Menjajakan Tisu demi Bersekolah

Bandung, UPI2

Terik matahari pun tak luput menyinari kulit anak gadis kecil yang melangkah dari angkutan kota berwarna kuning. Terlihat kerudungnya menutupi bagian dahi dari wajahnya yang setidaknya dapat mengurangi rasa terik. Wajah gadis yang bernama Indah itu begitu pilu terlihat oleh mata saat harus menawarkan dagangannya kepada orang yang dijumpainya. Tak terlihat segaris pun senyuman terlukis di wajah mungilnya. Tak ada yang mengerti mengapa anak ini berdagang dengan wajah yang sedih dan penuh kasihan.

Duduk di kelas empat SDN Lembang untuk memperhatikan guru menjelaskan semua pelajaran yang ada dalam buku yang tersimpan di dalam tasnya. Selepas itu ia beranjak dari tempat duduknya sambil mengambil tas yang berisi buku dan juga tisu, barang dagangannya. Bekal yang diberikan oleh ibunya dari rumah adalah tumpukan tisu untuk dijajakan dan bukan makanan atau uang saku.

Tidak seperti teman-teman sekolahnya yang lain, ia tidak pulang ke rumah nyamannya di Sarijadi tapi ia harus berusaha mencari rupiah untuk ditukarkan dengan butiran nasi beserta lauk pauknya agar tidak kelaparan. Tak lupa pula ia langsung membuka seragam sekolahnya dan menggantinya dengan kaos agar tidak kotor ataupun lusuh. Betapa ia ingin tidak melakukannya tapi apa daya ia harus tanpa harus bertanya mengapa ia harus melakukan hal seperti ini.1

Teh, tisunya teh. Tiga rebu maratus teh.” Kata-kata ini harus selalu diucapkan saat bertemu orang lain yang ia lewati. Sambil berjalan tanpa arah karena yang terlintas dalam benaknya adalah tisu ini harus dapat dijual untuk makan pada hari ini. Tak ada yang pernah mau peduli sudah makankah gadis kecil ini. Suara kecil Indah saat menawarkan dagangan tisunya pada pembeli bagaikan suatu pertanda bahwa ia tidak memiliki tenaga yang disebabkan karena ia belum makan seharian karena belum ada dagangannya yang laku. Sejak melangkahkan kaki ke sekolah belum ada sebutir nasi pun belum masuk ke dalam mulut Indah. Bibirnya yang kering membuatnya semakin terlihat lesu dan tidak bergairah menjajakan dagangannya.

Wajah Indah pun terasa seperti bunga yang layu kemudian disiram maka ia mekar kembali saat seorang wanita berpakaian rapi memakai pantofel berhenti di depannya. “Berapaan neng satunya? Mau satu ya?” kata wanita tersebut. “Oh, iya teh. Tiga rebu maratus teh”, jawab Indah dengan penuh semangat. Segaris senyuman sudah terlukis dalam wajah mungilnya namun itu masih tidak cukup untuk membeli makanan.

Begitu banyak pertanyaan timbul dalam benak banyak orang. Kemana perginya bapak ibunya? Mengapa anaknya disuruh kerja panas-panasan seperti ini? Apakah ia yatim piatu?

Ia sendiri malu untuk menceritakannya karena ia merasa betapa buruknya nasib keluarganya. Bahkan dengan volume suara yang sengaja dikecilkan olehnya karena ia malu mengungkapkan keluarganya yang sebenarnya. Memiliki orang tua yang lengkap dan dua orang adik sangatlah senang karena dapat saling bercengkrama sepanjang sari di rumah saat berkumpul bersama. Tap hal itu hanya angan-angan belaka bagi Indah yang sembari duduk dan bersandar di sebuah tiang yang kokoh. Sang ibu juga berjuang yaitu dengan bekerja dengan berdagang asongan di jalan raya dan tak jarang ibunya menjadi pengemis di sepanjang jalan Geger Kalong dari satu rumah ke rumah lain dan dari satu restoran ke restoran lain. Sang ayah juga bekerja dalam sepengetahuannya. Hal itu diketahuinya berkat informasi yang didapatkan dari ibunya. Namun sang ayah jarang sekali pulang ke rumah dan ia juga tidak pernah melihat ayahnya bekerja.

Tak ada yang dipikirkan oleh Indah lagi selain uang untuk dia sekolah dan makan. Ia hanya ingin sedikit normal dengan anak-anak lain yang bersekolah dengan seragam yang bersih dan gagah. Cita-cita bahkan tak terpikirkan olehnya karena takut akan jatuh karena berpendapat tak akan pernah kesampaian jika kehidupannya terus begini. Hal besar yang gadis kecil ini tidak tahu dan sulit percaya adalah bahwa tidak ada yang dapat menghadang seseorang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. (Imelda Siboro, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)