Mendongrak Budaya Menulis dan Membaca di Pedalaman

Oleh. Deni Darmawan1)

1Lulusan SPGN 1 Bandung, sekarang mengajar di UPI dan Masih Menulis Sejumlah Buku diantaranya diterbitkan di Lambert Academic Publisher Germany sebanyak 2 Judul dan Rosda Karya 15 Judul

 

Menulis merupakan sesuatu yang sangat mudah bagi sebagian orang yang sudah terbiasa menulis sejumlah karya tulisnya baik buku, makalah, naskah pidato, naskah perundangan, puisi, ceritera, novel, dan mungkin berita, laporan dan sejenisnya. Namun setiap teknik dan hasil karya tulis tersebut tidaklah sama antara satu sama lain terutama cara dan peruntukannya, bahkan orang yang menulisnya.

Fenomena sekarang, sejak berulirnya era digital dan media online lainnya maka dapat dirasakan budaya menulis setidaknya akan menghadapi tantangan besar, kenapa tidak?. Coba kita perhatikan dengan cermat, misalnya seorang siswa yang disuruh mengerjakan sebuah tugas dari gurunya tentang bagaimana mengumpukan sebuah cerita maka ia dengan mudah akan mendapatkannya dan bagi siswa yang pintar mungkin mengunduhnya dan memberikan komentar atau penambahan-penambahan pada cerita tersebut. Namun sebaliknya bagi siswa yang terburu-buru, tidak cukup waktu, bahkan yang cenderung malas mungkin hanya “mencopas”-nya saja. Lebih paraha agi jika seorang guru atau dosen atau para pendidik lainnya ketika akan memberikan layanan pembelajaran, kemudian bahan ajarnya menggunakan karya-karya tulis yang sudah ada yang bertebaran di dunia maya, maka fenomena ini jika dibiarkan akan menjadi sebuah gunung es yang tinggal menunggu waktu bahwa budaya menulis akan digantikan dengan “Budaya Copy-Paste”. Kecenderungan para guru dan dosen mungkin saja akan terjebak kepada masa kemandulan untuk menuangkan ide dan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan-tulisan berbobot yang sebenarnya mereka mampu untuk melakukannya, namun enggan untuk memulainya.

Seandainya kondisi di atas tidak terjadi dipelosok, mengingat dipelosok atau dipedalaman mungkin tidak semuanya memiliki akses internet, sehingga peluang-peluang memanfaatkan karya orang lain yang tidak benar dapat diminimalisir. Walaupun di sisi lain dengan mudahnya fasilitas akses internet dapat membantu para siswa, guru, dosen dan pendidik lainnya untuk membaca karya orang dan mencoba untuk mengikutinya, mengutifnya dan mengembangkannya menjadi karya baru yang bisa mereka produk. Akan tetapi, kondisi tersebut seklai lagi tidaklah mudah tertanam pada setiap orang (siswa, guru, dosen dan pendidik lainnya) untuk dapat dengan mudah menulis dan menghasilkan karya baru dengan bersumber dari inspirasi dan motivasi karya-karya orang lain yang sudah beredar di dunia maya sebelumnya.

Menulis sebenarnya sama dengan berkata-kata atau bertutur dan berbicara tentang semua ide dan pemikiran dari seseorang, dan semua orang pasti memiliki ide dan pemikiran masing-masing ketika ia berhadapan dengan sesuatu, dengan kehidupannya masing-masing dan dengan predikatnya masing-masing. Namun budaya yang dimiliki tentang kebiasaan memindahkan dari kata-kata, ide dan pemikiran yang dimiliki kadang tidak semua orang memilikinya. Dengan demikian budaya “menulis” sebagai sebuah proses transfer dari kata-kata, ide dan pemikiran seseorang untuk menjadi sebuah tulisan (non kata-kata = nonverbal) akan memerlukan suatu pendekatan tertentu. Pendekatan pertama untuk mendongkrak budaya menulis pada seorang calon penulis yaitu dengan cara banyak pemikirkan dan mencari solusi dari sebuah persoalan yang sedang dihadapi dan mencoba menuangkannya menjadi sebuah tulisan. Pendekatan kedua, para calon penulis yaitu membiasakan diri untuk mencatat atau menuliskan pokok-pokok ide yang menarik bagi dirinya, kemudian dibicarakan lagi oleh sendirinya dalam bentuk tulisan dengan ide dan pemikiran baru menurut pendapatnya sendiri.

