Ingin Menjadi Warga Global, Kuasai Komunikasi dan Kolaborasi

DahidiLaporan AHMAD DAHIDI dari Osaka Jepang

KEMAMPUAN komunikasi dan kolaborasi merupakan dua aspek yang sangat diperlukan untuk mengisi kawah candradimuka globalisasi. Demikian dikemukakan Rektor UPI, Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. saat berkunjung ke Northern Lights Co., Ltd. di Osaka, Japan, Selasa (26/5/ 2015). Pada kunjungan tersebut, Rektor UPI mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada para sponsor Jepang yang tergabung dalam program OBIP maupun JBIP yang hingga kini sudah berjalan empat tahun dengan baik dan sangat kondusif.

Rektor UPI dalam kunjungan itu menyatakan, program OBIP maupun JBIP seperti ini sangatlah baik dan sangat perlu dilanjutkan. Sebab banyak manfaat yang bisa diraih baik oleh peserta itu sendiri maupun oleh lembaga. Setidaknya bagi peserta JBIP bisa belajar vokasional, belajar kultur kerja bangsa Jepang, dan dilihat dari perspektif pendidikan (secara langsung atau tidak langsung) para peserta JBIP akan belajar ketepatan managemen, sangat menunjang karier mereka, menunjang kreativitas, dan proses adaptasi mereka dalam kehidupannya. Mengingat demikian bermanfaatnya program JBIP ini, Rektor UPI pernah menawarkan kepada pemerintah Prancis, namun hingga saat ini belum bisa direalisasikan mengingat suatu dan lain hal.1

Penulis sendiri merintis program ini memerlukan waktu dua tahun. Kesulitan awal ketika gagasan ini penulis komunikasikan kepada para pimpinan di UPI maupun kepada para sponsor Jepang adalah “mengawinkan“ dan “menyelaraskan“ kegiatan JBIP agar tidak keluar dari tupoksi UPI sendiri. Lalu, karena biaya hidup di Jepang sangatlah mahal sehingga kalau beban biaya itu ditanggung oleh peserta, sangatlah sulit program ini diwujudkan. Berkat bantuan teman saya orang Jepang (dalam hal ini Mr. Okamoto Keigo, Mr. Yahata, dan Mr. Nabeshima), akhirnya gagasan ini mendapat dukungan penuh dan mencari sponsor lain yang mau bergabung dalam program ini. Perlu dijelaskan bahwa untuk mengajak perusahaan lain agar mau bergabung dalam program ini diperlukan kerja keras.

Prinsipnya setiap perusahaan ditempatkan satu orang mahasiswa. Jadi, untuk JBIP 2015, diperlukan 20 perusahaan yang bisa gabung, namun kenyataannya hanya 14 perusahaan. Kesulitan utama dalam program ini adalah mengimbau perusahaan sponsor agar mau menyisihkan dana bantuan untuk kepentingan peserta JBIP sebesar 200.000 yen (sekiat Rp 21 juta), yang dalam pengelolaannya, sebesar 150.000 yen dialokasikan untuk setiap peserta JBIP (tiket, akomodasi, transportasi lokal di Jepang), sedangkan sisanya untuk kepentingan di Jepang sendiri. “Untuk JBIP 2015, saya berkeliling tidak kurang dari 50 perusahaan di Osaka dan Tokyo“, demikian dikatakan Mr. Nabeshima yang menjadi patner diskusi penulis untuk program ini.

Pada pertemuan tersebut dihadiri Mr. Okamoto Keigo (President Direktur OHRE Osaka), Prof. Dr. Syihabudin (Ketua Senat Akademik UPI), dan sejumlah orang yang terkait dengan program JBIP. Rektor UPI menyampaikan juga bahwa program semacam OBIP atau JBIP sangatlah langka. Menurut hemat penulis boleh dikatakan program JBIP ini merupakan program kegiatan mahasiswa yang pertama di Indonesia. Tidak berlebihan jika UPI dikatakan sebagai lembaga “penerobos“ sekaligus penggagas, dan bisa dikatakan pula sebagai “ing madya mangun karso“ dalam persektif pendidikan global.

Wawasan mahasiswa (bukan saja mahasiswa di UPI) tapi di seluruh perguruan tinggi di Indonesia sangat perlu diperbanyak program yang serupa. Buktinya dalam perjalanan empat tahun ini, yang semula pesertanya hanyalah mahasiswa UPI, ternyata dalam perjalanannya empat tahun ini animo peminat mahasiswa lain cukup banyak. Oleh sebab itu, diputuskan oleh perusahaan sponsor untuk JBIP 2014 dan seterusnya (termasuk JBIP 2015) akan dilibatkan perguruan tinggi lain. Untuk JBIP 2015 melibatkan 9 perguruan tinggi di Indonesia, yaitu UPI, ITB, Unikom, Widyatama, STBA, UNES, UMY, UNJ, dan ITS.

Menurut hemat penulis, keterlibatan perguruan tinggi lain dalam program JBIP ada baiknya sebab bisa dijadikan tolak ukur dan daya saing yang sehat untuk menumbuhkembangkan kemampuan mahasiswa di Indonesia. Kemampuan bahasa Jepang itu sendiri, bahasa Inggris dan yang lebih penting lagi adalah kemampuan adaptasi di masyarakat Jepang. Seperti ditegaskan oleh Rektor UPI bahwa komunikasi dan adaptasi adalah aspek yang sangat penting untuk menyongsong kehidupan global yang lebih baik.3

Sebaliknya, sponsor Jepang yang diwakili Mr. Yahata (President Northern Lights Co., Ltd. Japan) mengharapkan bahwa dorongan belajar bahasa Jepang orang Indonesia itu tidak hanya ingin belajar bahasa dan budaya Jepang seperti anime, komik dan sejenisnya, namun ada yang lebih penting lagi, yaitu agar diperbanyak juga motivasi belajar bahasa Jepang itu dalam rangka untuk kepentingan bekerja di perusahaan Jepang.

Memang, selama penulis mengidentifikasi peminat OBIP ataupun JBIP yang penulis baca dari alasan mereka ingin mengikuti program ini, mayoritas terdorong oleh anime dan komik Jepang. Sangat sedikit di antara mereka yang menuliskan kebulatan tekadnya bahwa apabila mereka lulus nanti ingin bekerja di perusahaan Jepang dan ingin menguasai ilmu tertentu dari perusahaan Jepang tersebut.

Pertemuan pimpinan UPI dan perwakilan sponsor Jepang yang sangat singkat namun sangat bermakna bagi perkembangan dan perjalanan JBIP ke depan ini, Rektor UPI melanjutkan perjalannnya kembali ke Tokyo untuk menyelenggarakan penelitian bersama dengan beberapa universitas di Jepang yang ada di Tokyo.