KAMPUS MERDEKA KOLABORATIF

oleh

SUWATNO

(Guru Besar Komunikasi Organisasi FPEB UPI, Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI)

Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MB-KM) telah dikonseptualisasi sejak 2020. Seharusnya kini waktunya Perguruan Tinggi (PT) dan segenap pemegang kepentingan (stakeholders) berkolaborasi merealisasikannya. Pandemi covid-19 memang menjadi tantangan tersendiri, tapi sebagaimana lagu yang dilantunkan Queen: the show must go on. “Pertunjukkan” harus terus dilanjutkan.

Sesuai konsepnya, kebijakan MB-KM ini didesain memberikan kesempatan mahasiswa untuk belajar tiga semester di luar program studi mereka. Ada delapan bentuk kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih, yakni magang, asistensi mengajar, penelitian, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, proyek independen, membangun desa atau pertukaran pelajar. Dari kedelapan program tersebut, barangkali kegiatan magang atau praktik kerja yang memiliki entry barriers (hambatan masuk) paling besar di era pandemi hari ini. Tidak sedikit perusahaan, baik besar maupun kecil, yang colaps dihantam covid-19. Bagaimana mereka bisa “menampung” mahasiswa?

Realitasnya memang demikian. Namun, indikator pemulihan situasi dan optimisme telah mulai tampak. Pertama, telah terjadi perbaikan pertumbuhan ekonomi, setidaknya ditunjukkan oleh data di kuartal 2 tahun 2021, yang tumbuh 7,07 persen. Meskipun angka tersebut adalah perbandingan di kuartal yang sama pada tahun sebelumnya yang mengalami penurunan paling parah, tapi justru kenaikan tersebut menunjukkan indikator pemulihan. Kedua, apabila target vaksinasi seluruh penduduk (selain yang dikecualikan) benar-benar terealisasi di tahun ini sebagaimana diprogramkan Kementerian Kesehatan, maka peluang terbangunnya herd immunity di tahun 2022 semakin besar, yang itu berarti kegiatan ekonomi bakal lebih bergeliat.

Untuk itu, segenap pemegang kepentingan kebijakan MB-KM harus mulai mempersiapkan program-programnya dari sekarang. Selain persiapan di level PT masing-masing, perusahaan-perusahaan yang bakal menjadi calon mitra magang juga harus mulai dijaring. Semua pihak harus menjalin kolaborasi untuk menyukseskan kebijakan tersebut.

Kata “kolaborasi” memang terkadang mudah diucapkan, namun belum tentu mudah dipraktikkan. Masyarakat Indonesia, meskipun menurut Hofstede memiliki budaya kolektivitas yang tinggi, tidak serta-merta berintensi untuk saling mendukung di ranah antar organisasi atau perusahaan. Tidak sedikit perusahaan yang lebih mempertimbangkan untung-rugi secara rasional dalam penerimaan peserta magang. Padahal, tujuan program MB-KM dari Kemendikbud sesungguhnya membawa misi yang lebih besar dan luhur, yakni misi kebangsaan dan pembangunan nasional, melalui pembentukan SDM unggul dan berkarakter.

Untuk itu, seharusnya semangat kolaborasi dipegang erat oleh semua perusahaan yang ada di tanah air. Berdasarkan data Sensus Ekonomi BPS tahun 2016, Indonesia memiliki 26,4 juta perusahaan yang terdiri dari Usaha Mikro Kecil (UMK) dan Usaha Menengah Besar (UMB), dimana sekitar 98 persennya adalah UMK. Dari angka tersebut, jumlah perusahaan terbanyak ada di Jawa Timur (4,6 juta), diikuti Jawa Barat (4,5 juta), dan Jawa Tengah (4,1 juta). Sementara itu, jumlah perusahaan paling sedikit ada di Kalimantan Utara (52 ribu), Papua Barat (73 ribu) dan Maluku Utara (81 ribu).

Apabila semua perusahaan yang ada tersebut mau berpartisipasi mendukung program ini, otomatis semua mahasiswa akan memiliki banyak pilihan lapangan pembelajaran. Sebagai gambaran, menurut data Kemendikbud, jumlah total mahasiswa di tahun 2019 ada 8,3 juta orang. Dari jumlah tersebut, yang terbanyak adalah mahasiswa ilmu pendidikan (1,8 juta) dan ilmu ekonomi (1,7 juta), diikuti oleh mahasiswa bidang ilmu sosial (1,6 juta), teknik (1,4 juta), kesehatan (664 ribu), dan lainnya seperti pertanian, MIPA, agama, humaniora dan seni. Semua mahasiswa tersebut tersebar di seluruh tanah air, dimana jumlah mahasiswa terbanyak ada di Banten (1,2 juta), Jawa Timur (994 ribu), Jawa Barat (878 ribu), dan DKI Jakarta (784 ribu).

Dari data-data tesebut, kita dapat mengetahui bahwa rasio jumlah total perusahaan dan mahasiswa adalah 3:1. Jika semua perusahaan yang ada mau menerima program magang, maka sebetulnya tidak ada kekhawatiran akan terbatasnya slot magang. Tentu masih perlu ada pengaturan baik yang sifatnya strategis maupun teknis, misalnya tentang manajemen sirkulasi (in and out) peserta magang, dan sebagainya. Selain itu juga tidak semua mahasiswa akan memilih magang, mengingat masih ada tujuh pilihan program yang lain.

Meski tidak semua mahasiswa memilih program magang, namun ada baiknya semua perusahaan yang ada, baik BUMN maupun swasta, didorong untuk terbuka menerima program tersebut. Dengan demikian kesempatan mahasiswa untuk belajar praktikal jauh lebih luas. Dalam hal ini, semua perusahaan harus memiliki mindset yang sama, yakni hakikatnya “tidak ada mahasiswa yang bodoh”, yang ada hanyalah mahasiswa yang belum diberi “kesempatan” belajar/bekerja di lingkungan yang tepat. Perusahaan harus berpandangan bahwa ketika mahasiswa sudah “dicemplungin” dalam pekerjaan, otomatis mereka akan mampu, dengan asumsi bahwa keterampilan manusia dibentuk oleh habit di lingkungannya.

Apalagi, syarat peserta magang harus berasal dari Program Studi yang terakreditasi. Syarat tersebut hakikatnya telah memenuhi standar minimal SDM yang “mampu belajar”. Selebihnya adalah metode perusahaan dalam membimbing dan meningkatkan keahlian peserta magang. Jika itu dilakukan dengan sepenuh hati, maka keuntungan (payoffs) dari program magang dapat bersifat mutualistik, dimana mahasiswa dapat menjalankan tugasnya, dan perusahaan terbantu oleh SDM dengan biaya rendah atau gratis.

Sekali lagi, kuncinya adalah kolaborasi. Camarihna-Matos & Afsarmanesh (2018) memaknai kolaborasi lebih luas dari sekadar kerjasama, karena kerjasama hanya berupa pertukaran atau sharing sumber daya. Sementara dalam kolaborasi, semua pihak berbagi informasi, sumber daya, dan tanggung jawab untuk bersama-sama merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam kolaborasi, semua pihak saling berbagi risiko dan tanggung jawab, memecahkan masalah bersama dengan penuh rasa saling percaya, serta melakukannnya dengan penuh dedikasi. Pemahaman demikian harus dimiliki oleh semua perusahaan, juga semua stakeholders lainnya, demi menyukseskan kebijakan progresif yang telah diinisiasi oleh Mas Menteri Nadiem tersebut. Sebaliknya, jika PT bertepuk sebelah tangan, maka yang terjadi ibarat berencana memproduksi banyak pesawat tanpa bandara.  

Opini ini telah tayang di harian Pikiran Rakyat Selasa, 24 Agustus 2021