Model Komunikasi dalam Praktek Pendidikan

Tulisan ini berpijak dari keprihatinan terhadap berbagai persoalan pendidikan di Indonesia, salah satunya yakni berkaitan dengan rendahnya mutu pendidikan, sebagaimana sering dikemukakan oleh para ahhli, praktisi dan pemerhati pendidikan. Hasil penelusuran dari berbagai sumber kompas.com/read/2019, rendahnya mutu pendidikan di Indonesia diantaranya dinyatakan oleh Bank Dunia (World Bank) bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, meski perluasan akses pendidikan untuk masyarakat dianggap sudah meningkat cukup signifikan. Survei Political and Economic Risk Consultan (PERC), menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke 12 dari 12 negara di Asia, berada di bawah posisi Vietnam. Begitu juga survei yang dilakukan oleh Programme for Internasional Student Asessment (PISA) dari 2015 sampai dengan tahun 2018 untuk tiga tes kompetensi dasar yaitu membaca, matematika, dan sains memperilhatkan trend yang sangat meprihatinkan sebagaimana yang tampak pada table berikut ini. Survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada Desember 2019 di Paris, juga menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara, berada di peringkat enam terbawah, masih kalah dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Education Index dari Human Development Reports (2017), pun menyebut Indonesia ada di posisi ke-7 di ASEAN dengan skor 0,622. Skor tertinggi diraih Singapura (0,832), Malaysia (0,719), Brunei Darussalam (0,704), Thailand dan Filipina sama-sama memiliki skor 0,661.

Gambara tentang rendahnya mutu pendidikan sebagaimana terungkap di atas, membuat saya berpikir ulang tentang kontribusi besarnya anggaran terhadap mutu pendidikan. Faktanya anggaran pendidikan pada tahun 2018 sebesar 444 triliun dan tahun 2020 yang mencapai 505,8 triliun atau sekitar 20% dari total APBN ternyata tidak menjamin mutu pendidikan. Karena itu, pertanyaannya adalah: mengapa mutu pendidikan di Indonesia rendah dan bagaimanakah caranya untuk memecahkan rendahnya mutu pendidikan tersebut?

Kreativitas dan Mutu Pendidikan

Rendahnya mutu pendidikan sudah tentu merupakan produk dari sistem pendidikan, yang diduga kurang atau bahkan tidak mampu mengembangkan keseluruhan dimensi psikologis individu secara optimal. Dimensi psikologis yang tampaknya kurang mendapat perhatian yang optimal adalah dimensi kreativitas. Padahal di sisi lain kreativitas individu sangat dibutuhkan. Sebab kreativitas dapat melahirkan inovasi yang mengendap dalam manifestasi budaya. Melalui kreativitas itulah kehidupan manusia menjadi penuh makna.

Jika kemampuan berpikir kreatif dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, maka sistem pendidikan kita hendaknya ditujukan, untuk mengembangkan kualitas berpikir peserta didik, agar dalam proses perkembangan kognitif dan inteligensinya memperoleh peluang secara optimal.

Kreativitas dan Lingkungan

Aktualisasi kemampuan berpikir kreatif merupakan resultante dari proses interaksi dan interdependensi antara faktor-faktor psikologis dan faktor lingkungan. Dua lingkungan yang dianggap memiliki peran strategis terhadap perkembangan kemampuan berpikir kreatif anak, yaitu; 1) Lingkungan kehidupan keluarga, dan 2) lingkungan kehidupan sekolah. Baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah, terdapat faktor-faktor yang dapat

memudahkan, ataupun menghambat perkembangan kemampuan berpikir kreatif anak. Salah satu faktornya adalah komunikasi yang terjadi di dalamnya.

Menyadari akan pentingnya komunikasi anak dengan orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah: model komunikasi yang bagaimanakah yang harus dikonstruksi dan dikembangkan oleh orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing sehingga mampu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif anak yang pada gilirannya diharapkan dapat memecahkan rendahnya mutu pendidikan?

Model Komunikasi yang Efektif bagi Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Anak

Model yang dikembangkan berpijak pada tiga pijakan, yaitu pijakan filososfis, teoretis, dan empiris. Pijakan filosofis, mengacu kepada Alquran dan filsafat pendidikan Kihajar Dewantara. Setidaknya ada enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) dalam Al-Qur’an yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi, yaitu (1) Qaulan Balighan, (2) Qaulan Maisuran (3) Qaulan Kariman (4) Qaulan Ma’rufan, (5) Qaulan Layinan, (6). Qaulan Sadidan. Ke enam kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi yang dijadikan landasan filosofis dalam mengembangkan model komunikasi yang efektif. Filsafat pendidikan yang dimunculkan oleh Kihajar Dewantara, yaitu: ‘’ ing ngarso sung tulodo ing madyio mangun karso, dan tutwuri handayani’’. Falsafah tersebut mengandung makna yang sangat dalam dan mengandung nilai- nilai, norma-norma berperilaku bagi individu ketika berhubungan dengan individu lainnya. Dalam konteks komunikasi ketiga falsafah di atas mengandung makna bahwa seorang komunikator harus dapat berperan pada ketiga posisi di atas sesuai dengan konteks situasi komunikasinya.

