Puasa Calon Presiden

Dok pribadi
Suwatno, Guru besar Komunikasi Organisasi,
dosen FPEB UPI,
Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI

RAMADAN sudah beberapa hari berlalu. Bagi umat muslim, bulan ini setidaknya memiliki dua dimensi yakni ibadah dan sosial. Dalam perspektif ibadah, puasa adalah amalan privat, sifatnya sangat personal. Tidak ada orang lain yang mampu memverifikasi apalagi mengaudit kejujuran puasa seseorang, karena yang tahu hanyalah dirinya sendiri. Namun dalam perspektif sosial, kegiatan derma dan sejenisnya di bulan puasa sangat berpotensi mendapatkan eksposur, apalagi jika dilakukan oleh figur politik populer.

Figur-figur politik, terutama mereka yang tampak berobsesi menjadi capres (untuk mempersingkat saya sebut figur capres) di Pemilu 2024, secara tipikal bakal menggunakan momentum ini sebagai ajang membangun kedekatan yang lebih kuat dengan masyarakat. Tentu melalui program-program berorientasi sosial, untuk mendongrak elektabilitas. Mereka, atau tim marketing mereka, biasanya telah menyusun program dengan timeline yang padat saat Ramadan. Kegiatan safari Ramadan dapat dipaketkan dengan safari politik.

Bagi figur capres bercitra ‘relijius’, kegiatan sosial di bulan suci ini akan semakin mengonfirmasi kepeduliannya terhadap umat. Komunitas muslim ta’at bakal semakin yakin bahwa figur tersebut, jika terpilih sebagai presiden akan semakin pro terhadap kepentingan umat Islam. Di waktu yang sama, figur bercitra ‘nasionalis’ juga tidak mungkin melewatkan kesempatan untuk membangun citra bahwa dirinya juga seorang muslim yang peduli terhadap umat Islam. Namun, hampir dapat dipastikan komunitas muslim yang didekati adalah kelompok Islam ‘tengah’.

Sebetulnya kegiatan pencitraan politik saat Ramadan bukanlah sebuah pelanggaran secara hukum, tapi entah secara teologis. Seandainya pun ada sebagian masyarakat yang merasa tidak simpatik dengan perilaku yang memanfaatkan bulan suci untuk agenda pencitraan politik, besar kemungkinan kegiatan tersebut tetap akan berjalan. Puasanya para figur capres itu tidak akan menjadikan mereka ‘berpuasa’ (berhenti) melakukan agenda komunikasi politik. Bangsa ini tidak pernah memiliki sejarah, misalnya, seorang figur capres yang ‘libur’ untuk fokus beribadah di ruang privatnya selama Ramadan, entah iktikaf ataupun uzlah. Pun, saya juga belum pernah mendengar ada figur yang demikian di belahan bumi demokratis lainnya.

Yang lebih sering terjadi, justru di bulan puasa para figur capres lebih atraktif-agresif dalam menjalankan agenda-agenda pemasaran politik. Apalagi, Pemilu 2024 tinggal hitungan dua tahun, yang mana 2022 ini adalah waktu paling menentukan untuk memenuhi target elektabilitas. Tahun depan sudah masuk waktu pengambilan keputusan apakah mereka diusung oleh partai politik atau tidak sebagai capres. Jadi, sesungguhnya sangat wajar, jika bulan ini mereka justru bekerja keras menggenjot elektabilitasnya, karena dihitung sebagai investasi yang akan dipetik di tahun berikutnya.

Jadi, mengharapkan Ramadan sebagai bulan yang ‘suci’ dari pencitraan politik, merupakan sebuah ilusi. Sebaiknya ekspektasi tersebut diturunkan ke level yang lebih realistis namun konkret. Kegiatan pencitraan dapat tetap dilakukan, namun mereka harus didorong, terutama yang statusnya masih sebagai pejabat publik (gubernur, menteri, atau lainnya), untuk memberikan hadiah spesial kepada umat Islam di Ramadan tahun ini. Tentu melalui kebijakan publik yang pro terhadap umat Islam yang wujudnya bisa variatif. Etiket pencitraan Etiket merupakan tata cara seorang individu dalam berinteraksi dengan individu lain atau dalam masyarakat.

Etiket ini berbeda dengan etika, yang mana etiket berlaku saat seseorang berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain, dan biasanya bentuknya tidak tertulis (Astuti, 2021). Karena tidak tertulis, etiket ini bisanya rawan menghasilkan multi-persepsi. Meski demikian, sebetulnya masyarakat bisa menilai bagaimana etiket dalam kegiatan-kegiatan pencitraan yang dilakukan oleh para figur capres. Bagaimana mereka memperlakukan rakyat, bisa dilihat dari cara mereka berkomunikasi. Apakah ada perbedaan saat mereka berada di dalam atau di luar frame kamera?

Kita cukup dapat memahami, bahwa logika marketing memang berbeda secara diametral dengan logika ibadah (terutama dalam konteks puasa). Jika ibadah itu semakin privat semakin baik, sebaliknya logika marketing semakin viral semakin baik. Problemnya, di Ramadan kerapkali agenda ibadah dan pemasaran dijalankan dalam satu paket. Perilaku sosial telah menyatu dalam kegiatan pengungkitan popularitas-elektabilitas. Masalahnya, keikhlasan itu ada di dalam hati, dan urusan pahala tidak diatur oleh manusia.

Untuk itu, kita hanya dapat merespons apa yang tampak, atau sisi zahirnya saja. Perilaku pencitraan politik di momen Ramadan merupakan hak setiap tokoh, namun seyogyanya juga perlu melihat suasana kebatinan masyarakat. Saat ini, masyarakat sedang dihadapkan pada berbagai persoalan, terutama masalah ekonomi, yang ditandai dengan kenaikan harga beberapa bahan pokok, khususnya minyak goreng. Tentu yang jauh lebih diharapkan oleh masyarakat adalah solusi, bukan pencitraan di saat banyak orang menahan lapar dan dahaga.

Diterbitkan di Opini Media Indonesia: https://m.mediaindonesia.com/opini/483765/puasa-calon-presiden