Selamatkan Bangsa dan Negara

Idrus-Affandi

Oleh IDRUS AFFANDI

(Guru Besar Ilmu Politik. Wakil Rektor Universitas Pendidikan Indonesia)

KEGADUHAN politik yang terus meningkat intensitasnya belakangan ini bertolak dari Reformasi yang tidak memiliki frame baku. Reformasi cenderung kebablasan, malah mengarah kepada hegemoni kekuasaan dan terlalu cinta harta (hubbud dunya). Maka solusinya, kembalikan Reformasi pada relnya. Kembalikan UUD pada aslinya, kecuali pembatasan masa jabatan presiden. Dengan cara demikian, bangsa dan negara Indonesia bisa selamat.

Jika tidak segera kembali ke ruh Reformasi yang sejati, kegaduhan politik akan terus meningkat, bahkan tidak mustahil berubah menjadi konflik, baik vertikal maupun horizontal. Konflik yang terus menerus menyebabkan bangsa dan negara ini semakin ringkih. Semua pihak saatnya kembali menjadi negarawan, tak sekadar menjadi politikus yang memperdagangkan kekuasaan.

Kasus konflik antara Polri-Komisi Pemberantasan Korupsi yang belakangan mengharubirukan jagad politik kita merupakan fenomena kuatnya arus hegemoni kekuasaan dan hubbud dunya itu. Demi kekuasaan, semua orang siap mengorbankan apa pun, termasuk mengorbankan institusi maupun negara. Terkesan ada semboyan, “KPK boleh hancur asal saya berkuasa,” demikian pula, “Citra Polri boleh rusak, asal saya memipin.” Stop semua ambisi itu, ganti dengan semangat menyelenggarakan negara demi menegakkan NKRI yang sejahtera dan mendapatkan ridha Tuhan Yang Maha Esa, sehingga bangsa ini berwibawa di mata dunia.

NET
NET

Posisi Indonesia dalam keadaan berbahaya, semua kekuatan asing sudah terpasang. Kalau politikus kita hanya mengumbar hawa nafsu, maka hanya butuh waktu sepuluh tahun, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tinggal nama. Indonesia saat ini butuh jiwa besar, butuh negarawan bukan politikus ambisius, butuh figur yang bersedia berkorban, bukan tokoh yang memainkan kekuasaan dengan menghambur-hamburkan harta negara.

Reformasi mestinya menyempurnakan sistem Orde Baru yang mengalami bolong-bolong akibat digerogoti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Maka sistem Reformasi mutlak memerlukan sikap anti terhadap KKN itu. Sayangnya, yang bisa kita simak setelah masa Reformasi adalah, semua tokoh Reformasi bersama eksponennya ingin berkuasa. Semua ingin menjadi presiden, sehingga tidak bersabar mengantarkan Presiden B.J. Habibie menyelesaikan masa jabatannya sesuai masa bhaktinya.

Lebih ironis lagi, siapa pun yang berkuasa, mereka cenderung membiarkan nafsunya untuk berkuasa. Berkuasa menduduki pemerintahan, menaklukkan parlemen, mengendalikan partai politik, dan mendikte rakyat. Mereka berharap, dengan menaklukkan semuanya, dana mengalir ke koceknya tanpa batas, fasilitas negara menghiasinya bak raja, rakyat gegap gempita menyanjung dan memujinya.

Sayangnya, semua tokoh bernafsu sama. Mereka tidak suka kalau koleganya merasa senang dan bahagia, tanpa melibatkannya. Sebagus apa pun kebijakan pemerintah, kalau tidak menguntungkannya, dia bersikap oposisi. Mereka mencari-cari kesalahan penguasa. Selalu kasak-kusuk mencari celah agar dapat menikmati manisnya kekuasaan dan fasilitas negara. Kalau tak mendapatkannya, mereka bergabung dengan “Barisan Sakit Hati” menjadi oposisi. Kalau perlu mengundang kekuatan luar negeri berkomplot memberangus penguasa. Menghasut rakyat memberontak dan mencela penguasa dianggap sebagai perjuangan mulia. Tapi saat kelompok model ini berkuasa, sikapnya sama saja. Bahkan lebih tercela dari sebelumnya.

Maka, Reformasi harus dibingkai dalam frame kuat bernuansa ke-Indonesiaan yang religius. UUD 1945 yang asli memiliki kekhasan yang berbeda dari nilai kaum liberal. Kalaupun diamendemen, hanya satu pasal, yaitu pembatasan masa jabatan Presiden RI. Selebihnya, UUD 1945 masih relevan menjadi acuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Amendemen yang dilakukan belakangan cenderung mendapatkan banyak titipan, termasuk dari asing, sehingga kerap menjadi payung hukum bagi tindakan menentang nilai luhur bangsa yang religius.

Keputusan Presiden Soekarno mengembalikan konstitusi ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959 dapat menjadi contoh memulihkan kegaduhan politik Indonesia kepada Indonesia yang genuine. Indonesia yang menganut sistem politik liberal pada saat itu terjerumus pada situasi gontok-gontokan, adu kekuatan di parlemen. Akibatnya, Konstituante mentok mengalami kebuntuan. Situasi beku seperti ini kalau dibiarkan dapat menimbulkan konflik tak berkesudahan. Maka, kalau kegalauan politik yang berkembang mutakhir tak bisa dikendalikan, dan bahkan mengarah kepada konflik, maka kembali ke UUD 1945 yang asli dapat menjadi solusi.

Beberapa catatan dapat menjadi pelajaran tentang pentingnya kembali ke UUD 1945. Misalnya, berdalih Reformasi, Indonesia menganut sistem multipartai. Siapa pun boleh mendirikan partai politik selama memenuhi syarat. Maka, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kerap dibuat pusing dengan format pemilu yang sangat rumit. Sayangnya, hasil pemilu tak seindah prosesnya yang rumit dan berbiaya sangat besar itu. Partai politik pemenang pemilu tak lebih dari “pedagang kekuasaan” yang memenangi “tender”. Saat berkuasa, mereka tinggal melaksanakan “projek” yang dimenangkan dalam “tender pemilu” itu, berupa bagi-bagi kekuasaan.

Membangun Indonesia yang berreformasi, saatnya Indonesia membangun sistem kepartaian yang mantap. Tak perlu banyak jumlahnya, tapi setiap partai memiliki platform dan ideologi khas Indonesia. Dua saja cukup, misalnya, partai yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berfusi membentuk partai. Namanya silakan disepakati, atau mungkin dengan membakukan menjadi Partai KMP dan Partai KIH. Tak perlu membuka partai lain, apalagi ujungnya partai tersebut sekadar menjadi lapak dagang politik bagi-bagi kekuasaan.

Selain mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, penyelenggaraan negara juga harus kembali kepada semangat kemerdekaan RI. Meskipun konstitusi ditulis dalam tinta emas, kalau semangat penyelenggaraan negara masih berkutat pada hegemoni kekuasaan dan hubbud dunya, maka arah perjalanan bangsa dan negara tetap menuju ke kehancuran. Bangsa dan negara ini dideklarasikan agar menjadi negara dan bangsa yang bebas, bermartabat, berketuhanan, sehingga terbentuk baldatun thayibatun warabbun ghafur. Saatnya Reformasi diwujudkan, saatnya menyelenggarakan negara dengan hati, bukan nafsu. (Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung, Rabu (4/2/2015) halaman 28)