PKPWA LPPM UPI Diskusikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Bandung, UPI

Kekerasan seksual menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat Indonesia, oleh karena itu diperlukan suatu Undang-undang (UU) untuk melindungi para korban. UU itu tujuannya adalah untuk melindungi seluruh warga negara. Urgensinya bahwa yang namanya Undang-undang, jika sudah disahkan itu akan mengikat terhadap seluruh warga negara.

Hal tersebut ditegaskan Kepala Pusat Kajian dan Pengembangan Kependudukan, Peranan Wanita/Gender, dan Perlindungan Anak (PKPWA) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Elly Malihah, M.Si., saat ditemui usai melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi terpumpun tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Urgensi dan Analisis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, di Ruang Rapat lantai 1 LPPM UPI, Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Jumat (15/2/2019).

Ketika mengamati permasalahan ini, ujarnya, PKPWA mengamati ada pihak yang kontra, ini tentu saja menjadi perhatian kami, sehingga tertarik untuk mengkaji kenapa muncul pro dan kontra, dan ketika akan diangkat dalam sebuah diskusi, kita harus bisa melihat sudut pandang lainnya, apakah perlu diundangkan atau tidak agar UU tersebut sesuai dengan harapan, dan bahwa UU itu tujuannya adalah untuk melindungi warga negara, untuk kepentingan negara dan warga negara.

Lebih lanjut diungkapkannya,”Berdasarkan hal tersebut, kami menghadirkan para pihak tersebut, yaitu yang kontra hadir Dosen IKK FEMA yang juga Ketua GiGa Penggiat Keluarga Indonesia Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si., sementara yang pro hadir Dosen UIN SGD yang juga Komisioner Komnas Perempuan Prof. Nina Nurmalina, Ph. D., dan Sapa Institut, Pusat Pendidikan, Informasi dan Komunikasi Perempuan Sri Mulyati, S.Sos., untuk diketahui bahwa Sri Mulyati merupakan seorang praktisi yang mendampingi korban-korban kekerasan seksual di masyarakat untuk menemukan solusi dari permasalahannya.”

Kehadirannya dimaksudkan untuk melihat dan mengkaji permasalahan dari sudut pandang akademis, tegasnya, juga bukan dari sisi politik ataupun dari sisi kepentingan pihak tertentu. UPI merasa berkepentingan untuk melihatnya secara objektif dan ujungnya, rumusan atau kesimpulannya bisa menjadi rekomendasi bagi pihak-pihak terkait.

“Dari hasil FGD tersebut ditemukan beberapa alasan kenapa muncul pihak yang pro dan yang kontra. Pihak yang pro menilai mereka tidak melihat dari ideologi gender mana RUU tersebut dibuat, tetapi yang diutamakan harus ada UU perlindungan terhadap korban kekerasan seksual karena semakin hari kekerasan seksual di masyarakat ini semakin banyak bahkan kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga. Sementara itu bagi pihak yang kontra menilai bahwa RUU ini tidak melihat ada kaitannya dengan UU perkawinan, kemudian ada hal lainnya yang belum termasuk secara sosiologis terutama adalah yang berkaitan dengan keluarga,” ungkapnya lagi.

Jadi yang diperjuangkan oleh pihak pro RUU adalah segera mengundangkan RUU tersebut, jelasnya, karena sudah ditunggu oleh masyarakat karena korban setiap hari semakin bergelimpangan. Sementara itu bagi pihak yang kontra adalah bahwa ketika membuat naskah akademik dan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual harus merujuk kepada 80 juta warga negara Indonesia yang berstatus keluarga, sehingga UU ini tidak lebih bersifat untuk memahami perspektif keluarga saja, di samping itu juga mereka ingin mengkaitkannya dengan Undang-undang Perkawinan. Menurut pemikiran pihak yang kontra, UU ini seolah-olah terlepas dari keluarga, terlepas dari sosial budaya masyarakat Indonesia, dan mereka beranggapan bahwa ini “berbau barat” dan mereka melihat seolah-olah ada dukungan dari negara asing.

Menurutnya,”PKPWA LPPM UPI setuju terhadap penghapusan kekerasan terhadap seksual dan kekerasan-kekerasan lain di muka bumi ini, oleh sebab itu niatan mengundangkan RUU penghapusan kekerasan terhadap seksual untuk melindungi korban, kami dukung, namun tetap berikan kesempatan kepada kami untuk juga ikut mengkaji mengapa masih ada bagian lain dari warga negara ini yang belum setuju.”

Ditegaskan kembali bahwa kajian kita lebih pada sudut pandang akademik, jadi urgensinya adalah untuk mendengarkan bahwa semua warga negara memiliki hak untuk memberikan saran dan masukannya terhadap RUU, apapun RUU tersebut. Jika sudah disimpulkan hasilnya akan kita sampaikan ke DPR RI. Namun sampai saat ini belum bisa ditentukan dan dipastikan hal-hal mana yang menjadi temuan diskusi kita, akan rumuskan bersama tim PKPWA.

“UPI sebagai lembaga pendidikan tinggi menjadikan pendidikan sebagai kata kerja bukan sebagai kata benda, tegasnya, maka UPI harus berperan banyak dalam membantu memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat terutama pada nilai-nilai pendidikannya. UPI harus bisa mengedukasi bahwa jika terjadi pro dan kotra kita harussimpulkan melalui kajian akademis sehingga kita tidak sekedar ikut-ikutan. UPI sebagai pergururan tinggi yang berbasis pada nilai-nilai pendidikan harus menjadi contoh terdepan untuk mengedukasi warga negara atau masyarakat untuk bagaimana caranya melek atau meliliki literasi terhadap permasalahan-permasalahan sosial budaya,” harapnya.

Dalam FGD tersebut jelas terlihat ada perbedaan paradigma diantara pengusung dan penolak. Bagi pengusung atau yang pro, jika kita melihat paradigmanya dapat dilihat melalui aliran Teori Gender, mereka menggunakan Teori Feminis, sementara itu bagi pihak yang menolak mereka menggunakan Teori Struktural Fungsional.

Bagi kami, lanjutnya, bukan hanya sebatas pengujian teori saja tetapi kita harus melihat dulu dimana kepentingannya nantinya teori tersebut diturunkan atau dibumikan sehingga berguna dan bermakna bagi kepentingan  masyarakat, dan untuk selanjutnya kedua teori tersebut kita kaji.

Dikatakannya lagi,”Dikarenakan kajian tersebut berorientasi pada kajian akademik, dan dalam kajian akademik tersebut tidak boleh ada keberpihakan maka keberpihakan tim PKPWA lebih berpihak pada sisi akademiknya. Kita sudah mendengarkan paparan dari para pihak, namun kesimpulannya belum bisa dipublikasikan karena masih harus melalui tahap kajian akademiknya terlebih dahulu.”

Kegiatan ini merupakan FGD lanjutan dari FGD internal PKPWA LPPM UPI yang diselenggarakan pada 1 Februari 2019. Hasilnya keluar sebuah rekomendasi untuk menghadirkan para pihak antara yang pro dan kontra terhadap RUU PKS tersebut. Salah satu fungsi dari PKPWA LPPM UPI itu adalah untuk melihat dan untuk mengkaji apa-apa yang sedang menjadi trending topic di lingkungan masyarakat, dan PKPWA dilarang untuk berpihak pada salah satu kubu. Hadir dalam kesempatan tersebut sebanyak 50 orang peserta FGD dari Pusat Kajian Wanita Unpad, Unisba, dan UIN, serta dari GiGa, Sapa Institute, dan Internal UPI. (dodiangga)