MEMBENTUK EKOSISTEM KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

SEBAGAI STRATEGI NASIONAL MENUJU INDONESIA TANGGUH, INDONESIA PULIH DAN INDONESIA BANGKIT

Oleh:

Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si.

Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI

Berbicara tentang mahasiswa dan kewirausahaan, saya jadi teringat dengan ungkapan Peter F. Drucker yang mengatakan “Wirausaha adalah orang yang selalu mencari perubahan, meresponsnya, dan memanfaatkannya sebagai peluang”. Karakter demikian, yakni semangat mencari perubahan, adalah “karakter genetik” dari pemuda dan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan apabila banyak ungkapan yang menyebutkan bahwa mahasiswa adalah agent of change.  

Untuk itu, sebagai agen perubahan, mahasiswa sejatinya telah memiliki karakter dasar sebagai wirausaha. Sebagaimana pendapat Frank Young saat mendefinisikan wirausaha: “Wirausaha adalah agen perubahan”.

Saya sendiri dalam buku terbaru saya, “Manejemen Kewirausahaan” (terbitan Prenada Media, 2021) memaknai wirausaha sebagai orang yang mampu dan memiliki keberanian untuk:

  1. Membaca peluang (reading opportunities)
  2. Mengambil resiko (taking risks)
  3. Melakukan inovasi (doing innovation).

Tiga kemampuan entrepeneurial ini bukanlah kemampuan yang jauh dari kemampuan natural mahasiswa. Dalam kehidupan sehari-hari, mahasiswa sudah terbiasa membaca peluang, mengambil resiko dan membuat inovasi.

Sebagian besar mahasiswa biasanya merupakan anak rantau. Hidup jauh dari kedua orang tua pun sesungguhnya menunjukkan bahwa mahasiswa itu berani mengambil resiko. Apalagi bagi mahasiswa yang secara ekonomi kurang berada, mereka seolah dipaksa untuk survive selama masa studi. Mereka harus dapat membaca peluang, berpikir kreatif dan inovatif agar dapat bertahan hidup mandiri di tengah keterbatasan.

Seorang pakar pengembangan diri, Paul G. Stoltz, menyebut hal semacam ini dengan istilah “adversity quotient”, yakni kecerdasan dalam menghadapi kesulitan hidup. Jika mahasiswa berhasil mengatasi kesulitan hidupnya secara mandiri hingga lulus kuliah, maka hampir dapat dipastikan mereka sudah mengantongi modal dasar untuk menjadi seorang wirausaha yang sukses di masa yang akan

Oleh karena itu, mahasiswa harus mendapatkan dukungan ekosistem kewirausahaan yang sehat dan efektif. Menurut Mason dan Brown (2014), ekosistem kewirausahaan adalah seperangkat aktor di luar wirausahawan yang dapat mencakup organisasi kewirausahaan (modal ventura, angel investor, bank, inkubator) dan berbagai lembaga terkait (perguruan tinggi, pemerintah, dll), serta proses kewirausahaan yang menentukan keberlanjutan/keberhasilan dan kegagalan usaha baru.

Ekosistem kewirausahaan tersebut membutuhkan pilar-pilar yang menopangnya sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan. Daniel Isenberg (2011, dalam Bappenas, 2020) menyebutkan struktur ekosistem kewirausahaan mencakup pilar-pilar:

  1. Budaya yang kondusif (toleransi terhadap resiko dan kegagalan, persepsi positif tentang berwirausaha)
  2. Kebijakan dan kepemimpinan yang mendukung (insentif regulasi, peran lembaga penelitian publik)
  3. Ketersediaan pembiayaan yang sesuai (angel investor, modal ventura, kredit mikro)
  4. Sumber daya manusia (SDM) (terampil dan tidak terampil, lembaga diklat)
  5. Pasar yang ramah dalam menyerap produk-produk baru (kondusif untuk produk baru, konsumen responsif terhadap produk baru)
  6. Ragam dukungan kelembagaan dan infrastruktur (advokasi legal dan akuntansi, teknologi informasi komunikasi, asosiasi yang mendukung pengembangan kewirausahaan).

Sementara itu, kajian yang pernah dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) di tahun 2014 yang didasarkan pada persepsi pengusaha di berbagai belahan dunia mengungkapkan bahwa tiga pilar utama dari ekosistem kewirausahaan yang berkontribusi terhadap pertumbuhan tinggi suatu perusahaan adalah (i) akses pasar, (ii) tenaga kerja, serta (iii) pendanaan dan pembiayaan kewirausahaan.

Gambar: Pilar, Komponen dan Faktor Pembentuk Ekosistem Kewirausahaan

Sumber: Isenberg, 2011 (dalam Bappenas, 2020)

Berdasarkan kategori ekosistem kewirausahaan sebagaimana yang telah diidentifikasi oleh Isenberg (2011), dapat dilakukan pengkategorian faktor-faktor yang membentuk 12 komponen dari tujuh pilar ekosistem kewirausahaan sebagai berikut (Bappenas, 2020):

  1. Pilar Kebudayaan yang mencakup komponen norma sosial dan penyebarluasan praktik terbaik yang dapat menjadi panutan atau sumber inspirasi. Budaya yang kondusif dalam berwirausaha didukung oleh norma sosial yang berlaku pada lingkungannya, termasuk penerimaan atau toleransi terhadap kegagalan, resiko dan kesalahan, serta adanya budaya inovasi dan kreatif.
  2. Pilar Sumber daya manusia (SDM). Tenaga kerja yang terampil dan terlatih, serta latar belakang orang tua atau keluarga yang berwirausaha termasuk faktor yang membentuk ekosistem kewirausahaan.
  3. Pilar Pendidikan yang mencakup komponen pendidikan dan pelatihan. Pendidikan di berbagai tingkat (dasar, menengah dan tinggi) dapat membentuk kapasitas dan kompetensi dasar SDM. Pelatihan teknis dan vokasi juga merupakan faktor penting dalam ekosistem kewirausahaan.
  4. Pilar Pembiayaan. Ketersediaan pembiayaan dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan tahap perkembangan dan jenis kewirausahaan sangat penting dalam menentukan pendirian dan keberlanjutan usaha yang didirikan. Pembiayaan yang dibutuhkan dapat mencakup kredit bagi UMKM, peluang kerja sama investasi, modal ventura, pasar modal dan berbagai bentuk pembiayaan lainnya.
  5. Pilar Pasar yang mencakup jaringan dan responsivitas konsumen. Pasar yang ramah dalam menyerap produk-produk baru yang ditunjukkan dengan adanya konsumen yang responsif untuk mau beradaptasi dengan membeli produk baru sangat dibutuhkan untuk ekosistem kewirausahaan yang dinamis. Adanya jaringan produksi dan pemasaran yang terintegrasi dan meluas juga menjadi faktor penentu untuk keberlanjutan usaha.
  6. Pilar Kebijakan yang mencakup kebijakan Pemerintah dan kepemimpinan. Pemerintah dalam kelembagaannya yang mencakup peraturan perundangan, kebijakan dan program, anggaran, serta insentif dapat membentuk daya dukung ekternal yang memungkinkan pengembangan dan penguatan ekosistem kewirausahaan. Kebijakan Pemerintah tersebut secara ideal perlu dilengkapi dengan adanya pemimpin atau kepemimpinan yang kondusif yang ditunjukkan oleh strategi kepemimpinan serta komitmen dan ketegasan dalam mendukung pengembangan kewirausahaan.
  7. Pilar Penunjang yang mencakup komponen-komponen yang terkait dengan peran lembaga non-Pemerintah, lembaga profesi dan infrastruktur. Peran lembaga nonPemerintah dibutuhkan dalam mempromosikan kewirausahaan, transfer pengetahuan, dan penguatan jejaring antar wirausaha. Peran lembaga profesi baik yang berkaitan dengan advokasi dan bantuan hukum, akuntansi, perbankan, dan asosiasi akan sangat membantu terutama dalam pengembangan dan penguatan kewirausahaan. Dukungan infrastruktur fisik seperti telekomunikasi, transportasi dan logistik, energi dan air juga merupakan faktor penting yang menentukan ekosistem kewirausahaan yang sehat dan dinamis.

Hingga tahun 2021, tingkat rasio kewirausahaan di Indonesia baru mencapai sekitar 3,47 persen. Angka ini pun masih relatif rendah bila dibandingkan dengan Singapura yang mencapai 8,76 persen, Thailand 4,26 persen serta Malaysia 4,74 persen.

Masuknya covid-19 di tahun 2020 ke Indonesia membuat kehidupan ekonomi dan bisnis semakin terpukul. Tidak hanya sulit dalam menjalankan aktivitas usaha, pandemi juga berkontribusi terhadap peningkatan jumlah pengangguran, termasuk halnya pengangguran terdidik.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran terdidik di Indonesia pada Agustus tahun 2020 tercatat 6,27 juta jiwa atau 64,24% dari seluruh jumlah pengganggur. Angka tersebut melonjak drastis hingga 34,16% dibandingkan Agustus tahun 2019. Pengangguran lulusan perguruan tinggi tingkat diploma meningkat sebesar 8,5%, sedangkan sarjana meningkat tajam sebesar 25% (Kemdikbud, 2021).

Data-data tersebut menunjukkan bahwa bangsa kita masih memiliki PR yang sangat besar dalam pembangunan kewirausahaan, terutama pada generasi muda dan mahasiswa.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa tantangan yang dihadapi wirausaha dari kelompok usia muda (termasuk mahasiswa) berbeda dengan karakteristik tantangan yang dihadapi wirausaha dari kelompok usia dewasa. Wirausaha dari kelompok pemuda dan mahasiswa pada umumnya memiliki sumber daya yang lebih rendah, pengalaman yang kurang, serta jejaring yang terbatas.

Untuk menjadi wirausaha yang mampu mengembangkan usahanya, pemuda menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya kompetensi kewirausahaan, lemahnya dukungan keluarga, terbatasnya akses permodalan, serta hambatan dalam mengakses pasar. Masalah-masalah ini secara konsisten menjadi tantangan yang dihadapi baik oleh pemuda dan mahasiswa yang sedang mempersiapkan usaha, sedang berwirausaha, maupun yang pernah gagal berwirausaha. (Bappenas, 2020).

Selengkapnya: