Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. H. Johar Permana, M.A.

prof-johar-1

Mind-Sets Komunikasi Kepemimpinan Untuk Memfasilitasi  Perubahan Di Tempat Kerja

oleh : Prof. Dr. H. Johar Permana, M.A.

 

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Yang terhormat:

Pimpinan dan Anggota Majelis Wali Amanat UPI,

Pimpinan dan Anggota Senat Akademik UPI,

Pimpinan dan Anggota Komite Audit UPI,

Rektor, Para Wakil Rektor, dan Sekretaris Eksekutif UPI,

Pimpinan dan Anggota Dewan Guru Besar UPI,

Para Pimpinan Fakultas, Sekolah Pascasarjana, Lembaga, Kampus UPI di Daerah, Departemen, dan Program Studi di lingkungan UPI,

Pimpinan Direktorat, Biro, dan seluruh jajaran Pimpinan Unit Kerja di lingkungan UPI,

Para Dosen dan Karyawan di lingkungan UPI,

Para Pejabat Sipil dan Militer, beserta para tamu undangan lainnya.

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah SWT beserta segala ciptaannya seisi semesta langit dan bumi. Kita selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan yang tiada terhingga banyaknya, khususnya syukur dan nikmat atas ilmu yang begitu luas dan tidak terbatas, sehingga kita menjadi mudah dalam menjalani kehidupan. Semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada pimpinan dan panutan kita Rasulullah Muhammad SAW. yang telah menegaskan moralitas keislaman menjadi fondasi sepanjang peradaban dan menginspirasi perubahan untuk selalu berbuat kebaikan sekaligus menyelamatkan kehidupan  dunia dan akhirat.

Bapak Rektor dan hadirin yang mulia,

Dengan penuh rasa hormat dan keikhlasan mendalam, saya menghaturkan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara dalam acara pengukuhan guru besar pada Universitas Pendidikan Indonesia yang kita cintai. Dengan kearifan, rasa rendah hati dan keterbatasan yang ada, perkenankan saya memaparkan pidato ini, sesuai dengan bidang keilmuan Komunikasi Organisasi saya beri judul: “Mind-Sets Komunikasi Kepemimpinan untuk Memfasilitasi  Perubahan di Tempat Kerja”

PENDAHULUAN

Hadirin yang mulia,

Perubahan merupakan suatu keharusan, dan hal itu tidak dapat dihindari. Peter Drucker dalam Management Challenges for the 21st Century (1999) mengungkapkan perubahan ibarat kematian dan kewajiban membayar pajak. Perubahan kadang bernuansa keterpaksaan, bahkan penolakan. Sebagian anggota organisasi seringkali memandang bahwa perubahan harus ditunda, atau perlu ditunda-tunda, bahkan perlu ditunda selama mungkin. Alasannya, tidak ada suatu perubahan mengusung situasi yang segera menguntungkan dari situasi yang sedang berlangsung. Perubahan dianggap menyertakan beban baru; zona kenyamanan yang terganggu; stress dan mengundang konflik, kerumitan dan kompleksitas, kondisi kekurangjelasan serta ketidak-menentuan.

Perubahan selayaknya merupakan norma yang patut dicermati serta dimengerti betul, dan kita akan selalu aktif melakukan adaptasi diri dan organisasi sehingga tempat kerja kita menjadi lebih baik. Larry D. Coble (dalam Fenson, 2000), menyatakan bahwa perubahan pada dasarnya muncul dari harapan dan keinginan internal untuk memperbaiki organisasi dan organisasi dapat memberi pelayanan (yang lebih baik) kepada publik untuk memenuhi harapan-harapan eksternal; tersedia: http://www.inc.com/articles/2000/06/19312.html   (12 Juli 2014). Sayangnya komunikasi kepemimpinan sering menunjukkan respon yang terlalu cepat untuk mengatasi permasalahan (quick-fix), sehingga pegawai di tempat kerja kurang berkesempatan untuk tumbuh dengan wajar.

Para pimpinan organisasi kerapkali merasakan ada suatu turbulensi dalam menghadapi perkembangan dahsyatnya perubahan lingkungan dan kemajuan teknologi. Para pimpinan tentu saja berusaha dan bekerja keras mengarahkan segala sumberdaya dan energi organisasi untuk melakukan penyesuaian bahkan berinisiatif melakukan perubahan. Pemikiran yang tersedia adalah pemikiran individu dan tim yang kuat, yang menempuh pendekatan dan cara-cara rasional dan sistematik seperti needs assessment, desain perencanaan perubahan atau rencana strategis, struktur dan rekrutmen orang-orang, proses  dan mekanisme, pengembangan sistem/sub-subsistem dan pertimbangan efisiensi, monitoring dan kontrol serta balikan untuk mencapai tujuan strategis organisasi yang benar-benar clearly leader-driven.

Pada mulanya hampir menjadi suatu keyakinan bahwa pencapaian tujuan organisasi dengan menempuh pendekatan dan cara-cara tersebut akan mendongkrak perubahan. Tetapi Olson dan Eoyang (2001:6) menyatakan asumsi-asumsi dan praktek manajemen yang demikian dianggap invalid, atau tidak tepat lagi. Prediksi sebuah desain organisasi memang rasional dan memungkinkan untuk bisa terwujud, tetapi perubahan yang muncul sering di luar prediksi, sebab organisasi merupakan suatu kompleksitas yang dinamis.

