Personal Branding

Akhir-akhir ini jagat UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) sedang diramaikan oleh gencarnya sosialisasi eksistensi keberadaan radio UPI oleh Humas (Hubungan Masyarakat) UPI. Hampir setiap hari update segmen dan publikasi “pendengar setia radio UPI” lengkap dengan hadiah minuman dan makanan ringan sambil memegang text props set bertuliskan bagi Pendengar Setia Radio UPI.

Kampanye radio UPI memang patut diacungi dua jempol, karena mampu menyalakan kembali semangat menyiarkan informasi dari kampus untuk kampus dan bahkan melalui streaming kemudahan akses yang jelas bisa diakses dari luar kampus sekalipun lintas benua.

Meregresi ke masa SMA, ketika saya pernah menjadi penyiar segmen Zevit C High School High announcer di radio Ardan FM, saya mengamati hari-hari penyiar itu sungguh santai, tidak ada yang tahu betapa berantakannya penampilan kita saat siaran. Belum mandi, tidak sisiran atau memakai pakaian rumahan dan sendal jepit pun pendengar tidak akan tahu. Toh yang mereka simak hanya suara yang mengudara. Bahkan berkali kali imaji pendengar dimainkan lewat suara penyiar yang renyah dan “ngangenin” tapi ketika berjumpa langsung di luar ekspektasi imaji. Itu biasa. Hal yang lumrah karena justru inilah pembeda abadi radio dengan audiovisual lain.

Radio dominan mengasah imajinasi dan dapat disimak bahkan ketika memasak, berkendara, belajar, berkebun dan pekerjaan multitasking lainnya dapat dilakukan sambil mendengarkan radio.

Hal yang berbeda dengan ketika pengalaman menjadi presenter televisi TPI di Unisba kala itu, paling tidak seorang presenter berita perlu menyiapkan penampilan 1 jam sebelum ambil gambar dan live siaran berita. Belum lagi menghafalkan poin penting 5 W 1 H berita yang disiarkan.

Ciri khas pembeda abadi radio yang “imaji” ini sekarang mulai berangsur hilang karena adanya live streaming atau fitur yang terkoneksi dengan platform youtube channel dengan hanya menekan tombol “Go Live“. Jadilah semua lembaga maupun perorangan kini bisa punya televisi sendiri. Begitu pun kampus UPI. Bersamaan dengan disiarkannya radio UPI tayang juga di TVUPI.

Radio kini tidak lagi punya pembeda abadi, yang memanjakan telinga dan membuat penasaran pendengar tentang sosok yang berbicara di udara. Kalau Anda lebih suka mendengarkan radio saja, atau mendengarkan radio sekaligus menonton siarannya di live streaming?

Resonansi tak pernah bekerja sendirian, seolah “dream come true” ketika di masa pandemi dulu sempat terlintas dalam batin saya “kayaknya enak ya kalau jadi host podcast tapi khusus yang diwawancara di podcast nya itu profesor…sisi lain kehidupannya profesor”, jangan sampai profesi terhormat ini kalah pamor dengan artis, musisi, dokter, atau pustakawan yang ahli otomotif itu!

Pasti banyak “daging” yang bisa dieksplorasi dari sosok profesor di Indonesia. Hal ini bukan tanpa alasan, seringkali saya duduk menyimak biografi pengukuhan guru besar hingga pidato kepakaran para guru besar itu memang menginspirasi. Mestinya ini menjadi tontonan masyarakat kita. Supaya mereka tahu bahwa pendidikan bisa mengubah takdir dan nasib seseorang. Makna Allah mengangkat derajat orang berilmu itu ya ini lho buktinya…sederhananya begitu!

Gayung bersambut, kabar baiknya UPI saat ini punya podcast. Luar biasanya, bukan profesor yang menjadi tamunya untuk “digali” tapi hostnya adalah profesor. Kira-kira, kalau host-nya profesor berasa sedang ujian kelulusan tidak ya? Seloroh saya membatin. Semoga saja Prof. Drs. Suhendra, M.Ed., Ph.D., sebagai host yang juga menjabat sebagai kepala humas UPI bisa membawakannya dengan “personal branding” yang kuat dan berkarakter dalam dunia podcast seperti sebut saja Deni Sumargo, Deddy Corbuzier dan silakan sebut host podcast favorit anda lainnya!

Menariknya, bicara soal “personal branding“. Sehari sejak beredarnya pesan umum yang dibagikan khusus sebagai informasi adanya properti podcast baru sekaligus tawaran menjadi tamu di podcast TVUPI oleh pak Dadi Mulyadi, MT, kepala TV UPI. Pesan broadcast yang mengandung penekanan bahwa podcast sebagai sarana “personal branding“. Tepat sekali!

Sebenarnya apa sih “personal branding” itu? Sederhananya, kita mau dikenal orang sebagai apa atau siapa. Mirip seperti kalau saya menyebut nama “H. Roma Irama”, spontan anda menyatakan beliau siapa? Rata-rata menjawab “raja dangdut”. Nah, artinya personal branding beliau sebagai raja dangdut.

Lalu anda ingin orang ingat anda sebagai apa atau siapa?

Tentunya, personal branding “raja dangdut” tidak sekonyong konyong melekat pada bang haji Roma kan? Perlu upaya membangun merek dirinya tersebut. Sekalipun beberapa kali dalam perjalanan hidupnya ditempa masalah pribadi, namun publik tetap menyebutnya “raja dangdut” karena karyanya.