Pijakan teoretis, pertama mengacu pada pendekatan yang dikemukakan oleh Fisher (1978) yaitu pendekatan yang menekankan kepada aspek penyesuaian antara komkunikator dan komunikan dalam memandang komunikasi yang efektif. Kedua mengacu kepada teori hubungan interpersonal yang dikemukakan oleh Eric Berne (1972). Sementara itu sebagai pijakan empirisnya, didasarkan pada hasil pengamatan terhadap berbagai kecenderungan pola perilaku atau cara berkomunikasi seseorang.

Dari hasil kajian filosofis, teoretis, dan empiris beberapa postulat yang dapat dikemukakan dalam memandang konsep dan proposisi komunikasi yang efektif, adalah sebagai berikut: (1) Aspek penyesuaian antara komunikator dan komunikan merupakan fenomena normal komunikasi manusia yang secara dramatis dapat memaksimalkan kemungkinan pencapaian proses komunikasi yang efektif; (2) Situasi dan hubungan sosial antara komunikator dengan komunikan terutama dalam ruang lingkup kerangka rujukan, maupun luasnya pengalaman diantara mereka merupakan faktor kunci bagi terciptanya komunikasi yang efektif (3) Kebersamaan dalam makna atau pengertian bersama antar pribadi sebagai suatu fungsi orientasi persepsi, sistem kepercayaan dan gaya komunikasi sebagai kunci bagi terciptanya komunikasi yang efektif; (4) Bahwa hubungan interpersonal akan berlangsung baik apabila antara individu yang satu dengan yang lainnya terdapat kesesuaian sikap kepribadian yang ditampilkan.

Berpijak dari landasan filosofis, teoretis, dan empiris sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kemudian dikonstruksi dan dikembangkan pada sebuah model yang dinamakan model komunikasi yang efektif bagi perkembangan kemampuan berpikir kreatif anak sebagaimana tampak pada gambar beikut.

Ada dua unsur utama dari proses komunikasi yang menjadi fokus perhatian dalam model yang dikembangkan, yakni: unsur komunikator (orang tua dan guru) dan unsur komunikan (anak). Pokus perhatian unsur komunikator, terkait dengan sikap, ucapan, dan perbuatan ketika berkomunikasi dengan komunikan. Sikap, ucapan, dan perbuatan komunikator ini kemudian dinamakan sebagai gaya komunikasi. Selanjutnya gaya komunkasi seorang komunikator dibedakan ke dalam tiga gaya, yaitu: 1) Gaya komunikasi instruksional (Instructive Communicarion Style), 2) Gaya komunikasi partisipasi (Participative Communication Style), dan

3) Gaya komunikasi delegasi (delegative communication style).

Sementara itu pokus perhatian unsur komunikan, terkait dengan aspek frame of reference, (kerangka rujukan) yang kemudian dinamakan sebagai kemampuan berpikir kreatif. Selanajutnya, kemampuan berpikir kreatif anak juga dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu: 1) Kemampuan berpikir kreatif tingkat rendah, 2) Kemampuan berpikir kreatif tingkat sedang, dan

3) Kemampuan berpikir kreatif tingat tinggi

Beberapa proposisi yang dikembangkan dari model tersebut yaitu (1) Efektivitas komunikasi dapat terjadi, jika komunikator (guru atau orang tua) mampu menyesuaikan gaya komunikasinya dengan tingkat kemampuan berpikir kreatif anak (2) Gaya komunikasi intruksional memiliki kemungkinan etektif paling tinggi jika di terapkan pada anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat rendah (KR1); (3) Gaya komunikasi partisipasi memiliki kemungkinan efektif paling tinggi jika diterapkan pada anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat sedang (KR2), dan (4) Gaya komunikasi delegasi memiliki kemungkinan efektif paling tinggi jika diterapkan pada anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat tinggi (KR3).

Beerling (1988) dan Peursen (1989) mengatakan bahwa suatu pengetahuan dapat disebut sebagai pengetahuan ilmiah jika telah memiliki syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah: 1) memiliki dasar pembenaran melalui proses pengujian atau diverifikasi kebenarannya baik secara a priori maupun secara empiris, 2) bersifat sistemik, prosedural dan bersifat utuh, sehingga memberikan jaminan tercapainya suatu kepastian kebenarana pengetahuan ilmiah, dan 3) memiliki sifat kebenaran yang intersubjektif.