Sekalipun demikian, gagasan ini amat terbatas pada secuil konseptual (teoritis) dan sedikit analitis reflektif. Tulisan ini merespon mind-sets seorang pemimpin dalam mengatur komunikasi organisasi untuk menyediakan para anggota kesempatan, waktu dan energy yang cukup, sekaligus ada keterbukaan untuk memfasilitasi mereka, menyesuaikan terhadap tantangan-tantangan perubahan organisasi dengan menyelesaikan permasalahan dan tugas-tugas keseharian yang dihadapinya di tempat kerja.

Dengan kata lain, harapan tulisan ini adalah anggota organisasi atau para pegawai akan makin memahami fungsi yang diembannya, menguatkan hal-hal positif tentang apa yang sedang terjadi, serta melakukan pengorganisasian diri (self-organizing) karena sistem organisasi terasa semakin kompleks, rumit, penuh dengan perbedaan, alih-alih kekurang-menentuan. Kita percaya bahwa melalui self-organization yang terfasilitasi melalui komunikasi kepemimpinan, kemampuan adaptasi para pegawai atau organisasi terhadap perubahan di tempat kerjanya, akan tumbuh dan berlangsung secara relatif permanen dalam jangka panjang.

prof-johar-2

PERUBAHAN DI TEMPAT KERJA

Gambaran mengenai apa yang terjadi pada diri para pegawai di tempat kerja (organisasi) telah muncul sejak lama, realitasnya, tidak akan pernah berkesudahan, sehingga terlahir episode-episode perubahan. Yang perlu dicermati, perubahan dari masa lalu telah mendeskripsikan perkembangan cara-cara bekerja, dan menyertakan visi perubahan itu sendiri. Ini penting karena visi perubahan dapat mengemukakan kandungan keutuhan konsep yang justru seiring dengan episode perubahan sebagaimana perkembangan teori organisasi (Permana, 2011; Liliweri, 2004: 512-524; Thoha, 2002: 1-42; dan Prepper, 1995: 110).

Bapak Rektor, para pimpinan dan hadirin yang saya hormati,

Pada awal tulisan ini, penulis mengajak untuk mengingat kembali pengalaman kita dalam bekerja. Ada beberapa pokok pikiran dari perkembangan yang terjadi pada pegawai di tempat kerjanya. Sekurang-kurangnya perkembangan dimaksud mencakup: Pertama, Periode Klasik mencuat pada tahun 1900 sampai sekarang, sebagai Machine Culture. Gambaran kerja di kalangan pegawai adalah cerminan mechanical vision of the workplace. Mechanical vision memandang para pegawai laksana komponen-komponen mekanik mesin yang bergerak atau berfungsi menurut desain mesin itu sendiri, sedangkan organisasi ibarat sebuah mesin yang beroperasi menurut instruksi yang diterima. Formula mesin didesain disesuaikan dengan standar dan spesialisasi yang dibutuhkan supaya bekerja memenuhi prinsip-prinsip rasional, efisien, dan tidak mengenal pertimbangan kemanusiaan. Mesin harus dikontrol ketat; kata efisiensi demikian penting dan esensial, serta banyak diungkapkan Hoy & Miskel (2008) seperti, produces efficiency, promotes efficiency, improves efficiency, dan maximize efficiency.

            Kedua, periode tahun 1930-sekarang sebagai Human Relation Periods. Berbeda dari periode klasik, periode human relation memandang organization is people;dan berorganisasi atau bekerja merupakan upaya orang-orang untuk memenuhi kebutuhannya. Yang utama dalam periode ini adalah satisfaction culture, bahkan hubungan kerja yang berlangsung memperlihatkan parent-child vision. Hubungan kerja dan tempat kerja semestinya layak, menyenangkan, memuaskan para pegawai, berlangsung penuh kasih sayang dan kekeluargaan. Demikian perasaan, kebutuhan, harga diri, pemikiran dan kebajikan mendapat perhatian dalam memberi perlakuan kepada semua pegawai.

Ketiga, perkembangan tahun 1960-sekarang sebagai Human Resources Period, yakni Periode Sumberdaya Manusia atau sering disebut Periode Pengembangan Sumberdaya Manusia. Periode ini lebih dari satu pandangan seperti pemikiran yang menekankan team work culture and participatory vision of the workplace, kerja tim dan partisipasi pegawai. Artinya, dari setiap kerja seorang pegawai dan organisasi beroperasi, tidak dengan sendirinya muncul, melainkan selalu ada ketergantungan pada pegawai atau pihak lain. Antara pimpinan dan pegawai selalu ada ketergantungan dalam mengartikan bekerja. Dalam kegiatan kerja atau bekerja selalu berorientasi pada pengembangan (pegawai); pada periode ini sangatlah menghargai kontribusi, partisipasi, pengayaan; dan bahkan kontingensi diakomodasi dalam proses-proses top-down dan bottom-up secara bersama-sama. Karena itu dapat diakui bahwa untuk organisasi yang telah baik akan terus menjadi lebih baik, dan cara demokrasi dianggap cara yang mapan.