Bisakah seorang peneliti, dosen atau akademisi punya personal branding? Tentu bisa! Siapapun individunya bisa membangun personal branding ini. Membangun personal branding dengan memasarkan diri sendiri dan karier sendiri sebagai merek.

Termasuk bagaimana Anda menampilkan diri kepada dunia, baik secara profesional maupun pribadi, dan bagaimana membangun citra yang konsisten dan positif. That’s it!

Ketika saya membangun personal branding susan motherpreneur dan berkembang ke biblioterapis/biblioterapi, disana saya mengalami fase mengenal identitas diri. Ada proses dimana saya mencoba merefleksikan siapa diri saya, value-nya apa, kekuatan dan kelemahan diri, juga apa sih yang membedakan “pembeda abadi” saya dengan orang lain. Ada pepatah Arab mengatakan man arafa nafsahu faqad arafa Robbahu kurang lebih maknanya siapa mengenal dirinya, dia mengenal penciptanya. Jadi hal mendasar yang perlu kita gali untuk membangun personal branding adalah mengenal diri sendiri, misi penciptaan diri kita ini apa? bisa dilihat dari cetak biru dominasi otak kita yang secara praktis membantu. Misalnya sebut saja STIFIn mesin kecerdasan. Ini bahkan sudah mulai dites sejak usia 3 tahun. Sayangnya saya baru tes setelah kuliah S2, pertama kali booming di tahun 2010/2011.

Selanjutnya, saya mulai menentukan tujuan jangka pendek dan panjang, sambil membuat pernyataan “saya ingin orang lain melihat saya bagaimana?” Itu dicatat, dilist satu per satu. Sejak itu afirmasi yang sengaja ditulis tadi otomatis membimbing kepada perilaku: cara berpakaian, cara berkomunikasi dan cara berinteraksi dengan orang lain.

Disadari atau tidak, ranah media sosial pun turut membangun citra diri untuk memperkuat track record saya sesuai yang saya list sebelumnya.

Postingan tampilan kehadiran saya di media sosial dengan biblioterapi, misalnya. Itu menanamkan personal branding ke khalayak. Termasuk ketika Anda mulai menantikan “tulisan ringan di akhir pekan” dari saya, berarti Anda sudah menjadi penikmat konten tulisan biblioterapi saya…hehehe.

Di saat orang lain ngonten lewat video tiktok, IG, youtube, kenapa saya masih di jalur penulisan? Bukankah orang sudah malas baca panjang-panjang? Boleh jadi demikian, membaca tidak tuntas…atau sekedar baca judul..baru seperempat tulisan sudah nyerah. Ya itu masalahnya ada pada anda sebagai pembaca. Saya menulis untuk membangun nilai saya sendiri.

Dalam biblioterapi, menulis menjadi salah satu spektrum merefleksi diri, dan sarana pengalihan diri yang memberdayakan. Lagi-lagi ketika tulisan saya dibagikan, dibaca dan dirindukan, maka secara tidak langsung saya sedang membangun dan memelihara hubungan profesional atau pribadi yang menjadikan biblioterapi sebagai “mainan” yang mendukung personal branding saya.

Pembaca yang setelah membaca tulisan ringan akhir pekan kemudian saling membangun makna bersama. Meski hanya merespon dengan simbol, tanpa kalimat. Terima kasih telah menjadi bagian penting dari personal branding ini.

Di tulisan ringan akhir pekan perdana yang berjudul “sebelum terlanjur pikir-pikirlah dulu”, ternyata mendapat sambutan positif dari teman-teman pembaca. Hingga saya angkat topi juga kepada Dr. Hana Silvana, M.Si. selaku kepala seksi layanan informasi publik Humas UPI
yang tiba-tiba menghubungi untuk izin memuat tulisan saya, “Bu, tulisan yg di share di grup Dosen kurtek boleh Saya upload di opini berita upi yaa. Sangat menginspirasi👍”. Sejurus kemudian beliau mengonfirmasi bahwa tulisannya telah dimuat di website https://berita.upi.edu/sebelum-terlanjur-pikir-pikirlah-dulu/pada rubrik opini. Menyusul tulisan kedua yang bertajuk “Ikan bandeng Nek Eni” pada pekan berikutnya Allohumma barik!

Bagi saya, ini suatu langkah konkrit lembaga Humas UPI membangun budaya menulis sivitas akademik dan menghargai “seringan” apapun bentuk tulisannya. Di sisi lain, ini juga bisa dikatakan sebagai “service branding” yang ampuh bagi beliau, Dr. Hana sebagai kepala seksi layanan informasi publik. Tahniah!

“Jangan main-main dengan penulis, karena namamu akan abadi dalam tulisannya”. Kira-kira itu kutipan personal branding dari seorang penulis. Atau misalnya kalau saya sebagai biblioterapis, sering menyampaikan pada klien yang sedang patah hati, saya minta mereka menulis untuk terapi jiwa sambil menyatakan “ayo, ubah patah hati jadi royalti”. Kalau Anda punya personal branding quotes apa nih dari profesi, pekerjaan, atau fokus Anda saat ini? Bisa jadi tagline “personal branding” Anda juga lho! Wallohualambishawab

Salam biblioterapi,
Bunda Susan
@susan_motherpreneur.
Dosen Biblioterapi di Prodi Perpustakaan dan Sains Informasi, FIP UPI Bandung. Founder Komunitas Biblioterapi Indonesia @bibliotherapy.id. Penulis buku seri biblioterapi, pusat kajian biblioterapi & penyedia layanan biblioterapi. Rahong, Sabtu, 25 Mei 2024