Pembela Kebenaran Akan Dibela Oleh Kebenaran Itu Sendiri

Bandung, UPI

Rabu (1/12), Rasulullah Saw. memerintahkan kepada umatnya untuk mengatakan kebenaran walaupun pahit. Hal ini dikarenakan, kebenaran merupakan bagian dari dakwah, sehingga kegiatan ini menjadi sebuah kewajiban bagi setiap umat Islam. Maka dari itu penjelasan Dr. KH. Aam Abdussalam, M.Pd. berikut ini bisa dijadikan bahan rujukan oleh umat Islam dalam memahami makna dari Pembela Kebenaran Akan Dibela Oleh Kebenaran Itu Sendiri. Hal ini dijelaskan dalam Surah Al-Lahab ayat 1 sampai 5

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ ١ مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ ٢ سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ ٣ وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ ٤ فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ ٥

Artinya: (1) Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia. (2) Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. (3) Kelak dia akan memasuki api yang bergejolak (neraka), (4) (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). (5) Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal. (Q.S. Al-Lahab: 1-5)

Dalam beberapa tafsir klasik dijelaskan, ayat ini diturunkan setelah surah Asy-Syura ayat 214 yang dimana Rasulullah Saw. diperintahkan untuk memberikan peringatan kepada keluarga terdekatnya, kemudian beliau naik ke bukit Sofa dan menyeru orang-orang Quraisy agar berkumpul, sehingga yang berhalangan pun mengutus wakilnya. Abu Lahab juga turut hadir pada kesempatan ini, bahkan Abu Lahab selalu hadir kemanapun Rasulullah menyampaikan dakwahnya. Kemudian Rasulullah berkata kepada mereka: “Hadirin sekalian, kalau aku beritahu kalian kalau di lembah ada pasukan musuh yang akan menyerang, apakah kalian akan mempercayaiku?”. Mereka menjawab: “Tentu kami akan percaya, karena kami tidak pernah mendengar engkau berdusta”. Beliau melanjutkan: “Camkan oleh semuanya, sesungguhnya aku mengingatkan kalian semua tentang azab yang akan datang di kemudian hari jika terus dalam kemusyrikan”. Maka dengan segera Abu Lahab bereaksi: “Celaka kau Muhammad, hanya karena inilah engkau kumpulkan kami?”. Pada saat peristiwa inilah kemudian Allah Swt. meresponnya melalui surah Al-Lahab.

Abu Lahab bernama lengkap Abdul Uzza bin Abdul Mutholib. Ia disebut Abu Lahab karena wajahnya yang kemerah-merahan dan merupakan paman dari Rasulullah Saw.. Istrinya adalah Ummu Jamil atau Arwa binti Harb bin Umayyah dan merupakan saudara kandung dari Abu Sofyan yang merupakan penguasa Mekkah pada waktu itu. Al-Qur’an menyebutkan mereka secara spesifik dalam sebuah surah dikarenakan mereka berdua sangat keras menentang Rasulullah Saw. sehingga selalu mengikuti Rasulullah dalam berdakwah dalam upaya untuk menghadang dakwahnya. Pada beberapa kesempatan, mereka pernah mengatakan bahwa Muhammad hanya seorang pendusta; memfitnah dan menjelekkan Rasulullah; menebar duri setiap hari pada jalan yang di lalui oleh Rasulullah; melempari Rasulullah dengan kotoran unta; anak mereka (Utbah) juga datang menemui beliau untuk menceraikan Ummu Kultsum sambil meludahi Rasulullah, dan Ummu Jamil yang memfitnah Rasulullah di depan Abu Bakar bahwa Rasulullah telah mencela dan membencinya, namun Abu Bakar meresponnya dengan bersumpah demi Allah bahwa Rasulullah tidak mencela dan membencinya.

Di dalam Tafsir Jaelani dijelaskan bahwa, seluruh ayat yang Allah turunkan dalam Al-Qur’an bertujuan untuk Al-Irsyad Wa Takmil (bimbingan dan penyempurnaan) pribadi manusia. Dari surah ini kita dapat mengambil pelajaran tentang Husnul Mu’asyaroh (baiknya bergaul, berinteraksi, dan cara bermasyarakat) dan Adab Al-Mushohabah (bersahabat dengan sesama muslim), serta menjelaskan tentang hina dinanya pedaya dunia karena tidak memiliki akar kebenaran yang hakiki, betapapun mereka gigih memperjuangkan dan mempertahankan kemusyrikan, serta mengagungkan keduniaan, karena tidak mengakar pada kebenaran yang hakiki itu akan menjadi kehinaan yang luar biasa.

Sesungguhnya ketauhidan yang didakwahkan oleh Rasulullah Saw. adalah kebenaran, kesejatian, atau kemurnian yang hakiki, karena kebenaran yang hakiki merupakan Al-Haqq itu sendiri. Ia akan memiliki dayanya sendiri selama ada yang membelanya dengan cara yang Haqq tanpa memberikan ruang untuk kecurangan, kebencian, ataupun amarah di dalamya, karena pembelaan kebenaran hanya dilakukan dengan kebenaran, sehingga kebenaran hendaknya menyatu dengan Al-Haqq dan kebenaran itu yang kemudian menjadi cinta kepada Al-Haqq. (Cikal Aktar Muttaqin)