Bersamaan dengan pemikiran tersebut, mengemuka pandangan Organisasi Struktural Modern. Perspektif ini selain memusatkan perhatian pada struktur yang konvensional, juga ditambahkan kata modern yang berarti pemahaman terhadap organisasi semakin maju dengan memperhatikan diferensiasi vertical dan horizontal organisasi. Di sini struktur organisasiyang baik, termasuk struktur pekerjaan adalah struktur yang disusun sesuai dengan;           (1) tujuan yang hendak dicapai menurut kehendak pimpinan dan aspirasi para anggota (pegawai), (2) tuntutan kondisi lingkungan yang dihadapi, (3) sifat produksi atau pelayanan yang dilakukan efisien tetapi sehat dan tidak berbenturan, serta (4) manfaat teknologi yang digunakan.

Pandangan lain, pada tahun 1960 ini dan berlaku sampai sekarang adalah perkembangan pemikiran sebagai lahirnya Periode Sistem dan Kontijensi. Pokok pikiran yang utama adalah menekankan pada organismic culture atau interdependent subgroups vision of the workplace. Organisasi terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan, saling mempengaruhi satu sama lain dalam mewujudkan tujuan. Ketergantungan antar unit bahkan komponen manusia atau kelompok kerja tidak dianggap sebagai komponen terpenting melainkan sama penting seperti komponen lainnya. Organisasi memiliki karakter contingency, yakni efektivitasnya dipengaruhi oleh unsur-unsur yang timbul pada kondisi dan situasi tertentu.

Kompleksitas kehidupan organisasi terus beranjak bahkan berlangsung menjadi rumit sehingga menjadi variabel yang menarik dan tidak ada putusnya untuk dipelajari. Perkembangan berikut adalah pandangan kekuasaan dan politik telah masuk dalam kehidupan organisasi sampai sekarang dan pengaruhnyaterasa di tempat bekerja. Pandangan ini menekankan unsur otoritas sebagai sumber kekuasaan yang tidak cukup sekedar kewenangan yang membenarkan pegawai itu bekerja, tetapi juga terdapat kepentingan kelompok, sehingga bekerja tidak sama sekali lepas dari permainan kekuasaan. Bekerja merupakan usaha antar individu dan hubungan koalisi untuk keseimbangan kekuasaan. Kerumitan permasalahannya lebih terasa pada saat pengalokasian sumberdaya organisasi makin berkeadilan, serta perwujudan kesejahteraan makin meningkat dan dirasakan semua pihak.

Bapak Rektor, para pimpinan dan hadirin yang mulia,

Pemikiran atas kompleksitas organisasi semakin rumit lagi manakala perkembangan kehidupan kerja memasuki periode kelima, yaitu Periode Kultural yang muncul tahun 1980-an sampai sekarang. Periode Kultural bertumpu pada symbolic vision of the workplace. Pepper (1998) mengatakan culture is what the organization is, not something imposed. Pemahaman ini bukanlah sebagai kontroversi atas pandangan-pandangan sebelumnya, melainkan perkembangan pemikiran dan bernilai akumulatif mengenai gambaran kehidupan kerja para pegawai. Setiap pegawai, kelompok kerja dan unit-unit organisasi dan lingkungan eksternal pada dasarnya memiliki keunikan atas makna bersama. Pegawai yang bekerja menunjukkan pegawai yang aktif dalam berorganisasi, dan pegawai yang aktif berarti mereka berbudaya. Denzin (1987) menggaris bawahi bahwa seorang anggota yang aktif mempersepsi objek, dirinya, orang lain, peristiwa-peristiwa, dan tindakan-tindakan akan memperoleh citra diri yang baru, bahasa diri yang baru, hubungan-hubungan baru dengan orang lain, dan ikatan-ikatan baru dengan tatanan sosial atau organisasinya yang baru pula.

Menjelang perubahan kepemimpinan biasanya organisasi merumuskan visi, misi, strategi, tujuan dan program yang hendak diwujudkan untuk beberapa tahun mendatang. Gejala demikian menarik untuk sebuah inisiasi perubahan atau transformasi budaya kerja pegawai. Setidak-tidaknya setiap unit kerja, pimpinan dan para pegawai pada institusi itu memiliki rujukan (term of reference)yang hendak dilakukan dalam keseharian bekerja. Namun demikian visi, misi, strategi, tujuan dan program organisasi tersebut masih terkesan seremonial atau semacam hiasan yang melengkapi dokumentasi manajemen organisasi. Pesan-pesan perubahan masih tampak tekstual, abstrak, dan belum terpahami atau tersosialisasikan dengan baik, alih-alih implementasinya berlangsung fiktif dan mementingkan pencitraan. Lain yang ditulis lain pula yang diwujudkan. Para pegawai tidak hafal acuan program dan nilai utama (core values) yang dijadikan rujukan kehidupan berorganisasi, apalagi pemahaman nilai itu variatif, bersaingan dan individual, sehingga memungkinkan lahirnya penolakan dan sikap-sikap pegawai untuk mengabaikan nilai-nilai itu sendiri.

Hadirin yang berbahagia,

Realitas kehidupan organisasi menunjukkan bahwa budaya kerja berorientasi perubahan bagi pegawai seolah masih harus diajarkan, dikendalikan atau dikontrol secara objektif oleh pimpinan. Cara-cara kerja yang dijumpai masih mekanistik, sedikit saja pada kepuasan hubungan kerja antar pegawai, dan belum mewujudkan tim kerja yang dinamis dan partisipatif. Budaya kerja pegawai masih tergantung pada tugas atau ketentuan organisasi dan atau perintah dari pimpinan. Budaya kerja masih jauh dari orientasi visi simbolik yang mendasarkan bahwa organisasi adalah komunikasi interaktif, dinamis, penuh inisiatif dan berubah secara berkelanjutan. Perubahan budaya kerja seolah tidak ada sangkut pautnya dengan pemahaman diri pegawai yang berbudaya atau berperadaban secara subjektif (interpretif) baik menyangkut falsafah atau pandangan hidup, nilai-nilai yang dianut; sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong kemajuan organisasi; ataupun menjadi suatu perilaku yang terwujud sebagai realitas kerja atau bekerja.

Karena kerumitan pandangan atas apa yang terjadi dengan para pegawai di tempat kerja, banyak ahli telah memberikan kontribusi dan refleksi tertentu, beberapa di antaranya: Pacanowsky dan O’Donnel-Trujillo (1982), Pace dan Faules (Mulyana, 2003) sebagaimana diungkapkan Permana (2011), bahwa pada saat para pegawai terlibat, mewujudkan konstruk-konstruk (pekerjaan) yang relevan, praktik-praktik (tugas sehari-hari), ritual (hari perayaan atau peringatan), dan lain-lain; konstruk-konstruk, praktik-praktik, dan kebiasaan kerja tersebut diungkapkan sebagai pencapaian kecil (mini-accomplishment). Mini-accomplishment ini sebagai kata kunci yang menunjukkan tindakan, dan tindakan itu berulang-ulang tercakup dalam dan terakumulasi bahkan berkembang menjadi pencapaian yang lebih besar (maxi-accomplishment), yakni sebagai budaya kerja. Tindakan pencapaian kecil ini merupakan penampilan dan indikator dari budaya kerja yang oleh Dandrige, Mitroff, & Joyce (1980) dimasukkan ke dalam rublik yang lebih luas yang disebut simbolisme organisasi.

Makna simbolis dari apa yang para pegawai lakukan di tempat kerja meskipun berulang-ulang, tidak menutup kemungkinan mengandung makna perubahan. Lebih daripada itu makna perubahan bisa bernilai sangat tinggi atau mendasar karena mereka merekonseptualisasi arti bekerja, macam dan sifat pekerjaan, nilai-nilai dan aturan kerja, hubungan kerja, insentif yang diterima dan seterusnya. Artinya mereka memiliki peluang untuk mengkonstruksi realitas diri dan organisasi tempat kerja mereka sendiri. Tidaklah terlalu sulit untuk menarik suatu pelajaran bahwa budaya kerja bukan milik manajemen semata, tetapi milik semua pegawai, termasuk para pemimpinnya. Pace dan Faules menganalisis bahwa budaya kerja bukan tertuju pada apa yang harus terjadi menurut perspektif pemimpin, tetapi yang penting adalah apa yang benar-benar real terjadi pada para pegawai dan tidak mempersoalkan ketergantungan pada skala besar kecilnya organisasi, tetapi yang utama terjadi-tidaknya aktivitas pengorganisasian diri (self-organization).

PERUBAHAN KONTEMPORER DI TEMPAT KERJA

Hadirin yang berbahagia,

Perubahan pesat di bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, lingkungan global, serta kemajuan dan kecanggihan teknologi selalu mempengaruhi kehidupan organisasi tempat kita bekerja. Dalam jangka waktu tertentu, ada organisasi yang menemui kepunahan, perubahan bentuk; ada pula yang bertahan sebagai suatu sistem yang makin membesar; keterbukaan sistemnya makin meluas; dan organisasi-organisasi tersebut beserta para pegawainya secara alamiah telah, akan dan terus terlibat dalam dan dengan sebuah interkoneksitas global yang dinamis dan kompleks. Apfelthaler & Karmasin dalam Gorvett (2004) menyatakan bahwa:

Kompleksitas kehidupan organisasi telah mengaburkan pemahaman mengenai batas-batas kultur organisasi dan pengawasan proses kulturalisasi, seperti kapan ketidakjelasan batas-batas itu dimulai, sehingga pemimpin tidak bisa lagi memastikan kebenaran penafsiran tentang apa yang sedang terjadi. Tersedia: http://www.powershow.com/view1/d7dfeDc1Z/Complexity_and_Complex_Adaptive_Systems (12 Juli 2014).

Kutipan di atas menggugah kesadaran bahwa pada saat organisasi harus mengalami perubahan dengan sebuah visi yang dideklarasikan, misi yang skematik serta kebijakan-kebijakan organisasi yang programatik, tidak cukup ditopang oleh pelajaran manajemen, kepemimpinan dan komunikasi organisasi yang terkandung dari episode perubahan pemikiran (teori organisasi) mulai dari mechanical vision, satisfaction culture, team and participatory vision, systems and interdependent subgroups dan contingentcy vision, hingga perspektif kekuasaan dan politik organisasi, bahkan kultur itu sendiri. Perluasan dan pendalaman perspektif pemikiran akan selalu berkembang sekaligus menuntut para pemimpin masa depan untuk memahami pengetahuan-pengetahuan kontemporer. Satu pemikiran yang menurut penulis merupakan imperative untuk dapat dipahami adalah pengetahuan organisasi sebagai suatu kompleksitas sistem yang adaptif (Complex Adaptive System atau CAS).

Hadirin yang mulia,

CAS adalah kasus khusus dari organisasi sebagai sistem yang kompleks. CAS merupakan kumpulan makroskopik yang kompleks, yang relatif serupa dan sebagian terhubung dengan struktur mikro. CAS terbentuk secara evolusi dalam rangka adapatasi terhadap perubahan lingkungan, dan meningkatkan kelangsungan hidupnya pada struktur makro (Gupta, 2012; Kelly, 2012; dan MacLennan, 2012).

prof-johar

Sebagaimana gambar-1CAS menunjukkan jaringan atau sistem yang dinamis, interaktif, dan dapat menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan.

MIND-SETS KEPEMIMPINAN PERUBAHAN

Bapak Rektor dan hadirin yang mulia,

Beberapa mind-sets yang disajikan bisa jadi berbeda dari pemahaman yang biasa kita peroleh, mengingat kebiasaan seorang dalam tindakannya sehari-hari lebih menekankan pada praktek manajemen.Padahal perubahan lebih bertumpu pada kepemimpinan, yakni kepemimpinan yang berintikan komunikasi organisasi. Teori kepemimpinan telah menginspirasi banyak gagasan dan strategi untuk membantu para pemimpin menghadapi banyak masalah yang kompleks. Konvergensi berikut merupakan sebuah kerangka kerja untuk berpikir tentang memimpin perubahan yang biasa dihadapi organisasi dan bersifat kompleks(Olson dan Eoyang: 157-164; Fullan: 2001).

  1. Mengutamakan tujuan moral, bukan pada kelompok kepentingan

Para pemimpin yang energik, antusias dan komitmen, akan selalu memiliki harapan dan tujuan moral yang lebih besar daripada tujuan moral diri parapegawainya. Melebur dalam pekerjaan mereka, mengkomunikasikan tujuan moral dan bertindak dengan memahami perbedaan positif dalam kehidupan pegawai dan atau masyarakat, berarti mengkonsolidasikan organisasi tempat ia/mereka bekerja. Tujuan moral diartikan sebagai tindakan yang bertujuan memahami dan membuat perbedaan positif dalam kehidupan para pegawai, menanamkan semangat, serta kinerja pegawai yang berkelanjutan. Karenanya pemimpin perlu memahami secara mendalam perilaku pegawai; dan tujuan moral pada hakekatnya merupakan produk akhir dari kepemimpinan, atau dari seorang komunikator organisasi.

  1. Memahami perubahan secara mendalam, bukan pada kemapanan organisasi

Visi organisasi tidaklah berakhir dengan mewujudkan target dan tujuan organisasi, melainkan mengawal, mendampingi dan memfasilitasi perubahan. Alasannya, perubahan yang muncul bertujuan untuk memperkuat perubahan itu sendiri dan mengutamakan tujuan moral. Tujuan perubahan bukan untuk melakukan inovasi yang paling baik dan memecahkan masalah yang kompleks, melainkan melakukan apa yang dapat dilakukan dan melakukannya dengan baik.

Memahami proses perubahan merupakan pemahaman apa yang kurang tentang inovasi dan memahami apa yang lebih dari inovasi itu. Biasanya kita kurang strategi dan lebih dibanjiri dengan nasihat yang kompleks dan hal itu sering bertentangan. Tidak cukup memiliki ide-ide terbaik saja, perubahan perlu dipahami sebagai keberlarutan dengan seluruh tingkatan organisasi, sehinggaseorang pemimpin perlu mampu membuat orang mengkaji ke dalam ide-idenya. Juga dalam implementasi rekulturisasi dengan budaya perubahan, pemimpin juga turut menjadi bagian dari pengalamannya.

prof-johar-3

Dalam gaya kepemimpinan perubahan, dinamika organisasi tercipta begitu kompleks, sehingga tidak ada hal yang bersifat linear lebih-lebih bersifat checklist; segalanya selalu berbentuk kompleksitas karena perubahan bukanlah proses langkah-demi-langkah. Setiap resistensi yang ada dipandang sebagai sesi belajar untuk melihat masalah yang harus diselesaikan dengan pandangan alternatif. Kepemimpinan yang efektif menghargai resistensi sebagai sumber penemuan yang luar biasa.

Bapak Rektor dan hadirin yang mulia,

  1. Perubahan bertumpu pada interkoneksi, bukan pengawasan top-down

Perubahan perlu dimulai dari atasan; efisiensi hanya dapat dilakukan dengan menerapkan kontrol yang ketat; kenyataan dapat sesuai dengan hal yang diprediksikan; organisasi bukanlah sebuah mesin yang komponen-komponen kerjanya dapat diarahkan, dikontrol, atau bahkan diganti; organisasi tidak pula berfungsi linear, berjalan dalam alur yang telah diprediksikan dan dijaga agar tetap stabil, adalah anggapan-anggapan yang muncul dari pendekatan gaya kepemimpinan tradisional.

Lingkungan yang ada di sekitar kita pada kenyataannya adalah lingkungan yang terintegrasi, kaya, beragam, tidak stabil atau acap kali berubah, dinamis dan tidak dapat diprediksikan, penuh kompleksitas. Dalam teori CAS, organisasi sebagai bagian dari lingkungan dipandang sebagai  komponen yang begitu luas cakupannya dan saling berjejaring, chaotic, tampak tidak teratur namun justru itu puncak kebertataan. Pemimpin dalam teori kompleksitas dituntut untuk mampu melihat secara kompleks, berfikir yang kompleks; merasakan, mengetahui, berbuat, mempercayai dan kemampuan untuk mewujudkan ide secara kompleks pula.

Perubahan muncul dari hubungan interaktif yang tidak linear, saling beradaptasi di antara pihak atau agen jaringan sistem pada semua tingkatan organisasi. Perubahan bertumpu pada makna self-organizing dan terjadi melalui komunikasi interaktif,  kompleks dan massif pada berbagai tingkatan organisasi. Hubungan-hubungan yang kompleks bahkan hakekatnya terbangun bukan dari tindakan manajemen, khususnya tindakan audit atau pemeriksaan. Perubahan juga bukan berasal dari sebuah desain yang ditentukan sebelumnya atau akibat dari eksperimentasi tindakan yang berulang dari penggunaan kekuasaan organisasi yang bersifat top-down.

Perubahan di tempat kerja menandai para pegawai berkemauan kuat untuk menata kehidupan organisasinya sendiri (self-organizing). Perubahan lebih merupakan penelusuran terhadap trajektoris pengalaman kerja pegawai yang panjang sebagai interaksi yang kompleks dan massif atas individu pegawai yang bersangkutan, kelompok dan atau organisasi. Lebih dari itu perubahan menjadi hasil dari pertumbuhan dan pengembangan dalam berfikir, berperasaan dan berketerampilan. Saat suatu perubahan terjadi maka terutama yang terlibat adalah pegawainya, baru berikutnya adalah inovasi sebagai esensi perubahan.

Pegawai, pemimpin maupun organisasi perlu tahu bagaimana cara mempraktekkan perilaku baru yang terkait dalam konteks nyata, dan bersedia untuk terlibat dalam perubahan itu sendiri.Pemimpin yang memahami asumsi komunikasi untuk perubahan adalah pemimpin yang mengumpulkan berbagai informasi, menganalisis dan menentukan langkah-langkah yang arif, mempengaruhi situasi atau transformasi sekaligus terlibat kuat dengan jejaring sistem organisasi, baik internal maupun eksternal.

  1. Berbagi pengetahuan, bukan satu referensi

Berbagi informasi tanpa jalinan hubungan cenderung menciptakan kekenyangan informasi. Seorang pemimpin perubahan bekerja membantu sebuah pengaturan baru yang kondusif untuk belajar dan berbagi tentang belajar. Tempat kerja terbaik, lebih baik daripada sistem sekolah terbaik ketika datang untuk berbagi pengetahuan. Semakin banyak model pengetahuan pendidik/pemimpin atas ragam pekerjaannya, semakin banyak pula hal yang dilakukan sehari-hari di tempat kerjanya.

Barret (2006) mengungkapkan bahwa seorang pemimpin umumnya menghabiskan 70-90 persen dari waktu yang dimilikinya untuk berkomunikasi dalam berbagai bentuk. Ini menunjukkan betapa pentingnya peranan komunikasi bagi seorang pemimpin, bahkan Barrett menyatakan manager manapun yang ingin menguasai posisi kepemimpinan maka ia harus memiliki skill komunikasi yang kuat.

Dalam berbagi informasi, pemimpin berkomunikasi dengan para pegawai agar mereka memperoleh keterangan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan, sehingga terwujudlah kerjasama antar pegawai di tempat kerja. Hal ini kelak akan memudahkan pemimpin sendiri dalam mengambil keputusan, menyampaikan kebijakan, peraturan ataupun ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kegiatan berkomunikasi seperti ini dapat meningkatkan kebersamaan dan kekeluargaan di tempat kerja.

  1. Tertuju pada ketidakmenentuan, bukan pada tahapan pengembangan

Perubahan organisasi pada dasarnya sulit diperkirakan. Ide-ide kreatif dan solusi atasmasalah muncul pada saat status quo terganggu. Seorang pemimpin yang dinamis selalu menyesuaikan komunikasi kepemimpinan yang tertuju pada ketidakmenentuan, ia akan merasa kondusif untuk membuat koherensi. Pada beberapa kasus bahkan gangguanitu dibuat untuk sebuah koherensi karena pada banyak organisasimasalah itu bukan ketiadaan inovasi. Perhatian pemimpin perubahan tidak lagi tertuju pada tahap-tahap pengembangan yang telah direncanakan. Anggapan seperti ini menyiratkan optimisme bahwa kesempatan kreatif terbuka bagi pertumbuhan organisasi, tetapi di sisi lain hal itu mengarahkan tugas seorang pemimpin menjadi lebih kompleks.

Perubahan seringkali menghasilkan hubungan-hubungan baru. Pemimpin sendiri selayaknya benar-benar belajar sekaligus membantu dan memfasilitasi yang dipimpinnya untuk belajar. Hal ini dimaksudkan agar para pegawai mengalami self-organizingatau actionable learning dalam menanggapi berbagai ketidak-menentuan situasi. Ingatlah bahwa perubahan alami membutuhkan waktu; dan sistem kontrol yang kaku hanya akan menghasilkan stress, konflik dan kebingungan (Anderson: 2001). Karena itu self-organizingakan selalu memerlukan evolusi kepemimpinan dan pegawai yang cerdas, terampil, cekatan dan arif.

Bapak Rektor dan hadirin yang mulia,

  1. Tujuan, rencana dan struktur pengorganisasian yang tentatif, tidak harus terperinci

Di antara persepsi yang biasa tersedia adalah tujuan organisasi, rencana dan struktur merupakan kebutuhan untuk efektivitas pengelolaan, termasuk di dalamnya otoritas yang diberikan kepada unit-unit kerja dalam pengorganisasian dan implementasi. CAS dan self-organizing memang muncul dari kondisi saat ini, namun demikian tidak cukup dengan cara-cara yang biasa dilakukan, karena proses adaptasi tidak berlangsung dalam situasi vakum dan kekakuan tidak boleh mengahambat kreativitas.

Pemimpin yang memfasilitasi perubahan, memahami dan bekerja dengan kemampuan sekaligus keterbatasan yang ada, tetapi dalam sistem yang interaktif. Sederhana saja bagi pimpinan, ia membantu koherensi dan artikulasi untuk para pegawai dalam melakukan perubahan itu. Pemimpin mempertimbangkan kesesuaian aspek-aspek struktural dan aturan yang berlaku dengan membuka ruang dengan modifikasi yang memupuk suspensiabiliti para pegawai. Kemudian ia melakukan adaptasi secara evolutif terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan baik lokal ataupun lingkungan yang lebih luasnya.

  1. Memperkuat perbedaan siginifikan dan perhatian komunikasi bukan untuk membangun konsensus

Perbedaan adalah wajar, alami, dan selalu akan ditemui dalam organisasi. Pandangan konvensional mengakui bahwa perbedaan pendapat itu diperlukan dan bermanfaat. Cara komunikasi yang ditempuh biasanya melalui diskusi atau brainstorming. Cara diskusi dianggap sebagai kesempatan yang membuka pemikiran-pemikiran kreatif, hingga pemimpin tiba pada saat pencapaian kesepakatan. Hasil dari sebuah kesepakatan biasanya diakhiri dengan suatu keputusan yang dibuat melalui otoritas pemimpin.

Komunikasi kepemimpinan yang muncul seringkali bersifat manipulatif danisi pesan komunikasi tentu saja tidak menghendaki anggotanya mempertanyakan nilai-nilai inti dan kebijakan organisasi. Pemimpin sering membuat perhitungan terhadap perbedaan itu dengan menyalurkan beban komunikasi tersebut kepada para pembantunya atau kepala unit kerja yang relevan pada hierarkhi di bawahnya. Kekhawatiran dari kecenderungan tindakan seperti ini, cepat atau lambat akan mengalihkan sistem organisasi yang homogen, yang hanya memiliki beberapa pilihan terbatas dan kaku dalam menanggapi isu-isu yang sebenarnya kompleks.

  1. Keberhasilan sebagai penyesuaian yang tepat terhadap lingkungan, bukan menutup kesenjangan dengan hal yang ideal

Dalam sistem organisasi yang adaptif, tidak ada pengukuran yang mutlak untuk eksistensi keberhasilan. Persepsi konvensional tentang keberhasilan sering diartikan sebagai tercapainya tujuan organisasi dan segala tindakan diarahkan pada tercapainya tujuan tersebut. Ketercapaian tujuan akan sangat menjelaskan kelangsungan hidup organisasi dalam jangka pendek, tetapi kompleksitas dan ketidakmenentuan akan menegaskan bahwa pencapaian tujuan jangka pendek akan mengorbankan keberlanjutan hidup organisasi dalam jangka panjang.

Memperhatikan interkoneksitas sistem, fokus dan linearitas pencapaian tujuan organisasi menjadi suatu yang bersifat formalitas dan bahkan usang. Karena itu keberhasilan organisasi hendaklah dipahami sebagai kemampuan anggota untuk mengubah dan menyesuaikan secara tepat terhadap kondisi perubahan lingkungan melalui pengorganisasian diri. Dalam kehidupan kerja pegawai yang mengakui prinsip kompleksitas dan ketidak-menentuan, flexibility dan adaptasi dilakukan untuk kelangsungan kehidupan jangka panjang.

