PHK dan Gas Elpiji 3 Kg

Oleh:

Suwatno

Guru Besar FPEB Universitas Pendidikan Indonesia

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah membawa dampak besar bagi perekonomian, khususnya bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan harus mencari sumber penghasilan baru. PHK tidak hanya menjadi permasalahan tenaga kerja, tetapi juga berkaitan erat dengan daya beli masyarakat, pola konsumsi, hingga sektor usaha kecil yang semakin berkembang sebagai dampak dari berkurangnya kesempatan kerja di sektor industri formal.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melaporkan jumlah korban PHK mencapai 77.695 orang sepanjang tahun 2024. Dari jumlah tersebut, Jakarta menyumbang jumlah terbanyak, yakni mencapai 17.085 orang. Setelah Jakarta, provinsi dengan jumlah PHK terbanyak adalah Jawa Tengah sebanyak 13.130 orang, diikuti Banten 13.042 orang, lalu Jawa Barat 10.661 orang. Yang lebih mengerikan, ada yang memprediksi tahun 2025 jumlah PHK di Indonesia mencapai 280 ribu pekerja (Widianto, 2024). Data ini menunjukkan bahwa gelombang PHK masih akan menjadi tantangan besar bagi perekonomian nasional, dengan dampak yang meluas hingga ke sektor informal.

Salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah hubungan antara meningkatnya jumlah PHK dengan kenaikan permintaan gas elpiji 3 kg. Apakah semakin tingginya gelombang PHK dewasa ini memiliki korelasi dengan meningkatnya konsumsi elpiji subsidi? Tentu hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan empiris yang kredibel. Namun, secara fenomenologis, saya mengamati semakin maraknya orang yang membuka usaha kuliner atau menjadi pedagang makanan skala mikro. Tampaknya hal tersebut banyak pula dilakukan oleh mereka yang menjadi korban PHK.

Bagi sebagian besar orang, menjual makanan dianggap sebagai pilihan yang relatif mudah dengan modal yang tidak terlalu besar, sehingga banyak mantan karyawan yang memilih jalur ini untuk mencari nafkah. Sektor kuliner menjadi pilihan utama karena memiliki pasar yang selalu ada dan tidak membutuhkan keahlian khusus seperti industri manufaktur atau teknologi. Selain itu, usaha kuliner skala mikro juga lebih fleksibel dan dapat dimulai dengan modal terbatas. Namun, karena mayoritas usaha mikro menggunakan gas elpiji 3 kg sebagai sumber energi utama untuk memasak, otomatis terjadi lonjakan permintaan yang semakin signifikan.

Tentu kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, apalagi mereka yang menjadi korban PHK lalu beralih profesi menjadi pedagang makanan. Ini merupakan realitas di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit. Bahkan kemungkinan kondisi ini terus berlanjut hingga tahun-tahun yang akan datang, akibat deindustrialisasi yang semakin dramatis. Sektor industri yang mengalami penurunan produksi atau bahkan menutup pabriknya mengakibatkan tenaga kerja kehilangan pekerjaan dan terpaksa beralih ke sektor informal.

Sebagian dari korban deindustrialisasi ini tidak semuanya memiliki keterampilan untuk beralih (shifting) ke sektor jasa dan teknologi. Mayoritas dari mereka adalah mantan pekerja unskilled, sehingga kemungkinan terbesarnya mereka masuk ke sektor usaha mikro dan kecil, termasuk usaha makanan dan minuman, baik sebagai pebisnis maupun pegawai. Pergeseran tenaga kerja ini menjadi tantangan tersendiri, karena sektor informal tidak memiliki perlindungan kerja yang kuat dan rentan terhadap fluktuasi ekonomi.

Penyalahgunaan Gas Elpiji 3 Kg

Sebetulnya, jika peningkatan permintaan gas elpiji 3 kg hanya akibat meningkatnya jumlah pedagang makanan, hal tersebut masih dapat dimaklumi. Masalah yang lebih besar adalah terjadinya penyalahgunaan gas elpiji 3 kg oleh pihak yang tidak berhak. Banyak usaha kuliner yang sudah berkembang dan memiliki kapasitas produksi lebih besar, namun masih menggunakan gas subsidi. Idealnya, mereka sudah beralih ke gas elpiji nonsubsidi, seperti tabung 5,5 kg atau 12 kg. Namun, karena disparitas harga yang cukup signifikan antara elpiji bersubsidi dan nonsubsidi, banyak yang tetap memilih menggunakan elpiji 3 kg untuk menekan biaya produksi.

Di sisi lain, ada indikasi bahwa sebagian agen dan pengecer melakukan penimbunan atau memainkan harga di pasaran. Mereka sengaja menyimpan stok dalam jumlah besar saat permintaan tinggi, lalu menjualnya dengan harga lebih mahal. Hal ini memperburuk situasi dan semakin memperberat beban masyarakat yang membutuhkan. Fenomena kelangkaan elpiji subsidi di beberapa daerah juga sering kali dikaitkan dengan praktik distribusi yang tidak transparan, di mana gas subsidi lebih banyak disalurkan ke pelaku usaha yang tidak memenuhi kriteria penerima manfaat.

Solusi

Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk menjaga keseimbangan pasokan, memperketat pengawasan distribusi, dan memastikan subsidi tepat sasaran agar gas elpiji 3 kg tetap tersedia bagi mereka yang benar-benar membutuhkannya. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan edukasi kepada masyarakat terutama pelaku usaha makanan dan minuman agar memahami bahwa penggunaan gas subsidi harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Selain itu, pemerintah juga harus berani menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan gas bersubsidi. Sanksi yang lebih berat harus diberikan kepada pelaku penyimpangan, baik dalam bentuk denda yang signifikan maupun pencabutan izin usaha bagi distributor atau pengecer yang terbukti melanggar aturan.

Jika permasalahan ini tidak segera ditangani, maka dampaknya bisa lebih luas terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kecil yang semakin rentan menghadapi kondisi sulit. Ketidakseimbangan pasokan dan tingginya permintaan dapat mengarah pada inflasi harga kebutuhan pokok, yang pada akhirnya akan semakin membebani masyarakat berpenghasilan rendah.

Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan pasokan dan distribusi elpiji subsidi. Pemerintah harus menggencarkan sosialisasi kebijakan subsidi agar masyarakat lebih memahami hak dan kewajibannya dalam penggunaan gas elpiji 3 kg. Selain itu, perlu adanya koordinasi yang lebih erat antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengontrol distribusi agar lebih efisien dan tepat sasaran.

Note: Opini ini dimuat di harian  Pikiran Rakyat,  edisi Jumat,  7 pebruari  2025