakit. Alih-alih memberi obat penurun suhu tubuh, dokter akan melakukan tindakan, atau memberi obat yang dapat menyembuhkan penyakit yang menyebabkan gejala suhu tubuh naik.

Melakukan aktivitas simbolik untuk menegaskan negara hadir dan bekerja menjadi salah satu tugas pemerintah sebagai aparatur dalam mewujudkan tujuan negara. Namun, simbolisasi yang dilakukan pemerintah bisa jadi dimaknai berbeda oleh masyarakat. Hal ini amat mudah dipahami, sebab selain sebagai pengguna simbol manusia kadang-kadang menjadi penyalahguna simbol.

Seperti aktivitas komunikasi pada umumnya, melakukan aktivitas simbolik dimaksudkan untuk mengirim pesan. Namun, satu hal harus diingat, makna tidak melekat pada simbol yang dipertunjukkan, melainkan dibentuk oleh pikiran audiens. Aktivitas simbolik yang mempertontonkan Presiden Joko Widodo bersalaman dengan, dan digotong pasukan elite TNI, dan dalam kesempatan yang lain meneriakkan yel-yel bersama Pasukan Brimob, belum tentu menimbulkan makna yang sama di dalam benak audiens.

Karena berpotensi disalahtafsirkan, menampilkan aktivitas simbolik menuntut kecermatan dalam mempertimbangkan konteks yang melatari peristiwa dan kondisi sosial yang dialami audiens serta kadar dan intensitasnya. Menampilkan ikon-ikon kekuatan pertahanan dan keamanan negara di saat publik tidak merasa terancam akan memunculkan kesenjangan pemahaman tentang pesan yang ingin disampaikan Presiden dan makna yang dilekatkan audiens.

Kedua, tindakan Presiden dan para elite bangsa mendengungkan kembali pentingnya menghadirkan keindonesiaan (lengkap dengan toleransi dan kemajemukan yang telah menjadi ciri utamanya) menunjukkan telah terjadi pergeseran dalam simbolisasi ke-Indonesiaan. Keindonesiaan yang dulu serbahadir dalam beragam lansekap budaya, kini bergeser menjadi beragam rutinitas formal, seperti beragam aktivitas yang melibatkan pejabat negara, seminar, pelatihan, dan dikupas dalam beragam rapat. Jadi, keindonesiaan yang semula ramah dan bersahaja terangkat ke ruang-ruang formal dan mewah.

pak-karim-indocideDulu, keindonesiaan hadir dalam ritual paling sakral dalam ruang-ruang keluarga. Dalam setiap syukuran keluarga, baik ketika menyambut kelahiran anak, pemberian nama, sunatan, pernikahan, hingga mengenang kematian sanak famili bubur merah dan bubur putih selalu hadir. Sepasang bubur ini dinisbatkan sebagai representasi sang saka merah putih, sekaligus menjadi medium untuk mewariskan nilai-nilai keindonesia antargenerasi.

Di sawah ketika pak tani memanen padi, sepasang merah putih hadir. Pun ketika membangun rumah, bendera merah putih dililitkan di “suhunan” (kayu melintang penopang atap rumah), atau bubungan. Praktik seperti ini tidak hanya ditemukan di tatar Sunda, tetapi juga di pinggiran kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, di beberapa daerah lain.

Dalam ritus yang berbeda, keindonesiaan pun hadir dalam seni pertunjukan. Di tatar pantura Jawa Barat misalnya, setiap pertunjukan jaipong, atau kiliningan pasti dimulai dengan alunan lagu “Kembang Gadung”, sebagai lagu persembahan bagi karuhun (leluhur), para pejuang, dan pendiri republik dan lembur (kampung) tempat beranak-pinak. Sementara dalam seni tayub, lagu “Ayun Ambing” khusus didedikasikan kepada leluhur yang meletakkan pondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bagaimana kondisi hari ini? Melalui medium apa merah putih dihadirkan dalam ritus kehidupan keluarga?

Kebanyakan keluarga tidak lagi menghadirkan bubur merah dan bubur putih tatkala memberi nama putra-putrinya. Pun ketika mendirikan rumah. Juga ketika seni pertunjukan dipertontonkan, hawa panggung langsung dipanaskan lagu yang tengah hits.

Dalam film produksi nasional, sejak lama kita sulit menemukan bendera negara, atau simbol-simbol negara lainnya. Merah putih biasanya hanya muncul dalam film-film berlatar perjuangan. Padahal, jumlah film jenis ini amat sedikit.

Hal ini berbeda dengan film-film produksi Hollywood. Bendera Amerika (The Stars and Stripes) selalu muncul di dalam film yang diproduksi Hollywood, apa pun jenis ceritanya dan di mana pun latar kisahnya.

Senada dengan kebutuhan merawat kemajemukan Indonesia, berbagai pranata sosial yang mengandung pesan menanamkan keindonesiaan secara kultural harus dipelihara. Tentu saja kebutuhan ini bukan hanya didasarkan atas kepentingan untuk meringankan beban Presiden dan para pejabat negara, tetapi juga karena kemanjurannya yang telah teruji dalam menanamkan rasa cinta dan bangga sebagai Bangsa Indonesia.

Berbeda dengan aktivitas simbolik yang potensial disalahtafsirkan, melakukan tindakan prestisius diakui sebagai medium yang mempersatukan semua komponen bangsa. Ketika merah putih berkibar di ajang olimpiade, atau ketika pemerintah sukses menstabilkan nilai tukar dan menjamin ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau, rasa bangga sebagai bangsa Indonesia tumbuh.

Itulah sebabnya, memperbanyak tindakan prestisius akan mengokohkan NKRI, mengatrol kebanggaan, dan mempersatukan perbedaan karena latar belakangan dan kepentingan warga. Berbeda dengan aktivitas simbolik yang menuntut kecermatan dalam menakar frekuensinya, semakin banyak tindakan prestisius akan mendongkrak kebanggaan sebagai warga bangsa dan menipiskan perbedaan karena masalah-masalah kewargaan.

Di atas segalanya, membangun toleransi dan merawat kemajemukan Indonesia hanya bisa dilakukan dengan kejujuran. Hal ini penting agar klaim memajukan toleransi dan merawat kemajemukan tidak menjadi tindakan “indocide”, yakni tindakan yang seakan-akan mengokohkan bangunan NKRI namun sejatinya merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.***

sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/11/21/indocide-385444