Mengintip Kegiatan Peserta JBIP 2015 di Panti Jompo Jepang

AhmadLaporan AHMAD DAHIDI dari Osaka Jepang

DAMBAAN semua orang adalah selalu ingin hidup layak dan sehat sepanjangan hayat, banyak rezeki sebelum mati, panjang umur yang barokah, banyak teman untuk bercengkrama, dan bisa hidup sampai “pakotrek iteuk“ bersama istri atau suami. Paling tidak itulah harapan penulis sendiri menjelang dan menikmati hidup masa tua. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit masa tua itu hanya dihabisi dengan kesendirian, kesepian adalah teman sejati yang menemani, seolah dunia ini mau kiamat esok hari, pokoknya hidup tidak nyaman dan selalu waswas. Bahkan terkadang kita tenggelam dalam baying-bayang orang yang kita cintai, yang sudah pergi ke alam sana mendahului kita. Mereka menanti kita. Sebuah alam kepastian yang tidak bisa ditolak siapa pun. Alam yang penuh misteri dan teka teki. Sebuah alam yang hanya bisa diyakini, dan tidak bisa dihindari oleh setiap insani. Gejolak rasa dalam dada, membara. Detak jantung bertalu talu mengiringi perjalan malam yang sepi atau rasa rindu menggebu merajut kalbu.

1Terlepas mana yang akan kita lalui nanti, tentunya ujung ujungnya hanya Tuhan yang maha adil yang mampu memastikan kemana kita akan menikmati masa tua tersebut. Meskipun pada akhirnya tuhanlah yang akan mengetuk palu pernasiban kita: apakah kita akan memasuki hidup sengsara bagaikan dalam penjara atau memasuki kehidupan bahagia seperti dalam surga? Tentunya masa muda sebelum tua inilah yang akan membawa kita berlayar mengarungi kehidupan masa tua yang bermartabat dan layak tersebut.

Dalam sebuah pidato perjuangan Sukarno pernah mengatakan demikian: „ berikan sepuluh pemuda, maka saya akan mengubah dunia“. Ini artinya bahwa pemuda (baca: masa muda) itu penuh enerjik dan masa yang akan membawa kehidupan seseorang lebih baik di masa tuanya nanti. Jadi, kehidupan masa tua itu bahagia atau tidak bahagia sangat bergantung sepak terjang kita semasa muda.2

Perhatian serius di setiap negera terhadap nasib para manula ini sangat beragam. Di Indonesia sendiri, sepengetahuan penulis masih sangatlah memprihatikan. Sistem jaminan sosial yang sudah ada selama ini, dalam pelaksanaannya masih jauh dari sempurna. Sering terjadi insinkronisasi antara pemegang kebijakan dengan kenyataan di lapangan. Aturan dan pelaksanaan sering berbenturan sehingga tidak sedikit warga kita yang dibuat bingung, dan akhirnya hanya berserah diri kepada yang maha widi. Harapan tinggal harapan, namun kenyataan berbicara lain. Dalam konteks seperti ini, penulis sendiri sebagai bangsa Indonesia merasa prihatin namun bersyukur pula dibesarkan dan bisa hidup di Indonesia. Kenapa demikian? Bagi bangsa Indonesia masih sangat kental dengan „menerima nasib“. Berserah dirilah senjata yang sangat ampuh untuk menangkal semua kebokbrokan yang terjadi.3

Hari ini (Kamis, 3 Juni 2015) penulis baru saja mengunjungi salah satu tempat yang dijadikan mahasiswa JBIP 2015 training, yaitu Mediplan Co., Ltd. Ybs berasal dari STBA Yapari ABA Bandungm namanya Veryna Rachman. Dia melakukan job training di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang medis di kota Osaka yang bernama Mediplan. Co. Ltd. Mediplan adalah pusat dari fasilitas keperawatan dan bisnis keperawatan di Osaka yang berdiri sejak Desember Desember 1988. Di bawah kepemimpinan Nakada Hisashi, Mediplan mengatur pengelolaan dari penyaluran kebutuhan obat-obatan dan farmasi, juga rumah keperawatan berbayar yang berada dalam manajemen “Care Cube”. Di “Care Cube” inilah dia melakukan training.

“Care Cube” memiliki ruang kantor kecil, ruang makan bersama untuk para manula, ofuro (bak mandi khas orang Jepang), ruang cuci, tangga, elevator, dan kamar-kamar tinggal para manula sebanyak empat lantai. Selain itu, terdapat pula ruangan “Day Service”. Di ruangan ini para manula dikumpulkan antara 8-13 orang setiap sesinya untuk mendapatkan perawatan secara fisik dan emosional, misalnya seperti gerakan senam untuk melatik motorik dan menulis cara baca Kanji, membuat prakarya, mewarnai, dsb; untuk melatih kerja otak mereka. Setiap harinya “Day Service” terbagi menjadi dua sesi, sesi pagi pukul 9:30-12:20 dan sesi siang pukul 13:45-16:45.4

Dia ikut para senior jika mereka pergi menjemput para manula ke kamar mereka untuk menuju ke ruangan Day Service dan membantu mereka bersiap-siap. Selam training, dia tidak melakukan tugas sesulit yang para senior lakukan karena dia tidak memiliki pengalaman dalam mengurus para manula sesuai standar mereka, dan akan sangat berbahaya jika terjadi kesalahan. Maka dari itu, selain mengamati keseharian para pegawai saat mereka bekerja, dia juga membantu dengan melakukan hal yang bisa dia lakukan dan memang diizinkan untuk dilakukan. Contohnya seperti mengelap meja, mencuci gelas, dan menemani para manula untuk sekadar mengobrol singkat.

Kesulitan yang dia hadapi selama melakukan training ini di antaranya adalah sulitnya untuk memahami pembicaraan para manula. Tidak sedikit dari mereka yang sudah kehilangan gigi sehingga pelafalan kalimat dari mereka cukup sulit untuk dia pahami, ditambah lagi para manula banyak menggunakan dialek Osaka (Osakaben). Terlebih lagi dengan kecepatan berbicara yang lebih tinggi serta dialek Osaka yang hampir selalu mereka gunakan. Namun semua itu tidak menjadi masalah besar karena ketiga orang senior yang bekerja di Day Service selalu bersedia meluangkan waktu sejenak untuk membantunya. Dia juga merasa tertolong karena para pegawai lainnya di Care Cube bersedia menerima dia di lingkungan mereka dengan ramah.5

Demikian gambaran singkat salah seoraqng peserta JBIP 2015 melakukan kegiatannya. Menurut hemat penulis, ada satu nilai yang perlu direnungkan oleh peserta JBIP ini adalah supaya peluang emas ini dimanfaatkan untuk melakukan perenungan bahwa kita (baca:manusia) kalau sudah lanjut usia dan oleh tuhan masih diberi bonus umur sampai tua seperti mereka, kira kira speerti itu profil kehidupannya. Diberi kesempatan training di tempat seperti itu merupakan peluang emas dan bisa dijadikan sebuah pembelajaran hidup yang sangat baik dan positif.

Perlu penulis jelaskan bahwa untuk memasuki tempat rehabilitasi dan mengisi hari demi hari di tempat ini sangatlah mahal. Berdasarkan brosur yang penulis terima ketika berkunjung ke sini, tertulis rentang biaya antara 230.000 ~ 400.000 yen (kurang lebih 260 ~ 450.000.000 rupiah). Biaya yang seharga 230.000 yen, rinciannya seperti berikut. Biaya ketika awal memasuki tempat ini harus punya dana sebesar 100.000 yen, biaya bulanan sebesar 136.950 yen. Uang bulanan ini digunakan oleh pengelolanya untuk (1) perlengkapan rumah tangga (kasur dll). 69.000 yen; biaya perawatan/pengelolalan 17.000 yen, listirk 10.000 yen, dan makan keseharian 40.950 yen. Biaya tersebut untuk satu bulan sudah termasuk pajak.6