Memutuskan untuk mengambil sebuah perubahan memang seringkali melibatkan ketakutan. Namun setidaknya masukan dari pegawai dapat membantu dalam mencari cara terbaik untuk mengimplementasikan perubahan tersebut, sehingga perubahan akan diterima dengan tangan terbuka. Organisasi adalah kesatuan yang begitu kompleks dan terus berubah, karenanya pemimpin berperan penting dalam menginisiasi terjadinya self-organizing dalam diri para pegawai, agar proses belajar dan beradaptasi terus berevolusi. Dalam praktiknya self-organizing melibatkan proses meta feeling, meta cognition dan meta acting. Pemimpin melalui komunikasi organisasi selalu hadir untuk memfasilitasi perubahan-perubahan dan memberikesempatan waktu agar perubahan terjadi secara alami.

prof-johar-4

 Hadirin yang saya hormati,

Sungguh berbahagia, saya merasakan nikmat dan karunia Alloh Swt.  Karenanya pada kesempatan akhir orasi ini,dengan segala kerendahan hati perkenankan saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya, kepada:

  1. Mohammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang mengangkat saya dalam jabatan akademik/fungsional dosen sebagai profesor/guru besar dalam bidang ilmu Komunikasi Organisasi terhitung mulai tanggal 1 Januari 2012.
  2. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. selaku mantan Rektor UPI; dan Prof. Dr. H. Furqon, MA, Ph.D. selaku Rektor UPI saat ini,serta Para Wakil Rektor, Ketua dan Anggota Senat Akademik, Dewan Guru Besar yang telah memberikan persetujuan dan memfasilitasi pengangkatan guru besar;
  3. H. M. Solehuddin, M.Pd., MA. selaku Ketua Sekretaris Eksekutif yang telah memfasilitasi acara pengukuhan guru besar; dan selaku teman seperjuangan saat menyelesaiakan studi pada ED & TP, The OHIO University,Columbus.
  4. Dr. Ahman, M.Pd. selaku Dekan FIP dan Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si. selaku penilai sejawat atas segala bantuan dan dorongan moril yang sangat berharga dalam proses usulan hingga pengukuhan jabatan guru besar;
  5. Dr. H. Supyarma, M.Pd. dari Uiversitas Negeri Padang, dan Prof. Dr. H. Ansar, M.Si. (dari Universitas Negeri Gorontalo) selaku penilai dari luar atas bantuan yang telah diberikan sesuai waktu yang diharapkan;
  6. Dr. H. Mustofa Kamil, M.Pd., selaku mantan Pembantu Dekan I FIP dan Dr. Agus Taufik, M.Pd. selaku Wakil Dekan I FIP yang telah memberi bantuan akademik yang sangat berharga dalam pengangkatan dan pengukuhan guru besar;
  7. Hj. Yayah Rahyasih, M.Pd., selaku Direktur SDM UPI saat itu, beserta seluruh staf dan karyawan atas bantuan kelancaran administrasi dalam pengusulan guru besar,
  8. Para Ketua dan Seretaris Departemen di Lingkugan FIP, Ketua Prodi serta rekan sejawat pada lingkungan Departemen Administrasi Pendidikan, khususnya: Dr. H. Aceng Muhtarom Mirfani, M.Pd.; Prof. Dr. H. Djam’an Satori, MA; Prof. Dr. H. Udin Saefudin Saud, M.Ed.; Prof. Dr. Hj. Aan Komariah, M.Pd., Dr. Asep Sudarsyah, M.Pd., yang telah mendorong, mengkritisi dan berdiskusi hingga menjelang pengukuhan guru besar,
  9. Rum Astuti, SE. selaku Kabag Tata Usaha FIP, para Kasubag dan seluruh jajarannya yang telah membantu dengan tulus hingga sampai pada pengangkatan guru besar ini,
  10. Para mahasiswa, khususnya mahasiswa Departemen Administrasi Pendidikan yang senantiasa menginspirasi akan semangat profesionalisme yang tidak boleh kunjung padam,

Terima kasih sedalam-dalamnya saya haturkan kepada kedua orang tua almarhum/ah (Emah sareng Apa), terutama kepada emah tercinta yang telah mengasuh, mendidik dan selalu mendo’akan untuk rajin sekolah dan selalu rajin belajar. Juga saya mengucapkan terima kasih kepada adik-adik, kakak dan seluruh keluarga, ibu mertua (Almh) dan bapak mertua, serta seluruh anggota keluarga lainnya yang saling mendo’akan agar tetap hidup baik-baik, rukun selalu dan tidak lupa shalat lima waktu.

Kepada isteri tercinta Dra. Hj. Eni Nur’aeni dan anak-anaku Mirda, Mirna, Mirsi, dan Mirekel dengan kesabaran, ketabahan dan rasa cinta illahi yang tulus,  yang tiada henti mendorong saya, terutama saat mendapat cobaan hidup bahkan ketika sakit, sampai jualah kepada saat berbahagia, pengukuhan guru besar.

Akhirnya saya sampaikan terima kasih kepada para tamu undangan yang telah meluangkan waktu, memenuhi undangan kami.

Semoga segala amal baik bapak/ibu/saudara; kita semua mendapat balasan pahala dari Alloh Swt. Sekian, moof maaf atas segala kesalahan, kekurangan dan kekhilafan billahitaufik walhidayah,

Wassalamu’alaikum warrahmatullaahi wabarokatuuh.