Insan Fadilah, Merintis Usaha Sejak Usia Muda

Bandung, UPI1

Hidup ini harus dijalani apa adanya. Kerja keras dan tekun memang harus namun tidak boleh ngoyo. Nggak usah target- targetan, toh hasilnya itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Pokoknya, kalau bekerja jujur dan selalu minta doa dari kedua orang tua. Hasilnya insya Allah akan baik. Demikian diungkapkan Insan Fadilah Fulki  tentang resep kesuksesannya menjadi penguasaha konveksi, Meskipun sibuk, ia bisa berkuliah dengan biaya sendiri.

Insan Fadilah lahir sebagai anak pertama dari empat bersaudara, 25 Juni 1990. Buah hati dari pasangan Agustia dan Ida Widaningsih ini tumbuh menjadi laki- laki yang mandiri dan membanggakan kedua orang tua. Sejak Sekolah Dasar hingga menginjak Sekolah Menengah Pertma ia selalu berada di peringkat tiga besar dalam kelasnya. Bahkan ketika Sekolah Menengah Pertama ia menjadi lulusan terbaik. Hidupnya terasa sempurna ketika kedua orang tua membanggakannya karena prestasi- prestasi yang diraihnya ketika itu. Dan memiliki keluarga yang harmonis, memiliki kedua orang tua yang utuh dan menyanyanginya sepenuh hati.

Namun ketika menginjak bangku Sekolah Menengah Atas dan ia masuk ke sekolah yang berstandar internasional lambat laun kehidupannya terasa berubah. Pada saat itu ia harus menelan kenyataan pahit bahwa keadaan ekonomi kedua orangtua sedang berada di bawah. Keadaan seperti ini mempengaruhi prestasi yang di raih olehnya, sangat jauh ketika ia di SD dan SMP yang selalu menduduki peringkat 3 besar di kelas. Pada saat itu hanya di beri uang saku yang sangat pas- pasan. Hanya cukup untuk ongkos dan makan seadanya. Sedangkan ia memiliki keperluan yang lainnya, yang tentunya tidak pernah cukup jika mengandalkan uang yang diberikan oleh orangtuanya itu.

Keadaan seperti itu membuatnya berpikir dan berusaha secara keras untuk mendapatkan uang tambahan agar semua keperluannya itu dapat terpenuhi. Ia dapat dikatakan orang yang pandai bergaul, memiliki teman yang banyak dan dari berbagai kalangan. Seorang pemilik salah satu distro di dekat rumah pun merupakan salah satu temannya. Ia memulai usaha untuk mendapatkan tambahan uang saku dengan bekerja sama dengan temannya tersebut. Caranya dengan mengambil kaos ke temannya tersebut dan kemudian dijual kembali kepada teman- temannya.

Untung yang di dapat pun tidaklah banyak. Hanya sekitar lima ribu sampai dua puluh ribu rupiah per kaos. Namun ia rajin mengumpulkan hasil dari berjualannya dengan sedikit demi sedikit sehingga keperluannya dapat terpenuhi walaupun tidak semua keperluan terpenuhi. Tidak jarang ia mengalami kerugian ketika temannya mengambil kaos kepadanya tapi tidak di bayar sama sekali. Namun ia harus tetap mengganti kepada pemilik distro. Usaha kecil- kecilannya pun berjalan dengan penuh rintangan. Dan ia mencoba peruntungannya di usaha lain, dengan sedikit modal yang didapat dari berjualan kaos ia mulai dengan mendrop makanan khas sunda, cireng. Cireng di drop kepada setiap pedagang yang berjualan jajanan di sekolah dasar dan sekitar rumah.

Tidak semua pedagang itu jujur. Ketika ia dihadapkan dengan tugas sekolahnya, ia juga harus menghadapi seorang pedagang yang telah menipunya dengan modus meminta di drop cireng dengan jumlah banyak namun tidak mau membayar. Namun ia tidak pernah menyerah ketika ia sering mengalami kegagalan. Justru dari kerugian- kerugian yang sering ia dapatkan membuatnya bekerja keras lagi agar ia tidak terus- terusan kena tipu oleh orang yang tidak bertanggung jawab tersebut. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan usahanya tersebut dan tetap berjualan kaos yang ditambah dengan menjual sepatu. Yang bisa didapatkan pembeli dengan memesan dan membayar terlebih dahulu, ia belajar dari pengalamannya agar tidak terkena tipu lagi.

Lambat laun usahanya mulai stabil tepat pada saat ia akan menghadapi Ujian Nasional, setidaknya ia tidak banyak kekhawatiran dengan usahanya tersebut sehingga ia bisa fokus dalam menghadapi ujian. Dan pada saat itu pula kebahagiaan menghampiri ketika keadaan ekonomi keluarga mulai membaik walaupun belum sama seperti pada saat awal. Namun itu membuatnya tak henti mengucap syukur kepada Allah.

Nampaknya kebahagiaannya hanya bertahan sebentar. Ketika ia harus menelan kenyataan pahit kembali bahwa ia tidak masuk ke Perguruan Tinggi Negeri yang diinginkan. Ia merasa menjadi orang yang paling gagal di dunia ini. Ia kabur dari rumah, seperti kehilangan arah. Namun ibu yang sangat menyayanginya tak pernah berhenti memberi nasehat agar ia dapat menerima kenyataan. Ibu menyarankan agar ia mendaftar ke Perguruan Tinggi Swasta. Akhirnya ia mendengarkan nasehat ibu, dan ia masuk di  salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bandung. Karena kampusnya terletak diluar kota, ia mulai jauh dari kedua orangtua dan tinggal dirumah sang nenek. Tidak mudah baginya tinggal terpisah dengan orangtua. Namun ia tidak terlalu memikirkan hal tersebut.

Memang ketika awal perkuliahan ia masih dibiayai oleh orangtua. Namun menginjak semester kedua ia mulia berpikir kalau ia tidak ingin mengandalkan kedua orangtuanya. Ia pun bekerja lebih keras lagi melebihi ketika ia duduk di bangku SMA. Karena menurutnya seorang anak laki- laki pertama dan memiliki tiga orang adik tidak mungkin terus- terusan mengandalkan orangtua. Di salah satu universitas swasta itu menjadikan dirinya sebagai mahasiswa yang berprestasi dengan banyak meraih juara dalam pidato bahasa inggris dalam dua periode dan juara satu dalam penulisan artikel se- Jawa Barat. Dari menjuarai lomba- lomba tersebut ia memiliki modal untuk memperbesar usaha kecil- kecilannya ketika SMA. Dan lambat laun ia mulai merasakan keuntungan yang luar biasa sehingga ia dapat membayar uang kuliah dari hasil keringat sendiri. Ia tidak lagi mengandalkan kedua orangtua. Betapa bangga orangtuanya ketika anaknya mampu membiayai kuliah dengan sendiri.

Mungkin sebagian orang akan puas dengan hasil dan keadaan yang seperti itu. Namun tidak berlaku untuknya. Ada yang masih mengganjal dihatinya, untuk berkuliah di universitas negeri. Dan ia membulatkan tekadnya untuk mencoba test masuk perguruan tinggi negeri dan akhirnya ia diterima di Universitas Pendidikan Indonesia dengan jurusan Sastra Inggris. Tak henti ia mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga pada akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan dua semester yang telah dilaluinya dengan mulai lagi di semester pertama di universitas yang berbeda.

Ia tetap menjalankan usahanya tersebut dengan tekun. Teman dan kenalan dalam usahanya pun bertambah semakin banyak. Sampai ia memiliki rekan kerja yang mengajaknya untuk ikut dalam dua buah perusahaan, yaitu CV. Rancana Awasi Construction sebagai staff keuangan dan PT. Bakti Eka Perkasa sebagai staff operasional. Padahal pada saat itu ia adalah seorang mahasiswa namun banyak rekan kerjanya yang menaruh kepercayaan terhadapnya. Dan ia pun menjalani semuanya dengan penuh semangat dan kejujuran yang paling utama. Semuanya berjalan dengan lancar dan hasil dari bekerjanya ia mulai menabung sedikit demi sedikit serta masih membiayai kuliah dengan uang sendiri. Sampai pada akhirnya tabungannya sudah cukup untuk dipakai modal usaha.

Ia memutuskan untuk mulai membeli mesin jahit, sewa tempat, dan mencari penjahit yang handal. Ia membuka sebuah konveksi kecil- kecilan. Tidak dipungkiri pada awalnya konveksinya tersebut sepi akan pesanan. Namun semakin hari semakin banyak pesanan berdatangan dari teman- teman yang banyak dikenal olehnya. Lambat laun ia mulai membeli mesin jahit yang baru lagi dan mencari penjahit lagi untuk memenuhi pesanan yang tidak sedikit. Pesanan tidak hanya datang disekitar jawa, ada juga dari luar jawa bahkan dari luar Indonesia.

Pada tahun 2013 ia lulus dengan mangais gelar Sarjana Sastra Inggris. Ia menjadi lulusan terbaik di jurusannya tersebut. Ia bangga dengan hasil tersebut, terutama kedua orangtuanya, bahkan ibu sampai meneteskan air mata ketika mendengar anak pertamanya tersebut lulus sebagai lulusan terbaik dan tanpa mengandalkan biaya dari kedua orangtua. Yang Maha Kuasa seolah terus menunjukkan kasih sayangnya kepada ia. Beberapa bulan setelah lulus, ia dihubungi pihak kampus bahwa ada tawaran untuk bekerja di Polres Garut sebagai ajudan Wakapolres Garut. Tanpa harus test terlebih dahulu ia langsung diterima bekerja. Seakan tak kenal lelah, ia tetap menjalankan konveksinya dan menjabat sebagai ajudan pula. “Bagi saya keberhasilan saya saat ini semata karena Allah dan do’a kedua orang tua, benar- benar enggak saya duga”.

Insan telah menunjukkan kepada kita, ketika kenyataan pahit sering menghampiri kehidupan kita, itu bukannlah akhir dari segalanya. Maka tidak perlu berduka, apalagi sampai putus asa. Dan usia muda bukan halangan untuk memulai usaha, sekecil apapun usaha tersebut. Seperti kata Insan “harapan tetap terbentang luas kalau mau berusaha. Allah akan selalu menolong, asalkan kita terus menerus meminta padaNya serta jangan pernah memandang sebelah mata doa dari kedua orangtua.” (Thia Rahma Fauziah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)