Jurus Linguistik Forensik Dalam Mengawal Demokratisasi Di Ruang Virtual
|Awal abad 21 ditandai dengan munculnya fenomena politik dunia yang penting dan menarik perhatian berbagai kalangan. Fenomena politik itu terutama berkaitan dengan berakhirnya Perang Dingin pada akhir abad 20, yang kemudian memunculkan perang baru, yakni perang melawan terorisme (war on terrorism). Isu sensitif yang melekat pada wacana terorisme inilah yang kemudian menjadi tema kajian, yang pada guliran berikutnya sangat mempengaruhi filosofi, ideologi, paradigma, dan pisau analisis terhadap peta jalan kajian saya tentang linguistik forensik dalam konteks demokratisasi di ruang virtual.
Hasil kajian menunjukkan bahwa isu terorisme bukanlah fenomena baru, namun pemaknaan atasnya menemukan kebaruannya pada awal abad 21 setelah terjadi peristiwa terorisme 11 September 2001 di Amerika Serikat, yaitu runtuhnya gedung WTC dan Pentagon akibat serangan teroris. Lebih jauh, kebaruan pemaknaan atas terorisme ini bisa kita amati jika kita menyimak Time Line of Terrorist yang disusun oleh US Department of Defense (2002:VI). Dalam dokumen Gedung Putih itu dijelaskan bahwa dalam rentang waktu yang mencakup tahun 1960- 1969, 1970-1979, 1980-1989, 1990-1999, dan 2001-2006, terdapat pergeseran kecenderungan pemaknaan atas peristiwa terorisme. Misalnya, sebelum era 2001-2006, hampir semua kejadian yang diidentifikasi sebagai kegiatan teroris tidak terkait dengan Islam maupun Timur Tengah. Namun pada era 2001-2006, kecenderungan ini berbalik secara diametral. Dokumen itu mencatat, dalam periode 2001 -2006 hampir semua aksi terorisme diidentifikasi sebagai terkait dengan Islam dan atau Timur Tengah. Setelah terjadi tragedi yang kemudian dikenal dengan sebutan Nine-eleven tersebut, dunia diguncang dengan perang baru yang diberi tajuk “Perang Global Melawan Terorisme” (Global War on Terrorism/GWOT), dengan Amerika Serikat sebagai motor penggeraknya. Sebagai sasaran, AS mengidentifikasi beberapa musuh: negara busuk (rogue states), senjata pemusnah masal (weapon of mass destruction/WMD), organisasi teroris, dan terorisme itu sendiri. Sejak itu, terorisme yang dulunya merupakan persoalan parsial masing- masing negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian dan keterlibatan semua negara.
Dalam tatapan linguistik forensik, propaganda war on terrorism ini dapat dimaknai sebagai “proses sekuritisasi”. Artinya, aktor sekuritisasi (securitizing actor) melakukan speech act untuk mengarahkan opini publik agar memandang suatu persoalan sebagai ancaman terhadap keamanan. Suatu isu menjadi isu keamanan bukan hanya karena adanya ancaman eksistensial (existential threat), melainkan lebih karena isu tersebut dihadirkan sebagai sebuah ancaman (presented as a threat). Cara pandang terhadap security semacam ini merupakan cara khas dari tradisi konstruktivisme. Dalam tradisi konstruktivisme, wacana tidak dipahami sebagai sesuatu yang given, melainkan constructed. Dalam analisis berikutnya, ditemukan fenomena konstruktiivisme ini ternyata berkelindan dengan muncul dan menyebarnya gejala post truth secara global, yang mengalami puncaknya pada 2016. Dua peristiwa yang menjadi momentum saat itu adalah keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Pada 2016. Kredo post truth yang paling popular adalah sebagaimana diungkapkan oleh Paul Joseph Goebbels (2018), “kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjelma sebagai kebenaran”.