Meskipun biaya di tempat ini cukup mahal, menurut hemat penulis cukup terbayar sebab panti jompo di sini dibuat dan dilengkapai dengan networking dan layanan yang snagat prima. Keterpaduan antara para dokter, para perawat, rasa kekeluargaan antar staf, dan para pegawai yang ramah sangat tercermin di sini. „Apa artinya kekayakaan kalau hidup keseharian selalu menderita“, kira kira itulah penulis menangkap sinyal melalui senyum para manula yang penulis lihat ditempat ini. Kegiatan yang dilakukan di panti jompo ini, disamping diciptakan kehangatan dari para pegawainya, juga dilakukan cek kesehatan, rekresasi, olahraga yang ringan, dan berbagai kegiatan yang untuk menjaga kepikunan seperti calistung seperti halnya kita belajar membaca, menulis, dan berhitung masa kecil dulu. Kalau penulis perhatikan konsep lima 5S, yaitu salam, senyum, sapa, santun dan sopan, benar benar tercermin di panti jompo ini.

Di panti jompo yang penulis kunjungi ini terdiri atas 50 kamar dan masing masing kamar dilengkapi dengan AC, tombol urgent, toilet, dan wastapel). Ragam para penghuninya terdiri atas orang orang yang baru keluar dari rumah sakit (sebagai rehabilitasi), atau yang sudah lumpuh, orang yang sudah tidak bisa berbuat apa apa (Jepang: netakiri; Sunda: bilatung kasur), dan orang yang sudah pikun. Keperluan keperluan di luar itu seperti obat obatan, pemakaian listrik di kamar masing masing, popok, intinya untuk keperluan diri sendiri, menjadi tanggungan sendiri.

Layanan lainnya, yaitu para perawat akan berkunjung dan mengecek kesehatan secara periodik, dan yang lebih penting adalah ketika kesehatan para manula tiba tiba memburuk maka dengan sigap para perawat tersebut akan menangganinya dengan optimal. Selain itu, para apoteker yang akan membuat obat obatan sesuai dengan yang seharusnya mereka menyatu dengan dokter, perawat, dan para karyawan yang ada di sana. Mengapa hal hal seperti itu tercermin di sini? Sebab visi dan misi panti jompo ini merujuk pada konsep cube yaitu memadukan keselarasan antara dokter, perawat (kango), pengelola, obat2an, rehabilitasi dan plan.

Pada sebuah sumber (http://www.beritajepang.com/jumlah-lansia-di-jepang-bertambah/ [5 Juni 2015] dijelaskan bahwa pada hari penghormatan orang lanjut usia tahun 2012, Departemen Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang mengumumkan perkiraan jumlah penduduk yang berusia lanjut per tanggal 15 September 2012 (umur 65 tahun ke atas) di Jepang menjadi 30,74 juta orang, naik 1,02 juta orang dibandingkan dengan tahun lalu. Ini adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah jumlah orang lanjut usia di Jepang menembus angka 30 juta orang. Persentase terhadap jumlah penduduk juga naik 0,8% menjadi 24,1%. Ini juga merupakan persentase tertinggi dalam sejarah.

Dilihat dari jenis kelaminnya, jumlah orang lanjut usia untuk laki-laki mencapai 13,15 juta orang, sedangkan untuk perempuan mencapai 17,59 juta orang. Jumlah perempuan 4,44 juta orang lebih banyak daripada laki-laki. Dilihat dari persentasenya terhadap jumlah penduduk, laki-laki mencapai 21,2% sedangkan perempuan mencapai 26,9%. Jika dilihat dari umurnya, jumlah orang lanjut usia yang berumur 70 tahun ke atas naik 700 ribu orang menjadi 22,56 juta orang. Jumlah orang lanjut usia yang berumur 75 tahun ke atas naik 480 ribu orang menjadi 15,17 juta orang, untuk pertama kalinya dalam sejarah menembus angka 15 juta orang. Sedangkan jumlah orang lanjut usia yang berumur 80 tahun ke atas naik 380 ribu orang menjadi 8,93 juta orang.

Dengan naiknya harapan hidup di Jepang demikian tingginya sehingga beban untuk para kawula muda semakin tinggi. Hal seperti ini, cepat atau lambat akan dialami oleh Indonesia di masa yang akan datang.

Osaka, 6 Juni 2015