Kembangkan Model Seni Terapeutik Untuk Anak Autis
|
Bandung, UPI
Model Seni Terapeutik dalam Pembelajaran Finger Painting yang diujicobakan kepada dua siswa autis untuk mengintervensi social-emosialnya, berhasil setingkat lebih tinggi perubahan pada siswa autis. Finger painting adalah gambar cetakan jari-jari tangan. Cara ini membuat syaraf-syaraf jari bergetar sampai ke otak. Itulah salah satu argumen tentang “Model Seni Terapeutik Dalam Pembelajaran Finger Painting” yang disampaikan oleh Dian Kencana, M.Pd. MM. mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni jenjang doktor Sekolah Pascasarjana UPI dalam sidang terbuka yang diselenggarakan di Auditorium SPs UPI, Jumat 28/10/2022. Sidang Promosi dipimpin oleh Direktur Sekolah Pascasarjana UPI, Prof. Dr. Syihabuddin, M.Pd. Para penguji adalah tiga pembimbing yaitu Prof. Juju Masunah, M.Hum, Ph.D., Prof. Dr. Endang Rochayadi, M.Pd. dan Dr. Tri Karyono, M.Sn, serta dua pengguji internal dan eksternal UPI yaitu Prof. Dr. Tati Narawati, M.Hum, dan Prof. Sofyan Salam, M.A, Ph.D. Pertamakalinya mahasiswa program doktor Pendidikan Seni lulus dengan pujian dalam 7 semester.
Judul lengkap disertasi Dr. Dian Kencana M.Pd. MM. adalah “Model Seni Terapeutik dalam Pembelajaran Finger Painting untuk mengembangkan Kecakapan Sosial Emosional Siswa Autis di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Purwakarta”. Sebuah penelitian multidisiplin dalam payung penelitian pendidikan multikultural, yang memfokuskan pada salah satu kelompok sosial yaitu siswa kebutuhan khusus. Beberapa mahasiswa pascasarjana Program Studi Pendidikan Seni, baik S2 maupun S3 memiliki perhatian kepada penelitian multidisiplin ini. Pendidikan Seni dapat dioptimalkan sebagai alat untuk mengintervensi siswa kebutuhan khusus, dengan beragam kekhususnya untuk mengoptimalkan kemampuannya.
Melalui Model Seni Terapeutik Dalam Pembelajaran Finger Painting siswa autis yang semula sering tantrum dan kurang interaksi sosial menjadi jarang tantrum bahkan tidak tantrum ketika pembelajaran berlangsung. Siswa dapat mengerjakan apa yang diminta guru. Penguji external dari Universitas Negeri Makasar, Prof. Sofyan Salam, M.A. Ph.D. mempertanyakan: “Sodari banyak mendikusikan hal-hal praktis dalam penelitian ini, landasan filosofis apa yang mendorong Anda melakukan penelitian ini?” Jawaban yang lantang disampaikan bahwa “landasan filosofisnya adalah kemanusian, kesetaraan, dan keadilan. Siswa autis dan siswa kebutuhan khusus lainnya perlu mendapat perhatian dan pendidikan yang sesuai untuk dapat menjadi anggota masyarakat dan berperan di masyarakat.”
Ada beberapa kegiatan seni yang dapat digunakan bagi anak-anak penderita Autis Spectrum Disorder (ASD), salah satunya adalah cetakan jari (Finger Painting). Cetakan jari (Finger Painting) adalah jenis kegiatan membuat gambar yang dilakukan dengan cara menggoreskan adonan warna (bubur warna) secara langsung dengan jari tangan secara bebas di atas bidang gambar, batasan jari disini adalah semua jari tangan, telapak tangan, sampai pergelangan tangan. Anak dengan Autis Spectrum Disorder (ASD), mengekspresikan hubungan antara dunia pikiran dan dunia luar melalui kegiatan cetakan jari. Gambar tersebut dapat menenangkan anak secara emosional. Bahan yang digunakan dalam karya seni juga dapat memberikan perasaan puas dan tenang kepada anak pada bidang integrasi sensori.

Berbeda dengan seni terapi yang mesti dilakukan oleh therapist karena bersifat klinis, seni terapeutik adalah aktivitas berkesenian yang mengedepankan penggunaan proses kreasi dan apresiasi seni yang sehat, bersifat terapeutik, namun tidak klinis. Seni terapeutik ini bisa dilakukan oleh profesi lain maupun secara individu dengan memenuhi beberapa syarat antara lain memahami seni dan memahami siswa. Secara umum, seni terapeutik dalam pembelajaran finger painting mendorong pertumbuhan mental dan emosional melalui pembuatan seni. Siswa autis didorong untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan diri menggunakan bahan seni. Kegiatan ini dapat menyenangkan dan menenangkan bagi mereka.
Model seni terapeutik memiliki tiga tahapan. Tahap Regulate atau regulasi emosi seni memiliki peran terutama pada penggunaan medium yang beragam misalnya pada kondisi panik atau cemas. Berkarya seni dapat membantu untuk regulasi/mengatur emosi, terutama agar dapat fokus kepada medium yang digunakan misalnya tepung terigu dan cat warna dari pewarna makanan yang digunakan untuk finger painting. Kemudian pada tahap yang kedua atau tahap Relate, karya seni dapat digunakan sebagai terapi atau dapat digunakan untuk katarsis serta untuk mengekspresikan diri melalui cara dan harapan untuk dapat menyampaikan ceritanya kepada orang lain, sehingga ada ekspresi yang ingin dikomunikasikan kepada orang lain. Yang ketiga adalah tahap Reason, dimana pada tahap ini adalah cara membuat karya yang dibuat menjadi masuk akal (meaning making).
Tentu saja dalam penelitian ini tidak mudah, karena seorang peneliti dituntut memiliki sikap sabar, kasih sayang, empati, membantu, dan cara pandang keadilan dan kesetaraan (equity dan equality). Dr. Dian Kencana, M.Pd. MM telah menunjukkan sikap itu dengan sebuah keberhasilan yang membuktikan teorinya: Seni Terapeutik dalam pembelajaran Finger Painting. Tentu, hasil penelitian ini tidak berhenti dalam ujian sidang, namun perlu disosialisasikan kepada guru-guru dan masyarakat, agar bermakna dalam kehidupan. (JM)