Dalam konteks Indonesia pascareformasi, fenomena global di atas tampak terjadi juga. Hasil kajian menunjukkan semakin menguatnya kecenderungan hegemoni pemaknaan atas realitas oleh pihak yang lebih dominan, dalam hal ini negara dan media yang didikte oleh para konglomerat, terhadap pihak yang kurang dominan, dalam hal ini publik, terutama dalam pemberitaan tentang peristiwa terorisme, radikalisme, dan kejahatan terhadap prinsip-prinsip berdemokrasi dalam Pileg dan Pilpres. Ditemukan bahwa dalam media arus utama, baik cetak, elektronik, maupun virtual, terdapat tiga konstruksi pemberitaan yang menunjukkan kecenderungan terjadinya hegemoni pemaknaan. Konstruksi pertama, pengabaian terhadap asas kepatutan dan relevansi. Konstruksi kedua, media telah menempatkan dirinya bukan lagi semata- mata sebagai pelapor, melainkan telah bergerak terlalu jauh hingga menjadi interogator, bahkan inkuisitor (salah satu definisi dari istilah terakhir ini adalah a questioner who is excessively harsh alias “seorang pewawancara yang amat kasar”). Inilah salah satu wujud nyata dari apa yang disebut sebagai trial by the press, bahkan ia telah layak digolongkan sebagai terror dalam bentuk lain. Konstruksi ketiga, masih terkait dengan konstruksi nomor dua, media cenderung gegabah dan sepihak dalam hal akurasi dan kualitas informasi, dengan hanya mengandalkan informasi dari lembaga-lembaga resmi, seperti kalangan pemerintahan, lingkaran istana, dan kepolisian serta pihak-pihak lain yang merupakan representasi pihak yang berkuasa.
Wawasan ke masalah tersebut, melalui kajian dan praktik analisis linguistik forensik, dicoba dihampiri dengan bertumpu pada empat kerangka teori, yaitu teori semiosis, Model Organon, teori wacana kritis, dan pendekatan analisis wacana yang dimediasi komputer. Dengan menggunakan kerangka teori tersebut, tanda dan makna wacana interaktif di Internet yang terjadi pada konteks media dan konteks situasi komunikasi yang spesifik ditelusuri dan diperlihatkan sebagai indikator-indikator terjadinya proses demokratisasi. Arus informasi dan representasi simbolik tanda-tanda verbal, dengan cara mentransformasikan sinyal elektronik ke makna sosial, kiranya cukup ampuh untuk kemudian dibentuk menjadi lanskap atau semacam konseptualisasi tentang relasi kuasa (power relation) dalam bingkai pertarungan kekuasaan.
Dengan demikian, di tengah perdebatan pro-kontra, ungkapan optimisme-pesimisme, dan harapan yang cenderung utopis dan kecemasan yang cenderung distopis itu, tampaknya secara global, dalam batas-batas tertentu, Internet telah menjadi semacam “lokomotif” proses demokratisasi. Namun persoalannya, dalam perspektif kajian dan praktik analisis linguistik forensik untuk kepentingan penelusuran penggunaan bahasa berdampak hukum, muncul pertanyaan krusial: sejauh mana fenomena demokratisasi itu dapat ditelusuri dan diperlihatkan melalui indikator-indikator tanda-tanda verbal dalam proses pemaknaan dan proses kewacanaan di Internet, sehingga di satu sisi dapat meredam atau “menjinakkan” berbagai tuntutan risiko hukum dan kecenderungan kriminalisasi oleh pihak yang berkuasa dalam praktik penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan pengamalan prinsip kebebasan berekspresi dan kemerdekaan mengemukakan pendapat yang memang dijamin oleh konstitusi. Sementara di sisi lain, jurus linguistik forensik ini diharapkan dapat merawat, mendewasakan, dan menumbuhkembangkan atmosfer demokratisasi secara lebih rasional, santun, dan bermartabat (Prof. Dr. Drs. Aceng Ruhendi Syaifullah, M.Hum, Guru Besar Ilmu Linguistik Forensik Universitas Pendidikan Indonesia)