Pendidikan Wacana di Era Hiperteks

Wacana hadir dalam keseharian kita: pada koran, majalah, tabloid, naskah iklan, televisi, baligo di pinggir jalan, mural tembok, buku, buletin, naskah pidato, laporan, surat undangan, surat elektronik, maupun pada jejaring media sosial. Isi wacana (teks) merentang dari yang bersifat humor hingga yang bersifat akademik, dari yang berisi gosif murahan hingga data faktual yang penuh nalar dan logika, dari informasi hoaks (fake news, palsu) yang menjurus fitnah hingga informasi profan-dakwah-menyejukkan yang mengarahkan pembaca pada kesadaran spiritual.

Namun demikian, tebaran wacana juga dapat berefek negatif, setidaknya dapat kita temukan melalui maraknya berita hoaks. Survei Mastel pada 2019 (Syahputra, 2019) menunjukkan sebanyak 87,50 persen hoaks disampaikan melalui media sosial dengan konten isu politik (93%) dan konten isu SARA (76,3%). Data ini mengindikasikan besarnya kecenderungan teks politik di media sosial bermuatan informasi palsu dan melanggar SARA.

Sementara itu, temuan Jabar Saber Hoaks (JSH) pada 2019  menyebut sebanyak 5.685 informasi terdeteksi hoaks. Sebanyak 1.731 merupakan hoaks bidang politik,  922 hoaks berkait dengan regulasi hukum, dan sejumlah 571 berkait dengan  isu SARA.  Berikutnya hoaks ditransmisikan melalui media WhatsApp (WA) sebanyak 2.374, media Instagram  sebanyak 1.961, dan facebook sejumlah 666 (Pikiran Rakyat, 2 Januari 2020).

Lebih lanjut, efek negatif hoaks memicu kejahatan berbahasa di dunia maya (cyber crime). Data Mabes Polri pada 2018 (Saifullah, 2019) menunjukkan sebanyak 3.325 kasus hukum berkaitan dengan kejahatan ujaran, terdiri atas penghinaan sebanyak 1.657 kasus, ujaran kebencian (hatespeech) sebanyak 1.224 kasus, dan pencemaran nama baik sebanyak 444 kasus.

Wacana dapat dikatakan sebagai ilmu bahasa yang mengkaji prilaku manusia, peristiwa sosial, dan praktik sosial dalam berbahasa (Fairclough, 2006). Manifestasi prilaku itu tampak dari berbagai kepentingan orang dalam berbahasa. Dengan semakin kompleksnya simbol dan medan wacana, diperlukan kompetensi berwacana yang multiliterasi sebagai konsekuensi multiinteraksi manusia dengan sumber wacana. Literasi  manusia saat ini tidak cukup diletakkan pada interaksi satu bidang saja (monodisiplin), namun seseorang, terutama akademisi harus melek dengan beragam informasi (lintasdisipliner) sesuai dengan tuntutan global.

Kompleksitas tersebut harus dihadapi dengan hadirnya kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, sikap kolaboratif dan bekerjasama, kemampuan menata masalah kompleks, cerdas dalam mengelola emosi dalam pengambilan keputusan, cakap bernegosiasi dan membangun jejaring sosial dan tentu saja kemampuan berpikir logis dan matematis agar dapat mengadaptasi segala bentuk perubahan di era ini. Industri era keempat ini bukan hanya ditandai dengan semakin derasnya informasi di genggaman kita dan bergantinya pekerjaan manusia dengan mesin-mesin robotik, namun juga muncul gejala lunturnya nilai dan prilaku manusia, terutama nilai keberagaman dan keberagamaan  yang sesungguhnya merupakan petaka paling besar abad ini.

Wacana juga berkait dengan fungsi bahasa sebagai kontrol sosial, yakni dapat menjadi alat untuk mempengaruhi dan membingkai pemikiran publik. Lihatlah, misalnya selebaran, pamflet, baliho, spanduk, termasuk juga sigi (survei) yang masih digunakan dalam kampanye legislatif atau eksekutif, masih diyakini berpengaruh terhadap keajekan pilihan masyarakat. Melalui penggunaan bahasa yang menjanjikan, merayu, memprovokasi,  mencela, membohongi, hingga memfitnah pada selebaran dan status di media sosial ditebar kepada masyarakat dengan harapan publik terpengaruh dengan informasi yang diberikan. Pada pemilu 2014, misalnya muncul tabloid Obor Rakyat, yang isinya dianggap lebih banyak provokasi, fitnah, dan agitasi kepada lawan politik tertentu sehingga harus berurusan dengan hukum. Fenomena serupa terjadi pada pemilu 2019 dengan munculnya tabloid Barokah yang disebar ke masjid-masjid yang isinya menyudutkan pihak tertentu.

 Sebagai kajian interdisipliner, analisis wacana (AW) memungkinkan pengkaji bahasa untuk melihat fenomena bahasa sebagai peristiwa sosial.  Urgensi dan argumentasi dihadirkannya AW di ruang-ruang kelas di perguruan tinggi maupun di sekolah sebagai berikut. Pertama,  AW merupakan pendekatan interdisipliner yang memungkinkan mahasiswa membangun literasi yang lebih luas, bukan hanya pada ilmu sebidang.  Kedua, AW dapat dipelajari oleh mahasiswa lintas bidang. Sebagai disiplin ilmu, AW merupakan ilmu yang fleksibel dan dapat dipelajari oleh semua mahasiswa yang tertarik pada fenomena bahasa dari sudut pandang disiplin ilmunya, atau sebaliknya.  Ketiga, AW membangun kemampuan berpikir kritis.

Mengingat yang dianalisis dari AW adalah ideologi yang membangun teks, maka AW akan melatih mahasiswa berpikir kritis, mengunakan logika dan rasio dalam menghubungkan satu fenomena dalam rangkaian bahasa. Keempat, AW membangun sikap peduli terhadap fenomena yang terjadi. Efek dari hadirnya teknologi informasi menyebabkan manusia terisolasi dari lingkungan sosial dan kurang peka terhadap kejadian yang ada di lingkungannya.  Kelima, AW membangun struktur berpikir analitis dalam menganalisis fenomena. Dengan berlatih menggunakan perangkat analisis yang sistematis, para mahasiswa dapat membangun struktur berpikir yang analitis dan evaluatif. Keenam, AW melatih mahasiswa mencari penyelesaian masalah secara multidipliner. Fakta sosial menunjukkan bahwa penyelesaian masalah tidak dapat dimonopoli satu bidang ilmu tertentu.

Pada gilirannya, melalui pendidikan wacana diharapkan dapat hadir kesadaran literasi kritis akan pentingnya informasi sebagai instrumen pengembangan diri dalam membangun peradaban dunia ( Prof. Dr. Dadang S. Anshori, M.Si yang merupakan Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Wacana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) Universitas Pendidikan Indonesia)