“MATINYA” KANTOR

oleh

SUWATNO

Guru Besar Komunikasi Organisasi FPEB UPI,

Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI

Pandemi covid-19 telah mengakibatkan banyak kantor tutup. Ada yang sifatnya sementara, tidak sedikit pula yang tutup selamanya. Penyebabnya setidaknya ada dua. Pertama, kantor tersebut terkena aturan pembatasan kegiatan sehingga harus tutup sementara. Kedua, sebagian diantaranya terpaksa gulung tikar akibat stagnasi operasional bisnis yang berlarut-larut selama hampir dua tahun terahir.

Kantor-kantor milik pemerintah, BUMN dan kantor-kantor swasta besar tentu mayoritas hanya tutup sementara waktu. Sebagai contoh, baru-baru ini OJK menyampaikan bahwa ada 1.200 kantor cabang bank yang ditutup selama pandemi. Namun, aktivitas bisnis mereka tetap berjalan, hanya saja komunikasi perkantorannya berbeda, yakni lebih banyak menggunakan instrumen digital.

Covid-19 memang telah mendisrupsi konsep kantor sebagai tempat kerja (workplace). Beberapa tulisan di The Economist dan Forbes bahkan menyebutnya sebagai “the death of office” (kematian kantor). Namun yang menarik, berdasarkan survey Gallup pada Maret 2020, sebanyak 59% orang Amerika justru lebih senang bekerja di luar kantor, dan banyak diantara mereka justru lebih produktif bekerja di rumah. Dari perspektif perusahaan, mereka juga merasa senang karena dapat melakukan efisiensi biaya. (Tisch, 2020).

Secara teoritis, makna kantor sebagai tempat kerja memang merupakan pengertian tradisional dari konsep kantor. Setengah abad yang lalu, J. C. Denyer mendefinisikan kantor sebagai ruangan tempat melakukan pekerjaan klerikal”. Sementara Mills & Standingford memaknai kantor sebagai pusat administrasi bisnis. Di dalam kantor, kegiatan lalu lintas pesan, korespondensi, penyimpanan warkat dan sejenisnya dilakukan.

Namun, konsep kantor kontemporer hari ini telah mengalami pergeseran makna. Kantor lebih dilihat sebagai sebuah fungsi (function) alih-alih sebagai tempat atau lokasi, dimana kegiatan-kegiatan seperti merencanakan, mengatur dan mengawasi dokumen dapat dilakukan dimanapun dan oleh siapapun (Chopra & Gauri, 2015).

Sebetulnya, pergeseran makna kantor tersebut telah terjadi sebelum pandemi covid-19, yakni dengan kemunculan kantor elektronik (e-office). Kantor ini dijalankan dengan rangkaian aplikasi terintegrasi yang dapat diakses oleh siapapun melalui internet dan tersedia online 7 kali 24 jam. Dengan adanya e-office, banyak fungsi dari kantor fisik yang otomatis terdisrupsi.

Namun, apakah e-office dapat menjadi solusi permanen bagi aktivitas bisnis maupun sosial saat ini dan di masa depan? Tampaknya bukan itu yang diinginkan oleh masyarakat dunia. Melalui konsep society 5.0, kita ingin fungsi manusia tidak terdisrupsi oleh teknologi. Kehidupan masyarakat harus tetap berpusat pada manusia (human centered-society), termasuk halnya dalam kegiatan perkantoran.

Kantor Hibrid.

Meski konsep kantor hari ini tengah mengalami pergeseran, bukan berarti aktivitas bisnis dan sosial bisa dilakukan seratus persen di kantor virtual. Konsep kantor sebagai tempat kerja (workplace) tidak akan serta-merta hilang sepenuhnya, karena masih banyak aktivitas kerja yang memang harus dilakukan secara fisik. Komunikasi interpersonal dan tim dalam kantor fisik dalam porsi tertentu masih tetap diperlukan. Tidak hanya untuk menciptakan efektivitas kerja, namun juga untuk membangun kedekatan emosional.

Oleh karena itu yang paling mungkin dilakukan adalah penerapan konsep kantor hibrid, dimana sebagian pekerjaan kantor dilakukan secara tatap muka, dan sebagiannya lagi dilakukan secara tatap maya. Namun dalam konteks pandemi hari ini, porsi aktivitas offline dan online dalam kantor harus disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Dengan menerapkan konsep kantor hibrid, perusahaan dan karyawan justru sama-sama memperoleh keuntungan (payoffs). Bagi perusahaan, tentu dapat menghemat biaya-biaya di luar gaji. Bagi karyawan, mereka dapat bekerja lebih efektif dan lebih berorientasi hasil. Selain itu, mereka juga memiliki ruang yang lebih longgar untuk menikmati keseimbangan kerja dan hidup (work-life balance).

Kenyamanan Kantor

Meski konsep kantor hibrid diberlakukan, perusahaan harus tetap memelihara dan memperhatikan kenyamanan kantor fisik. Dalam beberapa kasus, selama pandemi banyak kantor yang tidak terurus karena alasan banyak karyawan yang bekerja di rumah.

Memang, pada umumnya kantor bukanlah tipikal tempat yang disukai oleh mayoritas karyawan. Mereka enggan berlama-lama berada di kantor. Tidak mengherankan jika ada banyak “karyawan kantoran” yang selama pandemi justru lebih bahagia melakukan work from home (WFH). Mereka merasa kantor adalah tempat yang serius dan stressful, dan untuk mengimbangi kepenatan, mereka berwisata di akhir pekan.

Padahal, komunikasi perkantoran secara virtual, setidaknya hingga hari ini, belum menghasilkan efektivitias yang menyamai komunikasi tatap muka. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi setiap perusahaan bagaimana menyediakan kantor yang menyenangkan.

Sebagai contoh, jika kita melihat kantor perusahaaan Google, kita akan temukan lingkungan kerja yang sangat berbeda. Kantor tersebut didesain seperti tempat “bermain” dan lebih cocok untuk bersantai daripada untuk bekerja. Namun, justru lingkungan kerja demikian dapat menghasilkan kreativitas dan produktivitas yang tinggi.

Tentu tidak semua perusahaan, apalagi level UMKM, yang mampu menyediakan kantor seperti Google. Menyediakan kantor dengan suasana fisik dan psikologis yang nyaman bagi para karyawan tidak harus berbiaya mahal. Kantor yang nyaman adalah kantor yang humanis, dan kuncinya terletak pada budaya komunikasi perkantoran yang sehat. Dengan begitu, kantor fisik tidak harus “mati” terbunuh oleh hadirnya kantor elektronik, atau karena ditinggal pergi oleh penghuninya akibat rasa tidak nyaman.

Opini ini dimuat pada Harian Umum Pikiran Rakyat Rabu 15 september 2021