SE Kapolri: Tak Ada Alasan, Polisi tak Mampu Menangani Kriminalitas di Dunia Maya

1-2Bandung, UPI

Meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah diundangkan sejak 21 April 2008, namun tidak semua polisi mampu menangani kejahatan yang terjadi pada dunia maya (cyber crime). Namun sejak Kepala Kepolisian RI menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), tidak ada alasan bagi polisi, termasuk yang bekerja di setiap Polsek untuk melakukan penyidikan kejahata yang terjadi di dunia maya.

“Surat Edaran Polri bukanlah aturan hokum baru untuk masyarakat luas, melainkan petunjuk bagi anggota Polri agar mereka mampu melindungi masyarakat dari kejahatan cyber,” kata Kompol Catur Hari Santosa, S.H.; M.H., Kanit IV (Cyber Crime) Subdit II Dit Reskrimsus Polda Jabar dalam seminar nasional yang diselenggarakan Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, di Auditorium Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastera, UPI, Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Rabu (2/12/2015). Seminar yang dipandu Dr. Wakhudin, M.Pd. tersebut menghadirkan pakar politik Unpad Muradi, M.A.; Ph.D; dan ahli Linguistik Forensik Prof. E. Aminudin Aziz, M.A.; Ph.D.1-1

Menurut Kompol Catur Hari, digital forensik merupakan pekerjaan penting penyidik Polri. Polisi harus melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan petunjuk agar dapat mengidentifikasi pelaku kejahatan. Polisi juga harus mampu membuktikan bahwa terdapat hubungan antara korban dan pelaku kejahatan melalui petunjuk yang didapatkan.

“Kejahatan konvensional biasanya meninggalkan jejak, seperti jejak kaki atau jejak yang dapat dideteksi melalui CCTV. Demikian juga dengan kejahatan cyber, kejahatan ini memiliki karakteristik yang seolah-olah peranan saksi semakin sedikit dalam upaya pembuktian. Namun banyak jalan agar jejak kejahatan melalui internet ini bisa dideteksi. Dan polisi sekarang dituntut mampu mendeteksinya,” ujar Catur Hari. 1-3

Polisi, kata Catur, harus mampu mendapatkan dan mengelola bukti digital. Mereka juga harus mampu membedakan apakah bukti itu asli dan duplikat. Mereka harus mampu mendapatkannya secara sistematis dan metode tertentu. “Polisi yang professional dapat melaksanakannya sesuai standard. Catatan atas segala tindakan yang dilakukan terhadap bukti digital harus dibuat oleh penyidik,” kata Catur.

Demokrasi Cyber

Sementara itu, dosen pada Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad, Muradi, Ph.D. mengemukakan, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Elektronik Surat Edaran No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian tidak perlu dicabut. Sebab, UU dan SE tersebut justru perlu dilaksanakan dengan lebih efektif guna mewujudkan demokratisasi di dunia maya atau demokrasi cyber.

“UU dan Surt Edaran itu belum dilaksanakan secara efektif, mengapa harus dicabut atau direvisi? Aturan main itu sama sekali bukan untuk melindungi pemerintah dari hujatan, melainkan untuk melindungi semua pengguna dunia maya,” kata doktor lulusan Flinders Asia Centre, School of International Studies (SIS), Flinders University, Australia ini.1-4

Dikemukakan, UU tentang ITE dan SE Kapolri dilandasi oleh prinsip, asas dan pokok demokrasi. Substansi aturan hukum tersebut justru menjamin setiap hak asasi manusia. UU ITE maupun SE Kapolri diciptakan agar terwujud toleransi, pluralisme sosial, ekonomi, dan politik, menjamin hak minoritas, dan mengedepankan persamaan di depan hukum.

Dengan diefektifkannya UU tentang ITE dan SE Kapolri, kata Muradi, kebebasan ekspresi politik dapat lebih bertanggung jawab; Penggunaan media sosisl negatif cenderung berkurang; Mengembalikan esensi internet dan komunikasi sebagai wahana informasi; Publik dan Polri lebih paham dalam menyikapi ekspresi kebencian dan fitnah.1-5

Sedangkan Guru Besat Linguistik Forensik Prof. E. Aminudin Aziz, M.A.; Ph.D. dalam kesempatan itu, mengemukakan, media elektronik merupakan wahana realisasi perang bahasa. Fenomena ini terjadi akibat adanya pergeseran realisasi berbahasa dari lisan ke tulisan dan kemudian ke elektronik. Berbagai jenis perang bahasa yang terjadi diekspresikan dalam bentuk saran, kritik, ejekan, hasutan, pencemaran nama baik, hinaan, dan fitnah.

“Pengguna cyber mengekspresikan perang bahasanya dengan bahasa, informasi, dan dokumen di media elektronik. Mereka menggunakan aneka ragam dan langgam bahasa yang merupakan gabungan dari tulisan dan gambar dan suara. Ekspresi ini dapat ditransmisikan dengan sangat cepat dan menjangkau wilayah yang sangat luas, sehingga aksesibilitas yang luas dan berulang, sehingga dapat menjadi wahana untuk perang bahasa,” ujar Prof. Amin.

“Melalui Linguistik Forensik ini, perang bahasa secara ilmiah dapat dibuktikan dengan wujud tindak tutur, baik batasannya, jenisnya, dan derajatnya,” kata lulusan Linguistik dari Department of Linguistics, Faculty of Arts, Monash University, Melbourne, Australia. (WAS/Deny/Andri)