Mencari Baju Bekas di Cimal Gede Bage

BUKAN baru dua atau tiga tahun para penjual pakaian di pasar Cimol Gede Bage menjajakkan barang dagangannya. Pasar Cimol Gede Bage merupakan pasar pindahan dari Cibadak Mal atau lebih dikenal dengan nama Cimal. Mereka pindah sudah lebih dari sepuluh tahun. Rismawati (32), misalnya mengatakan, hampir sebagian besar pedagang merupakan “buangan” dari para pengangguran.

“Alhamdulilah bisa berjualan di sini. Pakaian yang kami jual di Cimal Gede Bage diimpor dari banyak negara. Ada dari Cina, Taiwan, Korea, Eropa, Hongkong, Jepang, dan masih banyak lagi. Jenis pakaiannya beragam. Saya jualan pakaian dalam wanita, baju bayi, dan kaos kaki,” ujar Ais (30), Minggu (15/5/2016).

Selain itu ada celana bahan dewasa, jaket, kaos, dan kemeja. Tidak hanya pakaian, tas impor, sepatu, hingga topi pun lengkap ada di pasar CimolGede Bage, Bandung, Jawa Barat. Pasar Cimol Gede Bage di bawah perusahaan daerah PT Ginanjar Saputra. termasuk pasar induk Gede Bage. Lokasinya berada di belakang terminal Gede Bage.

Saat ini ada satu pasar induk, dan dua tempat pasar Cimal. Sistem pasar Cimal Gede Bage sudah tertib. Ada lahan parkir yang teratur, juga penempatan blok. Para pedagang pun tertata rapi. Sehingga, tidak lagi ada dalam bayangan para konsumen bahwa Pasar Cimal itu kotor, becek, dan menjijikan, tidak lagi.

Hal ini diakui salah seorang pembeli dari kalangan mahasiswa, Wina (21). “Dulu sih iya bayangan saya kalau Cimal itu kotor tempatnya, tapi ternyata enggak. Saya juga sering ke pasar Cimal, terhitung sebulan dua kali mah ada,” katanya. Namun, ketika ditanya perihal kualitas kebersihan dari pakaian yang ia beli, Wina pun hanya tersenyum malu.1

Masyarakat setempat mengaku sangat terbantu dengan Pasar Cimal Gede Bage karena menjadi lahan pekerjaan. Masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan dapat membuka lapak di Pasar Cimal Gede Bage. Memang ada yang dikesampingkan. Pakaian bekas yang dijual di pasar Cimal ini sudah cukup lama, hitungan belasan tahun.

Tidak semua pakaian yang dijual adalah bekas, memang. Tapi tidak dapat dimungkiri bahwa 80% pakaian yang dijual merupakan pakaian bekas. “Setiap hari, bandar pakaian bekas mendistribusikan ratusan bal pakaian bekas dari berbagai negara, katanya sih sudah melalui pencucian yang layak,” ungkap Tatang (38), masyarakat setempat. Pencucian yang layak seperti apa? Tidak ada yang mengetahuinya. Inilah yang menjadi masalah yang tidak pernah selesai teratasi hingga sekarang.

Berbeda dengan jenis usaha pada umumnya, pasar Cimal Gede Bage menjual pakaian bekas. Sebenarnya, rencana pengetatan aturan pelarangan masuknya pakaian bekas impor sudah dicanangkan tahun lalu oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia, Rachmat Gobel. Ia menegaskan bahwa komoditas tersebut memang sudah lama dilarang. Namun, para pedagang masih tidak menganggap ini hal serius. Sehingga penjualan pakaian bekas di pasar Cimal Gede Bage masih menjamur.

“Jangan tutup bisnis pakaian impor ini, kalau ditutup bagaimana kita hidup? Bagaimana biaya pendidikan? Pasar Cimal ini sudah menampung para pengangguran,” ucap Rismawati seraya memajang pakaian dagangannya satu persatu. “Kalau memang pakaian dari pasar Cimal ini mengandung banyak bakteri, tidak ada bukti keluhan konsumen kok,” kata ia menambahkan.

Kemendag bukan serta-merta melarang tanpa bukti yang jelas. Para pedagang menganggap bahwa mereka difitnah. Mereka mengatakan jika memang pakaian bekas ini merugikan kesehatan, mengapa tidak ditutup dari dulu? Hingga kini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil belum melanjutkan keputusannya mengenai aturan jual beli pakaian bekas di Pasar Cimal Gede Bage. Ia hanya menyebutkan persetujuan untuk menutup pasar Cimal Gede Bage jika ada bukti yang kuat mengenai adanya bakteri yang membahayakan kesehatan konsumen. Padahal bukti kuat sudah dimiliki Kemendag melalui uji lab terhadap sampel pakaian bekas tersebut.

Penelitian di laboratorium dilakukan Kemendag dengan mengambil sampel pakaian dua puluh lima potong. Pakaian tersebut terdiri atas pakaian pria, pakaian wanita, dan pakaian anak. Hasilnya sangat mencengangkan. Dari hasil uji lab, positif terdapat banyak bakteri yang masih menempel di pakaian tersebut. Bakteri tersebut dapat menyebabkan gatal-gatal, diare, hingga gangguan saluran kelamin jika dipakai.

Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Widodo mengungkapkan pada detik.com (15/3/2015) setelah pengujian di lab, “Pakaian bekas impor setelah uji mengandung bakteri sampai 216.000 koloni per gram. Bahkan sebagian yang dijual pinggir jalan itu seperti celana pendek ada bekas mens wanita.”

Lebih jelas lagi, dalam pakaian bekas tersebut ada kandungan bakteri E. Coli dan S. aureus. Bakter E. coli dapat menyebabkan diare dan gangguan pencernaan. Lalu, bakteri  S. aureus menimbulkan tumbuhnya bisul, jerawat, dan infeksi luka.  Selain dua bakteri itu ada juga jamur katang dan kamir seperti Aspergilus spp  yang menyebabkan gatal-gatal hingga infeksi pada saluran kelamin. Betapa berbahayanya bahaya yang ditimbulkan dari sepotong pakaian impor tersebut.

Jika di hitung, sehari biasanya pedagang mendapat omset hingga tiga juta. Namun berapa banyak banyak penyakit yang dijual kepada konsumen. Yang dapat membuat konsumen berobat mengeluarkan biaya lebih dari sekadar harga minimal pakaian bekas yaitu Rp 10.000. Hitung pula berapa banyak bakteri yang telah menyebar selama belasan tahun pasar Cimal beroperasi?

Operasi pasar Cimal Gede Bage harus dituntaskan mengenai aturannya. Jelas sudah dalam aturan Kepmenperindag RI No. 642/MPP/Kep/9/2002 tentang Perubahan Lampiran I Kepmenperindag RI No. 230/MPP/Kep/7/1977 tentang  barang yang diatur tata niaga impor. Dalam aturan tersebut dilarang impor pakaian bekas. Tidak jauh seperti pembuangan sampah. Indonesia sebagai negara berkembang, tetap saja akan berkembang jika dalam hal pakaian saja lebih membeli pakaian impor karena sekedar merek luar negeri. Tidak sedikit para konsumen yang mengatakan bahwa mereka mengincar merek luar negeri hingga rela membeli pakaian bekas di pasar Cimal Gede Bage.

Bahaya. Bukan lagi datang dari bakteri yang sudah jelas buktinya. Para pedagang memang meyakini tidak ada konsumen yang mengeluh gatal-gatal dan sebagainya. Tapi penyakit itu tidak bisa diprediksi. Akibatnya jangka panjang. Bahaya juga akan menyentil harkat martabat bangsa Indonesia. Indonesia sudah menjadi tempat pembuangan limbah pakaian yang sudah dipakai berbagai jenis manusia di belahan negara di mana-mana. Masyarakat Indonesia yang membeli pakaian impor bekas bahkan tidak mengetahui siapa yang telah menggunakan pakaian yang ia beli. Tidak akan pernah tahu penyakit apa yang diderita si pemakai. (Mia Rusmiati/Mahasiswi Ilmu Komunikasi, FPIPS UPI/WAS)