Menggali Budaya Politik dari Falsafah “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh”

 

Oleh : Dadan Rizwan Fauzi

 

Politik dan kekuasaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, keduanya berjalan beriringan dan tak pernah saling meninggalkan. Politik adalah suatu seni dan ilmu untuk mendapatkan kekuasaan, sedangkan hakikat dari berkuasa adalah alat untuk mewujudkan kebaikan melalui penyelenggaraan pemerintahan. Dua terminologi ini akan dapat menyempurnakan individu bagaimana dirinya mampu memahami nilai-nilai kehidupan melalui proses pengambilan keputusan.

Politik yang baik adalah politik yang memiliki tujuan atau konsep yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mewujudkan cita-cita politk. Nilai kemanusiaan itu ada pada bagaimana manusia mengenal dirinya sebagai salah satu individu yang mulia serta warga negara yang tau akan hak dan kewajibannya yang bisa menerima perbedaan dan selalu menghargai pendapat orang lain. Politik dalam konteks ini akan mengajak manusia untuk menjadi pribadi yang baik tidak sekedar baik dalam persepsi dirinya namun baik pula dalam persepsi orang lain melalui pikiran, ucapan dan tindakannya.

Namun dewasa ini kondisi politik di Indonesia sedang tidak stabil, hal ini bisa dilihat dari banyaknya pemberitaan disetiap media elektronik maupun media cetak tentang tingkah laku para politisi yang saling mempertontonkan perebutan kekuasaan secara tidak sehat. Para penjabat yang memiliki kekuasaan telah melupakan masyarakat. Politik sebagai seni untuk mencapai keputusan telah berubah menjadi pertarungan harga mati para kelompok kepentingan. Semangat asas keterwakilan, khidmat dan kebijaksaan kini berganti menjadi pesta demokrasi. Politik tidak lagi ditempatkan sebagai salah satu metoda untuk mensejahterakan rakyat secara kolektif, tapi hanya sebagai strategi untuk pertarungan yang tiada habisnya sehingga menjadi sebuah budaya politik yang menimbulkan efek kerusakan pada konstruksi demokrasi.

Hal tersebut semestinya menjadi renungan karena pada hakikatnya, budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik  peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik itu sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan aturan dan wewenang (Kantapwira 1999:26). Sesungguhnya determinasi dari distorsi situasi politik saat ini dapat disebabkan dengan adanya penggiringan opini negatif  yang menjadi stereotype di masyarakat.

Dalam konteks budaya politik orang Indonesia tak terkecuali orang Sunda tentu memiliki nilai filosofis yang senantiasa menjadi sandaran. Nilai filosofis ini tertuang dalam terma yang sering muncul dan dipopulerkan di kalangan masyarakat misalnya dalam peribahasa Sunda, “silih asah, silih asih dan silih asuh”. Ketiga terminologi ini merupakan ruh dalam pengembangan kehidupan masyarakat sunda. kehidupan dalam masyarakat Sunda senantiasa mengedepankan nilai kebersamaan, yakni maju bersama dalam intelektualitas (silih asah), kekuatan kasih sayang yang senantiasa diciptakan dalam segala bentuk hubungan individu satu sama lain (silih asih), dan sikap mengayomi satu sama lain sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menciptakan harmonisasi hidup (silih asuh).

Pertama, “Silih Asah” merupakan kata yang menunjukkan satu kegiatan memperuncing alat, mempertajam atau menghaluskan sesuatu. Secara terminologi, Silih Asah adalah saling mencerahkan pengetahuan, berbagi informasi, dan berbagi ilmu. Dalam konteks politik Silih Asah bisa dijadikan sebagai suatu pendekatan dalam komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap  masyarakat supaya terjadinya komunikasi dengan baik. Sifat saling berbagi ilmu dan pengetahuan yang dilakukan oleh pemerintah akan menghasilkan pemahaman  yang lebih cepat di masyarakat sehingga akan tercipta kondisi pemerintahan yang kondusif.

Selain itu, Silih Asah memiliki makna filosofis bahwa memiliki pengetahuan tidak cukup untuk diri sendiri saja. Hal ini selaras dengan pesan agama bahwa ilmu yang tidak diamalkan atau dibagi kepada yang lain ibarat pohon tak berbuah, karena ilmu akan bertahan lebih lama dalam pemahamannya. Jika seorang berilmu baik itu pemimpin ataupun tokoh masyarakat  berani untuk berbagi kepada siapapun yang membutuhkannya, maka akan terjadi proses edukasi dalam kehidupan bermasyarakat dan akan tercipta masyarakat yang cerdas dan pintar ( good and smart citizenshif ). Hal ini merupakan pengejawantahan dari amanat pembukaan Undang-undang Dasar alinea ke IV bahwa tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Apabila konsep ini dijalankan dengan baik dan benar maka akan tercipta masyarakat madani ( civil society ).

