Keterbatasan Bukan Penghalang bagi Layla

Bandung, UPI3

Minoritas memang selalu terlihat jelas walau dalam kerumunan sekalipun. Itulah yang mungkin dirasakan Layla dengan keadaannya yang berbeda dari yang lainnya. Gadis bernama lengkap Layla Nurbayani Nusaibah lahir di Sumedang 19 April 1994 ini terlahir dari pasangan normal. Pada awalnya, Layla juga terlahir normal seperti bayi lainnya. Namun perbedaan itu mulai terlihat saat masa pertumbuhannya berjalan beberapa tahun kemudian. Entah apa yang menyebabkannya, padahal tidak ada pengalaman serupa dalam riwayat keluarga kedua orang tuanya.

Ketiga adiknya pun terlahir dan tumbuh normal. Meskipun demikian, Luthfi Abdul Syukur, Muhammad Fachru Rozi, dan Shidqiyya Hayya tetap menyayangi dan menghormati Layla sebagai seorang kakak. Anak sulung dari Reni Haryani dan Didi Tarmizi ini mempunyai tinggi badan kurang lebih 100 cm. Kedua orang tuanya sudah berusaha mencari cara agar putri kesayangannya ini bisa tumbuh seperti teman sebayanya. Namun apa daya apabila Tuhan berencana lain.

1Terlahir menjadi seorang minoritas bukan masalah besar bagi Layla. Dia menilai, hidup adalah ibadah. Perjalanan panjang sementara yang patut untuk disyukuri. Walau terkadang  ia merasa sedih tatkala melihat pandangan orang yang menatapnya berbeda. Namun hidup ini adalah kenyataan, bukan dongeng, sinetron ataupun khayalan. Senang, susah, pahit, manis tetap harus dijalani tidak bisa klik pause, skip, play ataupun stop begitu saja seperti dalam komputer. Maka, sepahit apa pun dan sekejamnya keadaan itulah yang menjadi pelajaran dan pelajaran bagi Layla.

Beberapa tahun berlalu dan Layla menjalani kehidupan layaknya manusia lain. Masuk Sekolah Dasar, menjalin pertemanan dengan yang lainnya, masuk Sekolah Menengah Pertama, masuk Sekolah Menengah Atas hingga akhirnya lulus. Dan siapa sangka orang sepertinya bisa masuk Universitas Negeri setingkat UPI dan mendapatkan beasiswa Bidikmisi karena pekerjaan orang tua sebagai wiraswasta. Ia selalu semangat mengikuti perkuliahan di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dan bahkan aktif di beberapa UKM.2

Dengan segala kekurangannya, Layla tetap semangat dalam menjalani seluruh proses hidupnya. Kedua orang tuanya sangat bangga dan terharu bisa melihat Layla mendapatkan pendidikan yang sangat bagus. Tidak pernah sekalipun ada penyesalan di hati orangtuanya bahkan mereka terus bersyukur bisa menjadi orangtua Layla. Merekalah sumber semangat Layla yang terus mendukung apa pun keputusan putri sulungnya itu.

Dari kecil sampai dengan sekarang hidup Layla terasa baik-baik saja, tidak ada yang berbeda meskipun nyatanya memang berbeda. Urusan terluka atau tidak itu adalah sebuah pilihan dan Layla memilih untuk tidak terluka dengan apa pun yang terjadi. Ia yakin bahwa  rezeki, umur, pendidikan dan jodoh itu semua sudah ada yang mengatur. Semua terbentuk dari mind set dan sugesti serta pandangan pada hidup ini. Dan Layla memandang hidupnya sama dengan orang lain di sekitarnya. Sikap, usaha, penampilannya pun sama seperti semua temannya tanpa bermaksud untuk diperlakukan berbeda ataupun spesial.

Baginya, hidup ini indah tak perlu cengeng meskipun harus bersahabat dengan hinaan. Hinaan yang datang kepada dirinya justru terus menambah kekuatannya untuk terus menjalani hidup. Layla tak menghiraukan mereka yang menghinanya. Yang terpenting baginya adalah fokus pada apa yang seharusnya ia pertanggungjawabkan kepada Tuhan dan orang tersayangnya yang telah menggantungkan harapan kepadanya. 4

Perbanyak berbaik sangka kepada Allah dan semua orang itu lebih baik daripada berlarut pada kesedihan yang tak berguna. Begitulah yang dipercayai Layla hingga ia bisa bertahan sampai detik ini. “Whatever people say, I don’t care.” Itulah ucapan yang sering ia tegaskan dalam hatinya. (Ai Dini Rindiani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)