Peranan Generasi Millenial Di Era 4.0 dalam Meneruskan Estafet Politik di Indonesia

Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si.

Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI

Menurut saya, Milenial adalah potensi dan kekuatan. Mereka, anda semua, adalah aset berharga bangsa ini. Teori tetang generasi ini dipopulerkan oleh Neil Howe dan William Strauss pada tahun 1991. Howe & Strauss (1991) membagi generasi berdasarkan kesamaan rentang waktu kelahiran dan kesamaan kejadian-kejadian historis. Menurut mereka, generasi milenial adalah orang yang lahir di rentang tahun 1982-2000. Adapun setelahnya merupakan generasi post-millenials.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlah generasi milenial mencapai 69,38 juta jiwa atau sekitar 25,87% dari populasi Indonesia. Sementara untuk generasi Z mencapai 74,93 juta jiwa atau sekitar 27,94% dari total penduduk Indonesia. Besarnya jumlah populasi generasi milenial dan generasi Z ini sungguh sangat penting mengingat peran strategis mereka sebagai penerus pembangunan bangsa Indonesia.

Dalam dunia “politik praktis” maupun “politik etis”, generasi milenial dan juga generasi post-milenials, akhir-akhir ini sudah mulai menunjukkan peran dan kontribusi yang cukup menonjol. Di usia mereka yang terbilang muda, mereka sudah berani terjun ke dunia politik, yang kata orang selama ini “politik itu kejam”.

Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, kita dapat temukan banyak sekali generasi milenial yang berpartisipasi dalam Pemilihan anggota legislatif, dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Di tingkat pusat (DPR RI), di tahun 2019 ada 52 caleg terpilih dari kalangan milenial.

Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik generasi milanial cukup tinggi. Secara teoritis, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara, ikut serta dalam Pemilu, atau melakukan aktivitas yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Yang menarik, generasi milenial di era 4.0 ini memiliki karaker dan perilaku politik yang khas dalam melakukan partisipasi politik. Dalam satu dekade terahir, mereka sangat aktif menjadi bagian atau segmen masyarakat yang paling banyak menggunakan media sosial berbasis internet dalam merespon isu-isu politik maupun dalam melakukan aktivitas politik.

Perlu kita ketahui bahwa penggunaan internet di kalangan milenial hari ini sudah mencapai 88,5 persen. Intensitas generasi milineal ini dalam menggunakan teknologi informasi berbasis internet telah menjadi trend sekaligus rutinitas yang terkadang mengambil sebagain besar waktu mereka. Media sosial ini sangat efektif sebagai sarana untuk melakukan penyebaran informasi, pengembangan pengetahuan, termasuk untuk melakukan kampanye politik (Komariah & Kartini, 2019).

Selama ini, partisipasi politik generasi muda (terutama mahasiswa) pada umumnya lebih banyak memilih posisi di luar kekuasaan. Mereka berpolitik secara etis, sebagai penjaga moralitas politik publik. Saya fikir pilihan itu adalah pilihan yang baik dan memang harus ada sebagian generasi muda yang berperan sebagai alat kontrol kekuasaan di setiap zaman.

Namun, tidak ada salahnya pula apabila ada sebagian dari generasi muda yang sudah mulai terjun ke dunia politik praktis untuk mempersiapkan diri melanjutkan estafet politik tanah air. Namun, jangan sampai generasi muda kehilangan idealismenya begitu masuk ke dunia politik. Mereka harus tetap memegang teguh nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keadilan, sebagaimana kata Aristoteles, bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Jadi hakikatnya berpolitik adalah ikhtiar untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan kerusakan bersama. Itu yang harus dicamkan oleh generasi milenial.

Tentu kita turut prihatin, selama ini dunia politik dipersepsikan secara buruk oleh masyarakat, termasuk oleh sebagian generasi muda. Menurut riset yang dilakukan oleh Litbang Media Indonesia, ada beberapa alasaan generasi milenial tidak tertarik pada politik, antara lain:

  1. Menganggap politik sebagai hal yang membosankan
  2. Aktor-aktor politik lebih mementingkan diri sendiri
  3. Banyak hoaks yang beredar.

Persepsi demikian tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena mereka melihat secara empiris berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi selama ini. Untuk itu, tugas dari generasi milenial dan post-millenials hari ini dan di masa depan adalah melakukan perubahan/perbaikan terhadap budaya dan nilai-nilai politik yang masih buruk. Marilah kita gali kembali teladan-teladan politik dari para pendiri bangsa kita. Jika kita belajar dari para founding fathers bangsa ini, setidaknya ada dua learning points yang dapat kita adaptasi hari ini.

Pertama, tokoh-tokoh utama dari founding fathers kita dulu adalah orang-orang yang tulus dalam memikirkan nasib bangsa dan negaranya. Meskipun mereka tidak “satu warna” (beragam warna ideologi politik), namun mereka tetap meyakini bahwa politik adalah kegiatan untuk menciptakan kebaikan bersama, meski dengan cara pikir yang majemuk. Namun, mereka tetap dapat menjaga persatuan Indonesia. Kedua, mereka adalah orang-orang yang aktif dalam dunia politik di usia yang masih sangat belia.

Tahukan Anda usia berapa Soekarno mulai terkenal? Beliau mulai terkenal sejak masuk sebagai anggota Jong Java cabang Surabaya di usianya yang baru 14 tahun. Kemudian, di usianya yang baru 25 tahun, Bung Karno mendirikan Algemeene Studie Club (ASC) atau klab kuliah umum di Tanah Pasundan, Bandung pada tahun 1926, yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI). Hingga akhirnya sejarah bangsa ini mencatat Ir. Soekarno menjadi presiden Republik Indonesia pertama, di usianya yang baru menginjak 44 tahun.

Demikian pula Mohammad Hatta. Beliau yang usianya hanya terpaut 1 tahun lebih muda dari Soekarno, sudah aktif di pergerakan politik di usia belasan tahun. Di usia pelajar, beliau sudah aktif di Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Di usia 24 tahun, beliau sudah menjadi pimpinan organisasi Perhimpunan Indonesia. Hingga pada akhirnya pula beliau menjadi Wakil Presiden RI pertama di usianya yang baru 43 tahun.

Demikian pula para pendiri bangsa lainnya, seperti Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Natsir dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh seperti mereka, barangkali semakin langka di era ini. Namun, kita harus meyakini bahwa sejarah itu tidak berjalan secara linear. Kita masih memiliki harapan besar kepada generasi di masa yang akan datang. Melalui pendidikan politik yang berkualitas dan beradab, kita harapkan peran generasi milenial dan juga post-milenial di masa depan lebih banyak membawa perubahan yang lebih maju dalam kehidupan politik kita.

Selengkapnya: