Pasca-Orba: Banyak Harapan Yang Belum Terlihat, kecuali Kebebasan Berekspresi

1-1Bandung, UPI

Kondisi kehidupan sosial dan politik bangsa Indonesia pada masa Orde Baru dikecam karena kurang mencerminkan cita-cita masyarakat yang demokratis. Anggapannya, kesalahan berakar pada otoritas negara sebagai sebuah indoktrinasi politik.

“Setelah jatuhnya rezim otoriter, harapan besar muncul bahwa kehidupan bangsa akan lebih demokratis, namun tampaknya harapan ini tidak begitu terlihat, kecuali dari aspek kebebasan berekspresi. Di era ‘transisi demokrasi’ orang Indonesia dihadapkan dengan berbagai fenomena yang benar-benar menyangkut kehidupan masyarakat, adanya perubahan drastis dan fantastis dalam kehidupan sosial dan budaya,” kata Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, M. Si., saat menjadi pembicara dalam acara 1st UPI ICSE International Conference on Sociology Education “Education for Suistainbility Development and Empowering Community” di Auditorium Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia (FPIPS UPI), Senin (12/10/2015).

Lebih lanjut dikatakan, kondisi saat ini tergambarkan bahwa orang-orang yang sebelumnya dikenal sebagai sabar, ramah, sopan dan baik, serta rendah hati kini menjadi pemarah, kasar, dan dendam. Tingkat disiplin dalam masyarakat sangat rendah. Menurut penelitian, yang terjadi adalah adanya Fundamental Sociological Symptoms atau gejala sosiologis fundamental, dijelaskan secara sosiologis, dimana situasi bergejolak karena kita merasa hari ini (setelah reformasi) memiliki sesuatu yang dapat dilakukan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang dibangun di masa lalu.

Analisis situasi setelah reformasi mengungkapkan ada beberapa fenomena sosiologis yang mendasar, yang dapat memotivasi gejolak dalam masyarakat kita hari ini. pertama, setelah runtuhnya “otokrasi” struktur kekuasaan rezim Orde Baru, apa yang kita dapatkan adalah oligarki bukan demokrasi, Kedua, sumber gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah permusuhan sosial budaya.1-2

Dijelaskan,”Hal seperti itu terjadi karena kurangnya nilai-nilai yang disepakati (integrasi normatif), partisipatif dan integrasi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif). Perlu untuk keseimbangan antara hak dan tanggung jawab, perlunya keseimbangan antara hak (berorientasi ego) dan tanggung jawab (mayoritas oriented).”

Diperlukan sebuah kesepakatan untuk menciptakan moral yang baru melalui Comunitarian Movement atau Gerakan Komunitarian artinya membangun semangat untuk menumbuhkan moral yang baru bagi peradaban modern yang gagal, seperti yang diutarakan oleh Etzioni dan Giddens (1998) dalam “The Third Way”. Gerakan komunitarian mengandung arti perjanjian manusia modern untuk menciptakan moral, sosial, dan masyarakat orde baru yang didasarkan pada penguatan nilai “kebersamaan”, tanpa puritanisme dan penindasan.

Repositioning the Role of Sociology menggunakan tiga pendekatan, pertama, pendekatan pembangunan Psycho-pedagogis, kedua, pendekatan pembangunan sosial-budaya, dan Ketiga, pendekatan intervensi sosial-politik. Sosiologi perlu direvitalisasi sebagai kursus kurikuler di pendidikan formal dan pendidikan non formal. Sosiologi perlu diposisikan sebagai gerakan sosial-budaya dari masyarakat. Sosiologi perlu diposisikan sebagai program pendidikan umum untuk pejabat negara, anggota dan pemimpin organisasi sosial dan organisasi politik dikemas dalam berbagai bentuk pembinaan pengetahuan tentang kehidupan sosial, keterampilan hidup, dan kebajikan kehidupan sosial yang mengacu pada prinsip-prinsip konseptual-pedagogik untuk mengembangkan seluruh kepemimpinan.1-3

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, ketua pelaksana The 1st UPI International Conference on Sociology Education (UPI ICSE 2015) Siti Nurbayani K, S.Pd.,M.Si., mengatakan,”Kegiatan ini diselenggarakan dengan maksud untuk menyediakan platform untuk pendidik, peneliti, seniman, cendekiawan, manajer, mahasiswa pascasarjana dan sosiolog dari latar belakang budaya yang berbeda untuk mempresentasikan dan mendiskusikan penelitian, perkembangan dan inovasi di bidang Sosiologi. Ini memberikan kesempatan bagi para delegasi untuk bertukar ide-ide baru dan pengalaman aplikasi, untuk membangun bisnis atau penelitian hubungan dan menemukan mitra global untuk kerjasama masa depan.”

Semua makalah yang diterima dari UPI ICSE 2015, akan diterbitkan dalam Advanced in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), ISSN 2352-5398. Diindeks oleh CPCI-SSH Thomson Reuteurs and Google Scholar. Semua artikel mendapatkan identifier objek digital (DOI). DOI merupakan identitas digital standar yang digunakan di semua penerbit ilmiah utama dan dikelola oleh CrossRef.

Konferensi ini terselenggara atas kerjasama Program Studi Pendidikan Sosiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (SPs UPI), bekerjasama dengan AP3SI (Asosiasi Profesi Pendidik dan Peneliti Sosiologi Indonesia-Asosiasi Profesional Indonesia Guru dan Peneliti)

menghadirkan Assoc. Prof. Beth L. Goldstein, dari University of Kentucky, US, Prof. Makoto Ito dari Tokyo Metropolitan University, dan Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si., dari UPI, Indonesia, dan diikuti oleh 249 peserta dengan jumlah paper sebanyak 180 abstrak. (dodiangga)