Pendekatan ketiga, para calon penulis dapat melakukan pengungkapan kembali atau penuangan kembali ide dan pemikiran dalam bentuk tulisannya ketika ia merasakan kepenasaran tentang sesuatu hal dan ia merasa belum puas dengan pendapat atau ide dan pemikiran dari orang lain. Pendekatan keempat, yaitu banyak berdiskusi dengan teman sejawat agar terjadi proses argumentasi yang kaya dan luas sehingga kita dapat merangkumnya dan menuliskannya kembali dengan kata-kata penulis itu sendiri. Pendekatan kelima, yaitu banyak membaca karya tulis orang lain dan jadikan karya-karya tersebut menjadi sumber inspirasi untuk mampu memberikan komentar, kritik, dan saran berdasarkan pengalaman, ide dan pemikiran sendiri. Pendekatan keenam perbanyak belanja pengalaman dari aktivitas profesi kita pada suasana dan lingkungan yang berbeda, bervariasi, sehingga ide dan pemikiran kita menjadi lebih luas sehingga ketika akan menulis tidak kehabisan bahan untuk dituangkannya. Pendekatan ketujuh, perjuangkan waktu untuk dapat menuliskan tentang apa yang menjadi ide, kata-kata dan pemikiran kita tentang fenomena atau kondisi yang menantang kita untuk memberikan pendapat untuk menyelesaikan permasalahan. Pendekatan kedelapan, tanamkan rasa penasaran terhadap proses pencarian kebenaran berdasarkan inspirasi dalam bentuk pengalaman yang kita saksikan sehari-hari dan berhubungan langsung dengan kebutuhan orang banyak, sebagai contoh ketika penulis sedang menunggu di bandara waktu itu bertemu dengan seorang ibu-ibu yang sedang membaca novel kemudian penulis bertanya “ibu mau kemana”?, Ibu tersebut menjawabnya bahwa ia akan pergi ke Eropa untuk beralan-jalan ke sejumlah toko buku dan taman-taman yang belum ia lihat sebelumnya agar ia mendapatkan sejumlah inspirasi, ide dan kata-kata serta pemikirannya untuk dapat menuangkannya kembali.” Ternyata ibu tersebut adalah seorang penulis novel. Dari pendekatan ke delapan tersebut maka dapat dipetik suatu pengalaman menarik bagaimana seorang penulis ingin mendongkrak budaya yang sudah tertanam pada dirinya untuk lebih pesat lagi dan memiliki kekayaan bahan tulisan lebih banyak, baru dan orsinil sehingga ia dapat menghasilkan karya yang bermutu dan juga akan dirujuk dan dibaca oleh orang banyak nantinya.

Pendekatan kesembilan paling penting bagi seorang calon penulis adalah berusaha menanamkan rasa “iri” terhadap karya-karya orang lain secara positif, dan bertanya kepada diri sendiri, kenapa orang lain bisa sedangkan kita tidak bisa?. Pendekatan kesepuluh adalah berlatih, semua penulis professional sudah pasti berawal dari berlatih dalam menulis apa yang menjadi ide, kata-kata dan pemikirannya tentang fenomena kehidupan dan peran yang dimilikinya. Proses berlatih ini mungkin akan menanamkan aspek disiplin dalam memanfaatkan waktu setiap menit, jam, hari, minggu dan bulan bahkan mungkin tahunan. Karea menulis sesuatu yang monumental dan berkualitas mungkin saja akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika para calon penulis baik itu professional maupun praktisi maka pendekatan terakhir ini akan membantu menanamkan nilai-nilai budaya menulis dan membaca dikemudian hari.

Itulah Sepuluh pendekatan penting bagi para calon penulis atau bahkan mungkin bagi para penulis yang sudah biasa menulis. Bahkan akan sebuah nasehat dari para penulis terdahulu yang mengatakan “buatlah tulisan anda sampai berapa puluh halaman, kemudian rasakan dalam pikiran anda apakah anda merasa bahkan ide, pemikiran dan kata-kata yang dimiliki dalam otak dan hati ini masih ada ? atau mungkin sudah habis?. Kemudian anda baca kembali tulisan yang baru selesai anda buat. Maka telaahlah, apakah tulisan kita idenya memutar-mutar, atau kalimatnya memutar-mutar atau bahkan kembali lagi-kembali lagi?. Jika hal tersebut terjadi maka penulis tersebut sedang kehabisan ide, kata-kata dan pemikirannya tentang sesuatu yang sedang ia tulis dalam bentuk tulisannya yang baru. Kondisi tersebut sering dialami oleh kita semua bahkan oleh penulis sendiri. Jika kondisi tersebut kita mengalaminya, maka kita segeralah untuk melakukan “Belanja Imu”, artinya kita harus mencari pengalaman-pengalaman baru, berdiskusi dengan teman-teman lainnya, serta membaca tulisan dan karya-karya orang lain yang baru, juga terus berlatih untuk menuangkan ide, kata-kata dan pemikiran baru yang kita miliki ke dalam sebuah karya tulis.

Dari fenomena dan pendekatan-pendekatan tersebut maka berlaku untuk semua penulis, khususnya bagi para calon penulis yang berada di daerah sebagai contoh di Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut, dimana kecenderungan terkena “virus” copy paste tidak terlalu tinggi. Sebagaimana yang penulis diskusikan dan coba kembangkan budaya menulis sekaligus membiasakan membaca buku karya orang lain setahap-demi setahap. Ada sejumlah stakeholder yang berada di sana dan merasa tertarik dengan diskusi singkat dengan penulis dan para mahasiswa program KKN dari UPI yang bekerjasama dengan TNI.

Sebagaimana yang dituturkan oleh salah satu Staf Koramil Kecamatan Pakenjeng saat penyerahan buku dengan judul “Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi” mengatakan sangat gembira dan akan membacanya setelah itu akan mencoba menulis pengalaman-pengalaman beliau selama bertugas di TNI, sehingga kelak akan menjadi sebuah buku untuk para prajurit TNI penerusnya. Tidak berbeda juga dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Camat Pakenjeng saat penulis memberikan kenang-kenangan buku berjudul “Sistem Informasi Manajemen”, beliau mengatakan “bukunya akan saya baca dan akan bermanfaat untuk mendata informasi-informasi tentang data-data hasil pembangunan di wilayah Kecamatan Pakenjeng”.

Demikian pengalaman dari kedua tokoh yang berbeda peran namun semangat juang dalam membangun penanaman budaya menulis dan membaca sama-sama tinggi dan patut menjadi bekal semangat dan motivasi bagi semua elemen yang terkait di wilayah Kecamatan Pakenjeng bahkan di seluruh Nusantara. Intinya tidak ada alasan jauh dari kota, tidak ada akses internet, jarak tempuh jauh dari ibu kota kabupaten, dan alasan-alasan lainnya untuk  tidak mampu mendongkrak budaya menulis dan membaca di bumi pertiwi ini. (Medio Juli, 2017)