Ironi Partai Politik dalam Pusaran Korupsi

oleh :

Dadan Rizwan Fauzi, S.Pd

(Mahasiswa Program Magister Prodi PKn SPs UPI)

Berbicara partai politik dan korupsi pada saat ini, dapat menimbulkan heteroginitas pandangan baik ataupun buruk. Tak ayal, kedua hal tersebut dapat menimbulkan sensitifitas emosional dikalangan masyarakat. Karena tidak dapat dipungkiri, kedua hal tersebut sedikit banyak telah membuat stigma politik dan ilmu politik menjadi buruk dan memperkuat alasan utama mengapa masyarakat menjadi apatis.

Bagaimana tidak, belum juga kekecewaan publik terhadap partai politik pulih karena pencalonan eks napi koruptor pada pemilu legislatif 2019, kini publik kembali dikecewakan dengan adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Romi) yang ahirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag), Jumat (14/3) pagi.

Jerat kasus korupsi pada Romi, sapaan Romahurmuziy, ini seakan mengingatkan kita pada sosok Ketua Umum Golkar 2016-2017 (Setya Novanto), Ketua Umum PPP 2007-2014 (Suryadharma Ali), Ketua Umum Partai Demokrat 2009-2014 (Anas Urbaningrum), dan Presiden PKS 2009-2014 (Luthfi Hasan Ishaaq). Mereka semua adalah politisi yang pernah terjerat kasus korupsi saat menjabat ketua partai. Kini, mereka semua sedang merasakan akibatnya dibalik jeruji besi.

Kausalitas Parpol dan Korupsi

Sudah sejak lama korupsi menjadi musuh besar negara. Namun, akhir-akhir ini, korupsi semakin menggila. Beranekaragam upaya, pencegahan, hingga punishment terus diupayakan. Tapi nyatanya, korupsi masih tidak takut dengan segala regulasi atau aturan yang berlaku. Upaya mencari celah dari berbagai sudut terus dilakukan, oleh mereka yang haus akan kekuasaan.

Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  yang dirilis pada 16 Agustus, 2018 lalu, sepanjang 2004 – Agustus 2018, terdapat 867 pejabat negara/pegawai swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 311 orang diantaranya berprofesi sebagai anggota Dewan Perwakila Rakyat Republik Indonesia dan Daerah (DPR-RI/DPRD), Gubernur, dan Bupati atau walikota, yang notabene hampir keseluruhan berlatar belakang dari partai politik.

Berpijak dari data tersebut, korupsi merupakan salah satu dampak nyata bobroknya pelaksanaan sistem partai yang dianut, terlebih dalam hal fungsi-fungsi partai. Fungsi yang hanya dijadikan sebatas formalitas, menjadikan output yang dihasilkan pun hanya sebatas formalitas untuk mencapai elektabilitas. Sehingga, setiap partai politik hanya mementingkan elektabilitas partai ketimbang kualitas dari partai itu sendiri.

Hal tersebut semakin membuktikan, bahwa adanya sebuah hubungan kausalitas antara korupsi dengan proses kepartaian. Semakin lemah fungsi pengawasan dan pembinaan partai terhadap kadernya, maka akan semakin tinggi pula kerugian negara yang dihasilkan dari aktor korup yang berasal dari partai. Sederhananya, kerugian negara semakin banyak, kepercayaan masyarakat pun akan semakin berkurang.

Kejahatan Kumulatif

Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada tiga persoalan dasar yang mendorong terjadinya korupsi.

Pertama, biaya politik kita masih sangat tinggi (high cost). Permasalahan ini berpangkal pada syarat pendirian partai dan pemenuhan syarat formal dalam kepersertaan partai dalam pemilu yang maha berat. Akibatnya, setiap calon terpilih dalam Pilpres dan pilkada akan berlomba mendapatkan sumber penghasilan dari pengusaha ataupun dari birokrasi agar bisa mengembalikan modal secara cepat.

Akumulasi dua hal ini membuat biaya pengelolaan organisasi partai menjadi sangat mahal. Persoalan ini tidak hanya terjadi pada partai-partai lama yang sudah mapan, akan tetapi juga terjadi pada partai baru yang menurut Edward Aspinall (2015) dikategorikan sebagai partai presindensialis, yakni partai yang didirikan oleh atau untuk para tokoh politik utama dengan latar belakang purnawirawan jenderal atau penguasa ekonomi yang punya ambisi untuk menjadi presiden.

Kedua, rendahnya transparansi dan akuntabilitas pembiayaan parpol. Hal ini mengakibatkan adanya persekongkolan antara pemberi dana dan para politisi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai bentuk balas budi yang sering kali menyebabkan penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara.

Akumulasi dari masalah ini, mengakibatkan masyarakat sulit mengontrol setiap partai politik dalam menetapkan perencanaan, penetapan program, proses penganggaran, pengadaan barang dan jasa publik, hingga perizinan atas atas dana yang berasal dari pihak ketiga.

Ketiga, Lemahnya Integritas dan moralitas pejabat partai. Proses pendidikan politik dan ideologisasi kader parpol yang tak selesai atau tak matang mengakibatkan kader yang mudah terjebak pada gemerlap jabatan dan kekuasaan. Selain itu, gaya hidup yang telanjur sangat tinggi, tuntutan tinggi untuk kontribusi bagi parpol, dan budaya patronase dalam birokrasi turut membentuk karakter seorang pejabat publik   dapat terjebak dalam penyalahgunaan wewenang.

Untuk sebagian orang, menjadi politisi adalah memperbaiki hidup dan nasib. Sebagian dari mereka percaya bahwa, probabilitas tertangkap oleh KPK masih jauh lebih kecil dibandingkan peluang keberhasilan melipat gandakan kekayaan. Sehingga itulah kenapa, mereka seolah tak takut dan tak peduli dengan kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK sejauh ini.

Perbaikan Menejemen Kepartaian

Jika dianalogikan, partai politik adalah sebuah mesin, sementara korupsi adalah hasilnya. Ketika mesin itu beroperasi dengan baik dan sesuai prosedur, maka hasilnya akan baik dan sesuai prosedur. Begitupun juga sebaliknya. Oleh karena itu, kita perlu mendorong Partai politik untuk melakukan perbaikan dan perubahan.

Ada tiga hal penting yang harus di perbaiki oleh setiap partai politik untuk mampu menjadi partai dan pemimpin yang berkualitas.

Pertama, pola rekrutmen. Dalam hal ini setidaknya setiap partai politik harus memiliki pola rekrutmen yang bersifat baku, inklusif, fairness (demokratis) dan akuntabel. Dengan kata lain, parameter penilaian rekrutmen pengurus partai dan pejabat publik lebih menekankan kepada keahlian, kecakapan teknis, dan pengalaman berorganisasi para kandidat ketimbang rekrutmen yang didasarkan atas kedekatan personal, termasuk kultural dan kekeluargaan.

Kedua, Sistem kaderisasi. Dalam hal ini, sistem kaderisasi yang dibangun oleh partai politik harus dilakukan secara inklusif dan fairness. Ini berarti bahwa proses kaderisasi harus dapat diikuti oleh semua anggota partai politik tanpa terkecuali, sehingga meminimalisir adanya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di internal partai. Dengan sistem persaingan yang sehat dan transparan seperti inilah kaderisasi kepemimpinan akan menghasilkan kader yang berkualitas.

Ketiga, pengelolaan keuangan partai. Dalam hal ini, setidaknya setiap partai politik harus membangun sistem keuangan yang transparan, akuntabel dan dapat diakses oleh publik secara luas. Hal itu sesuai dengan amanat UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik, di mana partai berkewajiban untuk mempublikasikan informasi partai, termasuk keuangan secara luas.

Dalam sistem manajemen modern, sistem keuangan akan menentukan sehat atau tidaknya sebuah organisasi. Oleh karena itu, sistem keuangan yang sehat dan transparan harus dimiliki dan disediakan oleh partai politik, sehingga mampu terbebas dari adanya indikasi penyalahgunaan wewenang (korupsi).

Dengan demikian, diharapkan ekosistem atau lingkaran korupsi ini bisa diatasi mulai dari pembenahan internal setiap partai politik. Karena, apabila setiap partai politik ini sudah steril dari praktek korupsi, lembaga yang lain pun akan ikut steril dengan sendirinya.