Untuk memenuhi persyaratan-persayarat sebagaimana dikemukakan oleh Beerling dan Peursen tersebut, proposisi – proposisi yang dikembang pada model diubah statusnya menjadi hipotesis untuk diuji secara empiris. Selanjutnya dapat saya informasikan bahwa proses pengujian terhadap model yang saya kembangkan, telah menempuh perjalanan ilmiah yang relatif cukup panjang dan komnprehensif, mulai dari analisis fenomena, diskusi ilmiah, observasi serta diuji melalui penelitian dengan berbasis metode kuantitatif pada siswa SMA Negeri dan Swasta di Kota Madya Sukabumi serta kepada mahasiswa. Hasil penelitiannya dapat dikemukakan sebagai berikut:

Pertama, secara umum bahwa kemampuan berpikir kreatif anak antara lain tergantung atas komunikasi yang dibinanya di lingkungan keluarga bersama orang tuanya, dan di lingkungan sekolah bersama gurunya. Orang tua dan gurulah sumber otoritas dimana komunikasi yang terjadi di lngkungannya masing-masing merupakan faktor terpenting. Sebagai suri tauladan bagi perilaku anak, orang tua dan guru menjadi figur sentral. Sadar atau tidak perilaku orang tua dan guru dijadikan model identifikasi dan ditiru oleh anak.

Kedua, gaya komunikasi instruksional yang dikembangkan orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing memiliki tingkat efektivitas yang tinggi ketika di adaptasikan kepada anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat rendah. Sebaliknya, jika yang

dikembangkan gaya komunikasi partisipasi dan gaya komunikasi, maka secara statistis dapat diprediksi kemampuan berpikir kreatif anak tidak akan berkembang secara optimal.

Ketiga, Gaya komunikasi partisipasi yang dikembangkan orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing memiliki tingkat efektivitas yang tinggi ketika di adaptasikan kepada anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat sedang. Sebaliknya, jika yang dikembangkan gaya komunikasi istruksional dan gaya komunikasi delegasi, maka secara statistis dapat diprediksi kemampuan berpikir kreatif anak tidak akan berkembang secara optimal.

Keempat, gaya komunikasi delegasi yang dikembangkan orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing memiliki tingkat efektivitas yang tinggi ketika di adaptasikan kepada anak yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tingkat tinggi. Sebaliknya, jika yang dikembangkan gaya komunikasi istruksional dan gaya komunikasi partisipasi, maka secara statistis dapat diprediksi kemampuan berpikir kreatif anak tidak akan berkembang secara optimal. Hasil penelitian menegaskan bahwa model komunikasi yang efektif bagi perkembangan keamampuan berpikir kreatif yang dikembangkan, telah memenuhi kaidah-kaidah pengetahuan

ilmiah sebagaimana telah ditetapkan oleh Beerling dan Peurson sebelumnya.

Adanya pengaruh yang positif dari komunikasi anak dengan orang tua dan guru di lingkungannya masing-masing terhadap kemampuan berpikir kreatif anak, telah menempatkan ilmu komunikasi sebagai the most significant factor dan orang tua sebagai the first significant persons serta guru sebagai the second significant person dalam dunia pendidikan baik itu di lingkungan keluarga maupun di lingkungan persekolahan, khususnya dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif anak.

Terkait dengan fungsinya yang sangat penting itu, efektivitas komunikasi pendidikan mengacu kepada bagaimanakah gaya komunikasi yang berlangsung di dalamnya. Karena itu, dalam konteks komunikasi pendidikan, ada tiga gaya komunikasi yang dapat dikembangkan, yaitu:

(1) gaya komunikasi instruksional, (2) gaya komunikiasi partisipatif, dan (3) gaya komunikasi mendelegasi. Penerapan dari ketiga gaya komunikasi tersebut bersifat fleksibel, artinya tidak ada satupun gaya yang paling efektif diantara ketiga gaya tersebut. Efektif tidaknya suatu gaya komunikasi akan bergantung kepada frame of reference komunikan.

Usaha untuk menciptakan suasana komunikasi yang efektif bagi perkembangan kemampuan berpikir kreatif anak tergantung atas niat baik dan inisiatif orang tua dan guru. Sebagai orang yang sangat bermakna orang tua dan guru melalui komunikasi yang dibinanya dapat berbuat banyak dalam membina kemampuan berpikir kreatif anak.

Akhirnya dengan telah dilakukannya pengujian secara empiris, model komunikasi yang saya kembangkan telah memenuhi kaidah-kaidah pengetahuan ilmiah sebagaimana telah dikemukakan oleh Beerling dan Peurson sebelumnya. Mudah-mudahan secara aksiologis-teoretis memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu komunikasi khususnya komunikasi pendidikan, dan secara aksiologis-praktis dapat memecahkan rendahnya mutu pendidikan sebagaimana dikemukakan diawal tulisan ini (Prof. Dr. Edi Suryadi, M.Si, Guru Besar Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia)