Rumah Mimpi: Berbagi Inspirasi Sampai Mati

1Bandung, UPI

Ada yang bilang ilmu itu adalah harta yang paling berharga. Tak seperti harta benda lain yang habis jika dibagikan, ilmu semakin dibagi semakin membuat kita kaya. Maka selain mencari ilmu, kita juga tak boleh lupa membagikan ilmu kita. Mengingat sesungguhnya  tidak sedikit orang yang kurang beruntung yang belum dapat mengenyam pendidikan layaknya orang kebanyakan.

Merangkum cerita dari mereka yang mau berbagi ilmu dengan sesama, tanpa pamrih ataupun balas jasa. Mereka yang namanya tak ada dalam daftar pahlawan yang di elu–elukan tapi sesungguhnya merekalah pahlawan yang paling nyata.

Semangat itu pula yang melatarbelakangi Yusuf Yudha Erlangga dan delapan kawannya mendirikan Rumah Mimpi (RM). Ucup, sapaan akrab Yusuf bersama delapan temannya yang berasal dari Universitas Komputer Indonesia (Unikom) dan Universitas Pasundan (Unpas) membuat tempat singgah bagi anak–anak jalanan.

“Melihat anak–anak di jalan, ya timbul rasa prihatin, peduli, marah juga. Ngobrol sama temen–temen, tak tahunya respons mereka positif dan bagus. Mereka mendukung niat untuk bantu anak–anak. Akhirnya kita bareng bikin Rumah Mimpi,” ujar Ucup.3

Dengan dorongan serta kerja sama dari Seniman Bangun Pagi (SBP), akhirnya RM resmi berdiri Mei 2011 bertempat di Jembatan Penyebrangan Orang (JPO)  Alun–alun Bandung. Saat ditanya mengapa namanya Rumah Mimpi, Ucup menjelaskan, bahwa ia dan kawan–kawannya sepakat menyebut tempat mereka sebagai “rumah” karena menurutnya kata “rumah” terasa lebih hangat dan dekat. Sesuai dengan konsep belajar, mereka sebagai kakak yang mengajari adiknya, bukan guru kepada muridnya.

“Kalau namanya berbau sekolah atau belajar gitu takutnya anak–anaknya jadi nolak. Jadi gak mau. Makanya kita memilih rumah,” tambah Ucup.

Karena berlatar belakang pendidikan komputer, maka pelajaran yang pertama kali Ucup dan kawan–kawannya ajarkan adalah komputer. Seiring perkembangan serta makin banyaknya sumber daya yang membantu kegiatan belajar mengajar di RM, kini ada pula pelajaran bahasa Inggris, calistung (baca, tulis, hitung), juga kesenian.

Ketersediaan dana pun menjadi cerita tersendiri bagi mereka. Demi menyediakan fasilitas yang lebih baik, para kakak pengajar tak sungkan untuk berjualan agar mendapatkan tambahan dana. Mulai dari kerajinan tangan hingga gorengan pernah menjadi sumber dana usaha mereka. Namun mereka bersyukur, semua jerih payah itu juga di tambah dengan bantuan dari rekan – rekan mereka yang juga peduli.2

Keterbatasan sarana dan prasarana tidak membuat semangat anak–anak maupun para kakak pembimbing memudar. Suara bising jalanan, debu kendaraan, dan cuaca yang kadang tak menentu pun menjadi teman akrab selama kegiatan belajar mengajar mereka.

Menjadi pengajar RM tidaklah sulit. RM sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung bersama mereka. Syaratnya hanya satu, yaitu punya semangat berbagi dan ingin membangun mimpi bersama anak–anak Rumah Mimpi. Kakak pengajar pun berasal dari berbagai macam latar belakang, ada mahasiswa, pelajar SMA, guru, karyawan, dan lainnya.

“Kalau ada yang mau gabung kita mah terbuka, siapa pun boleh. Nanti hubungi dulu kakak–kakak pengurusnya biar dijelaskan cara mengajarnya bagaimana. Soalnya kita bikin kurikulum sendiri. Di bagi perbahasan, juga dibagi semacam pos untuk mengajarnya. Nanti dibantu untuk disesuaikan dan bisa langsung ikut ngajar,” terang Ucup panjang lebar.

Beberapa harapan digantungkan Ucup pada komunitas yang tahun ini telah menginjak usia tiga tahun. Salah satunya adalah harapan agar anak–anak dapat banyak belajar melalui RM, setelah mereka mendapatkan ilmu maka mereka bisa berkarya. Setelah berkarya mereka diharapkan bisa berbagi apa yang mereka miliki baik ilmu maupun pengalaman kepada sesama.

Selain itu, Ucup juga berharap akan semakin banyak orang – orang yang peduli pada anak jalanan, khususnya terhadap pendidikan mereka. Ia dan kawan–kawannya di RM meyakini bahwa satu – satunya cara untuk memutus mata rantai anak jalanan adalah dengan memberikan mereka pendidikan yang layak seperti yang seharusnya mereka dapatkan. Sebab, jika mereka terdidik dengan baik, akan kecil kemungkinan mereka untuk turun ke jalanan.

“Setiap anak berhak mengenyam pendidikan. Begitu juga anak – anak jalanan. Anak jalanan sering dipandang rendah oleh masyarakat. Mereka dianggap tidak berpendidikan. Namun, siapa sangka di balik stereotip itu, mereka punya keinginan besar untuk belajar. Walaupun beberapa masih ngelem sambil belajar tapi keadaan seperti itu tidak dapat membatasi mereka untuk mendapat pendidikan” papar Ucup. (Henry Gunawan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)