Kembali Mencintai Makanan Nusantara dengan Eksotis

1PERPUTARAN waktu yang semakin menjurus kepada era globalisasi, menghasilkan banyak dampak bagi masyarakat, baik dampak positif ataupun negative. Tak hanya gaya berpakaian, budaya, atau pola hidup masyarakat yang banyak terpengaruh oleh masyarakat asing, tapi juga makanan lokal khas Indonesia. Dewasa ini, makanan local hampir tergeser posisinya oleh makanan asing. Masyarakat Indonesia cenderung memilih mengonsumsi makanan asing, seperti makanan Jepang, Korea, Amerika, Cina dan lain sebagainya karena mayoritas dari mereka beranggapan bahwa makanan asing lebih “keren” dibanding makanan negeri sendiri.

Memang sulit mengubah kebiasaan masyarakat yang memiliki persepsi terhadap kuliner asing. Namun apabila dibiarkan, masalah ini menjadi permasalahan besar yang mengakibatkan tergesernya makanan tradisional. Salah satu cara yang cukup efektif mengembalikan kecintaan masyarakat terhadap makanan tradisional adalah dengan ekshibisi makanan Nusantara. Itulah sebabnya, mahasiswa Manajemen Industri Katering Universitas Pendidikan Indonesia  kemudian menggelar Eksotis.2

Menurut ketua pelaksana Eksotis, Zahid Fathul Mubin, eksibisi ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan MIK untuk memperkenalkan pangan lokal, dan semua makanan yang disediakan adalah buatan kami semua. Meskipun sejauh ini Eksotis baru berlaga di ranah kampus UPI, tapi acara rutin tahunan ini berhasil menarik perhatian mahasiswa, dosen, bahkan pengunjung dari luar yang penasaran ingin mencicipi berbagai hidangan tradisional yang disajikan.

“Ada berbagai macam makanan ‘zaman dulu’ yang disajikan secara gratis bagi siapa pun yang ingin mencobanya, seperti tahu gejrot, burayot, lobi-lobi, sate, kue basah, dan masih banyak lagi,” ujar ketua pelaksana.3

Dalam rangkaian acara ini, makanan tertentu bahkan diperlihatkan cara pembuatannya, seperti mahasiswi MIK bernama Sara yang sedang membuat kue burayot. “Burayot ini berasal dari Garut, sebenarnya sama saja dengan Ali Agrem, namun berbeda dalam proses menggorengnya sehingga membuat bentuknya berbeda pula”.

Eksotis disambut baik oleh warga UPI, terlihat dari ramainya pengunjung selama diselenggarakannya acara, mereka terlihat antusias dengan berbagai hidangan yang cukup membuat mereka mengingat kembali masa lalu. Pengunjung bernama Ajeng misalnya mengaku rindu akan cemilan seperti kue basah yang kini sudah sangat jarang ditemuinya; “Sangat excited dengan adanya ekshibisi ini karena sudah lama juga tidak menyantap kue basah, susah juga sekarang carinya.”

Harapan terbesar diadakannya Eksotis ini adalah agar masyarakat setidaknya tergugah untuk kembali kepada makanan asalnya, yaitu makanan tradisional. Indonesia lebih kaya akan kuliner bukan? Lalu mengapa harus selalu bangga dengan makanan asing yang sebenarnya tidak lebih kuat dalam hal rasa? (Anita Fauziah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FPIPS UPI)4