Merajut Asa di Sisi Jembatan

Bandung, UPI

Ketika matahari pelan-pelan tercelup ke ufuk Barat, jalanan di pusat kota semakin riuh. Dan coba tengok lah ke jembatan penyebrangan di depan PLN alun-alun Bandung. Hati kita akan jauh lebih riuh dari riuhnya jalan. Salah satu sisi jembatan dijadikan sebuah rumah. Bukan rumah yang biasa ada dalam bayangan. Teramat sederhana dan serba kurang untuk dikatakan rumah. Namun, keceriaan membuatnya utuh dan lebih hangat. Kobaran semangat yang menyala di dalamnya tidak sesederhana bentuk rumah yang merupakan tempat belajar, berbagi, dan berkarya untuk anak-anak jalanan. Rumah itu diberi nama “Rumah Mimpi.”

Penggagasnya adalah Yusuf Yudha Erlangga, mahasiswa Universitas Komputer (Unikom) Bandung angkatan 2008. Bersama kawan-kawannya Ia mendirikan Rumah Mimpi pada tanggal 8 Mei 2011. Awalnya Rumah Mimpi berada di Monumen Perjuangan, Dipatiukur (tegak lurus Gedung Sate). Kemudian pindah ke jembatan penyebrangan Jalan Asia Afrika.

Ada sekitar 20 lebih anak yang dibina. Usia mereka sangat beragam dari 1 sampai 13 tahun. Anak paling besar namanya Chika. Di usianya, seharusnya Chika ada di kelas VII SMP. Namun karena keterbatasan kini Chika baru menginjak kelas III SD Chika mempunyai semangat belajar yang tinggi.

Keterbatasan tidak membuat semangat belajar anak-anak jalanan binaan Rumah Mimpi surut. Justru semangat mereka mampu mengobarkan semangat-semangat yang lain. Semangat para pengajar.

Apa yang diajarkan kepada anak-anak jalanan tidak hanya sekedar ilmu pengetahuan yang sifatnya teori. Tapi juga bersifat dukungan moral, untuk merubah mind-set anak-anak jalanan. Agar meskipun mereka hidup di jalan mereka menjadi anak-anak jalanan yang baik dan tetap memiliki cita-cita. Hal ini sekaligus menjadi tujuan Rumah Mimpi.

Rumah Mimpi menerapkan sistem tematik untuk pembelajarannya. Sebelum pembelajaran tematik diterapkan di kurikulum 2013, Rumah Mimpi telah menerapkan sistem tematik terlebih dahulu.

Tidak hanya anak-anak jalanan yang belajar di Rumah Mimpi. Pada prinsipnya anak-anak jalanan dan pengajar sama-sama belajar. Pengajar memberi ilmu kepada anak-anak jalanan binaan Rumah Mimpi, pengajar pun sama. Pengajar belajar dari kehidupan anak-anak jalanan. Anak-anak jalanan dan pengajar saling bertukar ilmu kehidupan. “Mereka belajar dari kita, dan kita pun belajar dari mereka.”

Ada nilai filosofis yang diambil Rumah Mimpi dari sepenggal lirik lagu pelangi-pelangi. Merah, kuning, hijau, di langit yang biru. Maknanya kita memang berbeda-beda namun kita berada di bawah atap yang sama, langit biru. (Miyanti, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, FPIPS, UPI)