Kedua, “Silih Asih” merupakan satu sikap saling sayang-menyayangi. Membangun kasih sayang antar sesama merupakan satu sikap luhur yang diajarkan oleh nenek moyang dan para  founding father kita sejak dulu. Melalui terminologi Silih Asih ini penulis berasumsi bisa menyatukan hati antar sesama bagaimana proses kehidupan politik dapat dilaksanakan dengan sikap saling menyayangi antara pemerintah dengan yang diperintah ( masyarakat ). Dalam konteks politik, Silih Asih bermakna bahwa sebuah sistem yang sukses bila ditopang dengan kekuatan kasih sayang yang  tulus oleh para pemimpin terhadap rakyatnya maka akan timbul proses cinta tanah air ( nasionalisme ) dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah nasionalisme merupakan peristilahan lain yang sebenarnya orang Sunda telah jauh memiliki falsafah itu sebelum teori-teori baru itu ada.

Kebijakan maupun kepemimpinan yang senantiasa mengedepankan konsep kasih sayang dalam melakukan prosesnya akan menghasilkan satu add values bagi masyarakat. Add values itu merupakan kebermaknaan kepemimpinan yang telah memanusiakan manusia atau kepemimpinan yang humanis, karena dalam setiap pengambilan keputusan para pemangku kebijakan akan mengedepankan kepentingan dan kesejateraan bersama diatas kepentingan individu maupun kelompok. Sebuah pemerintahan maupun kepemimpinan tidak akan memiliki arti apapun jika di dalamnya tidak didasarkan kepada nilai-nilai humanisme, karena nilai-nilai humanisme lah yang akan membentuk kehidupan yang baik itu, dan dengan konsep kepemimpinan berbasis kasih sayang (silih asih) itu maka akan tercipta kondisi politik yang stabil, tidak akan ada kegaduhan politik akibat tingkah laku para politikus yang tidak bertanggung jawab.

Aspek ketiga dalam nilai filosofis politik orang sunda adalah Silih Asuh. Dimana Silih Asuh merupakan sikap saling mengayomi antar sesama, saling menjaga kehormatan, saling menjaga harga diri dan martabat. Silih Asuh dalam konteks politik bermakna bahwa tanggungjawab pemerintah adalah menghantarkan masyarakat ke arah yang lebih dewasa dalam berfikir, berucap, dan bertindak. Silih Asuh juga dapat bermakna pembimbing, pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan politik. Tugas pemerintah tidaklah selesai diberikan begitu saja, akan tetapi pemerintah perlu memahami apa yang menjadi dasar kebutuhan dari masyarakatnya. Pemerintah harus bisa menjadi pengayom untuk menyatukan seluruh komponen negara dalam melaksanakan kerja-kerja pemerintahan, demi terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera.

Kegagalan kondisi politik kekinian adalah bukan karena ketidaksepahaman antara pemerintah dan masyarakat terhadap situasi politik tertentu, kegagalan itu muncul karena lunturnya fungsi infrastruktur politik yang diisi oleh lembaga yang seharusnya melaksanakan pendidikan politik. Masyarakat cenderung disibukkan dengan tingkah laku para elit politik yang mempertontonkan perebutan kekuasaan secara tidak sehat. Para penjabat yang memiliki kekuasaan telah melupakan masyarakat. bahkan banyak mencampuradukan kepentingan politik dengan isu SARA, sehingga menimbulkan kekerasan  yang menyebabkan banyak rakyat yang menjadi korban, baik secara fisik maupun jiwa.

Selain itu banyak politikus yang terjerumus kedalam prilaku-prilaku yang tidak terpuji menyangkut harta negara ( korupsi ), baik ditataran eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Hal ini menyebabkan timbulnya sikap apatisme di masyarakat, sehingga mereka terjatuh kedalam jurang kehidupan yang pragmatis, hedonis, malas, bahkan banyak pula yang menunjukan keberpihakan politiknya tanpa mengetahui hakikat sebenarnya. Padahal sejatinya dalam kehidupan politik memerlukan pemikiran yang cerdas dan kerja keras, bukan hanya asal gilas.

Ketiga landasan di atas cukup memberikan satu alasan besar bahwa identitas politik dalam konteks filosofis Sunda memiliki makna besar bagaimana kehidupan politik itu harus dilaksanakan dengan rasa tanggungjawab bersama untuk saling mencerahkan dan mengingatkan (silih asah), strategi dalam penguatan identitas politik itu dapat dilakukan dengan cara saling menyayangi oleh elit politik terhadap rakyat (silih asih), dan saling memberikan penguatan dalam mempertahankan nilai-nilai politik (silih asuh). Politik akan memiliki visi yang progresif jika berdasarkan nilai-nilai budaya luhur bangsa sendiri bukan budaya bangsa lain. Hanya bangsa yang tidak memiliki harga dirilah yang akan selalu menjunjung tinggi dan bangga dengan budaya bangsa lain. Dan di sanalah keterpurukan identitas politik akan terjadi. Jika identitas politik yang akan kita jalankan hanya berlandaskan pada budaya orang lain maka dipastikan kita tidak akan memiliki identitas budaya sendiri. “identitas hiji bangsa bisa diukur ku budayana” ( identitas suatu bangsa dapat ditinjau dari budayanya ).