Semua Berawal dari Kata dan Makanan

Syihabuddin

(Guru Besar FPBS UPI)

Jika kita menelusuri makna kata shaum melalui berbagai kamus, tampaklah bahwa paling tidak kata itu memiliki tiga makna, yaitu menahan diri dari makan, menahan diri dari berbicara, dan menahan diri dari bepergian. Kuda yang mogok, tidak mau berjalan dan tidak mau makan disebut sha’ïm. Angin yang tenang dan tidak berhembus disebut shaum,  demikian pula  waktu tengah hari saat matahari “berhenti” dan berada persis di atas ubun-ubun juga disebut shaum (al-Ashfahani, 298).

Namun, apabila kita menelaah pemakaian kata itu di dalam konteks Alquran, maka kita menjumpai dua kata, yaitu shiyam dan shaum.

 

Shiyam dari Menyantap Makanan

Marilah kita telaah terlebih dahulu kata shiyam. Kata dengan bentuk ini diulang 8 kali dalam Alquran, di antaranya dijumpai pada ayat-ayat berikut.

1 – يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah: 183).

2 – أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.  (QS. al-Baqarah: 187).

3 – فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا

Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak sahaya, maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa, (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.  (QS. al-Mujaadilah : 4).

Pada ketiga ayat di atas dan pada 5 ayat lainnya, shiyam dimaknai sebagai ibadah puasa yang didefinisikan oleh para ahli seperti berikut.

فهو التعبد لله سبحانه وتعالى بالإمساك عن الأكل والشرب، وسائر المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس.

Shiyam ialah beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari (Syarhul  Mumti’,  Imam Ibnu Utsaimin: 6/298).

Pengaruh makanan terhadap ibadah

Persoalannya, mengapa kita diperintah shiyam dari makan dan minum? Karena makan dan makanan sangat berpengaruh terhadap tubuh manusia, spiritualitasnya, dan ibadahnya. Tulisan ini hanya akan menghampiri pengaruh shiyam terhadap spiritualitas dan ibadah manusia seperti  tampak pada uraian berikut ini.

Pertama, secara historis, kita berada di dunia fana ini lantaran makanan; lantaran  Nabi Adam as. dan Hawa mendekati pohon keabadian (khuldi) dan menyantap buahnya; lantaran keduanya tidak sanggup menahan bujuk rayu setan; lantaran keduanya tidak mau shiyam; tidak dapat menahan diri dari makan.  Sejak itulah Tuhan mengusir keduanya dan menyuruhnya turun dari surga ke bumi. Jadi, kehadiran kita sebagai keturunan Adam di bumi bermula dari makanan; semuanya gara-gara makanan. Hal ini ditegaskan Tuhan dalam surah Albaqarah seperti berikut,

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا

مِنَ الظَّالِمِينَ. فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ ۖ  وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ

وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ. البقرة. 35-36

Kedua, para malaikat yang ada di langit dan bumi mengutuk orang yang di dalam perutnya terdapat makanan haram. Nabi saw. juga menegaskan bahwa orang yang beribadah sedang dia juga menyantap makanan haram, maka dia seperti membuat bangunan di atas pasir.  Rasulullah saw. bersabda,

قال رسول الله صلى الله عليه وآله : اذا وقعت لقمة حرام في جوف العبد لعنه كل ملك في السماوات والارض  .وقال ايضا : العبادة مع اكل الحرام كالبناء على الرمل  .

Ketiga, Allah tidak menerima ibadah shalat dan doa seseorang selama 40 hari lantaran dia  menyantap makanan haram. Daging yang tumbuh dari makanan haram lebih layak untuk santapan api neraka daripada digunakan untuk beribadah.  Nabi saw. menegaskan,

قال رسول الله صلى الله عليه وآله : من اكل لقمة حرام لم تقبل له صلاة اربعين ليلة، ولم تستجب له دعوة اربعين صباحاً، وكل لحم ينبته الحرام فالنار اولى به، وان اللقمة الواحدة تنبت اللحم.

Berdasarkan ayat Alquran dan hadits di atas, kiranya cukup beralasan bagi kita untuk mengajukan  pandangan bahwa boleh jadi kita mendapat kesulitan dalam bekerja; kita ditimpa berbagai penyakit; anak-anak tidak santun kepada orang tuanya; korupsi tidak pernah berhenti; konflik politik terus berulang; berbagai penyakit masyarakat bermunculan; semuanya itu disebabkan makanan yang kita santap.

Boleh jadi kesulitan dalam merencanakan dan melaksanakan pendidikan disebabkan oleh makanan yang kita santap. Boleh jadi keterpurukan kita dalam membangun sumber daya yang berkualitas disebabkan makanan yang kita makanan. Jadi, dilihat dari perspektif ini, Pendidikan itu Dimulai dari Makanan.

 

Lalu bagaimana jalan keluarnya?

Pertama, Allah berkali-kali dan berulang-ulang menyuruh kita memperhatikan, menelaah, mencermati makanan yang kita santap. Allah befirman,

 

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ . عبس :24

Kedua, hendaklah kita menyantap makanan yang halal lagi baik. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. البقرة. ﴿١٦٨﴾

Ketiga, tidak menyantap makanan secara berlebihan. Allah berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ. الاعراف ﴿٣١﴾

Apa yang dapat dilakukan?

Pertama, melakukan telaah, penelitian, dan kajian tentang halal food melalui penelitian multidisiplin di antara Prodi Tataboga, Prodi IPAI, Mesjid Al Furqon, dan prodi lainnya yang relevan.

Kedua, mengedukasi masyarakat melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat tentang cara menyembelih, menyiapkan makanan, dan menyajikannya secara syar’i dan etika.

Ketiga, membenahi kantin-kantin yang kita miliki sehingga nyaman untuk mahasiswa bersantap. Intinya, kantin kita perlu berlandaskan pada etika dan hukum Islam.

 

Shaum dari (ber)-Kata

Demikianlah makna shiyam sebagai ibadah yang dilakukan dengan manahan diri makan, minum, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan.

Sekarang, marilah kita beralih pada kata shaum. Kata shaum hanya disebutkan satu kali dalam Alquran dalam konteks berikut ini.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا . مريم  ٢٦

Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini” (Maryam 26).

Shaum yang dilakukan Maryam tersebut, juga dilakukan oleh Zakariya sebagaimana dijelaskan Allah pada ayat berikut.

قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّي آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلاَّ تُكَلِّمَ النّاس ثَلاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ رَمْزًا وَاذْكُر رَّبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالإِبْكَارِ

Zakariya berkata, “Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung)”. Allah berfirman: “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari” (Ali Ímran: 41).

Berdasarkan ayat di atas, dapatlah ditegaskan bahwa shaum adalah menahan diri berkata-kata yang buruk, dari menulis pesan singkat yang provokatif, dari nge-share info fitnah, nulis status sombong, ghibah, mencela, menghina, berburuk sangka, dan perkataan buruk lainnya.

Karena tidak shaum dari ber-Kata,  timbullah berbagai persoalan: ada orang dipenjara atau bebas karena kata, rumah tangga bercerai atau rukun karena kata,  terwujud perdamaian atau peperangan  karena kata,   ada yang meraih jabatan atau dilengserkan dari jabatan  karena kata.  Jadi, semuanya berawal dari kata. Jika demikian, maka pendidikan itu dimulai dari kata.

Apa itu kata?

Tatkala manusia berinteraksi untuk memenuhi kebutuhannya, mengungkapkan perasaannya, dan menyampaikan gagasannya, dia menggunakan kata. Kebutuhan, perasaan, pikiran, dan gagasan yang berkaitan dengan pengalaman hidup manusia disebut makna. Makna tersebut berhubungan dengan segala yang maujud, bukan dengan yang tidak maujud. Yang maujud itu terdiri atas yang konkret dan yang gaib. Semua pengalaman yang maujud dan yang gaib itu diungkapkan dengan kata. Selanjutnya makna kata ini diwujudkan melalui amal atau tindakan. Inilah tiga rangkaian siklus kinerja manusia: makna, kata, dan tindakan.

Dalam bahasa Arab, kata yang dituturkan atau diujarkan disebut lafazh. Jika lafazh ditulis tanpa konteks, misalnya di dalam kamus, maka disebut mufrad yang jamaknya mufradat. Jika mufrad ditulis dalam konteks, maka disebut kalimah. Jika kalimah-kalimah itu digabungkan dalam sebuah struktur tertentu, maka disebut jumlah, yaitu hasil penambahan atau penjumlahan kata yang satu dengan kata yang lain.

Pengalaman yang berkaitan dengan hal-hal yang maujud itu dijelaskan segala keadaannya. Jika ada hal baru yang berada di luar pengalamannya, maka hal itu dijelaskan melalui penyerupaan (tasybih). Yang diserupakan itu meliputi sifat, ukuran, kecepatan, dan bentuknya. Hal demikian merupakan pekerjaan kaum terpelajar, terutama peneliti.

Apabila pengalaman itu berkaitan dengan hal-hal gaib, keilmuan, atau kegaiban, maka dijelaskan dengan fitrah, yaitu daya yang secara built in tercipta pada kejadian awal manusia. Kata Allah, misalnya, tidak dijelaskan dengan menyerupakan-Nya dengan hal-hal konkret, sebab tiada sesuatu pun yang serupa atau equivalen dengan Dia. Kata Allah dipahami dengan daya berketuhanan yang ada pada diri setiap manusia. Karena itu, tiada seorang manusia pun melainkan dia mengetahui Tuhan. Sebenarnya orang agnotis, inkar, dan menolak keberadaan  Tuhan itu mengetahui tentang Tuhan. Kalaulah dia tidak mengetahui tentang Tuhan, niscaya dia tidak akan mendiskusikan dan mendebat keberadaan Tuhan. Mengapa? Karena diskusi itu hanya berlangsung  tentang sesuatu yang diketahui dan terjangkau oleh pengalaman manusia.

Fithrah juga berfungsi menjelaskan, memformulasikan, dan mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang disimpan Tuhan di alam semesta ini berikut segala isinya. Ilmu pengetahuan itu dititipkan Tuhan di alam semesta (makrokosmos) dan dalam diri manusia sendiri (mikrokosmos). Innal úluma wal ma’marifa kaminatun kamunannari fizzandi wal quwwah fil maddah. Ilmu pengetahuan itu seperti air yang keluar dari dalam sumur tatkala digali. Ilmu pengetahuan itu bukan seperti hujan yang tumpah dari langit, karena air ini akan mengalir ke permukaan yang lebih rendah, tidak mau meresap, terutama di tanah gundul, atau tanah yang permukaannya ditutupi beton atau aspal. Jadi, sebenarnya mendidik itu seperti menggosokkan dua kayu bakar agar api keluar, atau seperti menggali sumur supaya air keluar dari dalam tanah. Mendidik itu membina fitrah atau daya yang telah disiapkan Tuhan.

Selanjutnya, makna itu diungkapkan dengan kata secara logis dan sistematis, sehingga manusia dapat mewujudkan makna itu dalam kenyataan. Aktualisasi makna kata ke dalam amal tergantung tiga hal, yaitu kompetensi, waktu, dan otoritas. Di sinilah nyata benar bahwa manusia tidak memiliki kemampuan atas dirinya sendiri, bahkan atas perbuatan yang dilakukannya. Hal ini berbeda dengan Tuhan yang apabila Dia ber-Kata pada sesuatu, “Jadilah!” maka ia pun menjadi.

 

Kata Thayyibah  

Uraian di atas menggambarkan siklus kinerja manusia dalam memformulasikan pengalaman ke dalam makna, mengungkapkan makna dalam bentuk kata, dan mewujudkan makna kata dalam kerja. Kinerja tersebut bersifat netral. Artinya, kinerja itu dapat membuahkan kebaikan atau melahirkan keburukan. Karena itu, Allah memberikan panduan kepada manusia dalam berkinerja melalui kata. Allah Ta’ala berfirman,

الَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ. تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ. وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ. يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ. ابراهيم: 24- 25

Syaikh Mutawalli Sya’rawi menafsirkan ayat di atas dalam buku Mu’jizatul Quran Juz 6, halaman 55 – 75. Pokok-pokok pemikiran beliau dapat diuraikan seperti berikut.

Pertama,  Allah mengilustrasikan kata yang baik dengan pohon. Mengapa dengan pohon? Karena penyebaran kata hingga meluas dan mendunia seperti penyebaran biji hingga menjadi sejumlah pohon.

Kata yang mengusung makna itu akan meluncur dari mulut atau ditulis dengan tangan, yang kemudian berpindah kepada orang lain, berpindah ke grup lain,  berpindah dari suatu kampung ke kampung lain, dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu negara ke negara lain, hingga mendunia dan mengglobal.

Kata itu dimulai dari satu ungkapan, lalu membesar dan menyebar. Kata itu seperti pohon yang dimulai dari sebuah biji, lalu tumbuh menjadi dua helai daun, tumbuh bercabang, berdahan, beranting, membesar, berbunga, berbuah, dan akhirnya melahirkan biji. Kemudian biji yang jumlahnya ribuan, yang dimiliki pohon itu menyebar ke berbagai daerah, lalu tumbuh, membesar, berbunga, berbuah, dan melahirkan biji lainnya. Demikian selanjutnya hingga melahirkan ribuan, jutaan, bahkan miliaran biji hingga hari kiamat.

Demikianlah kata-kata yang baik yang keluar dari mulut atau ponsel seseorang. Ia akan melahirkan satu kebaikan, lalu kebaikan itu diikuti orang lain, diikuti orang yang lain lagi, lalu diikuti oleh puluhan, ratusan, ribuan, jutaan, bahkan miliaran orang hingga hari kiamat. Buah atau pahala dari kata yang baik akan dipetik oleh penuturnya tanpa dikurangi sedikitpun. Demikian pula sebaliknya. Jika perkataan atau tulisan yang keluar dari mulut atau dari ponsel seseorang itu berupa keburukan, maka ia akan meraih petaka dan dosa dari keburukan itu tanpa dikurangi sedikit pun hingga hari kiamat. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah, tu`ti ukulaha kulla hinin bi`idzni rabbiha, pada ayat di atas. Karena itu, Nabi saw. bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Barangsiapa yang menciptakan tradisi baik di dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakan tradisi tersebut setelahnya tanpa mengurangi dari pahala-pahala mereka dan barangsiapa yang menciptakan tradisi buruk di dalam Islam maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan tradisi tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa sedikitpun pelakunya. (HR. Muslim).

 

Kedua, kata yang baik itu menghunjam ke dalam wahyu, mengakar ke dalam nilai-nilai yang agung, dan menembus nilai-nilai kebenaran yang abadi. Kata yang baik itu seperti akar pohon yang menghunjam ke bumi,  yang akarnya menjalar ke berbagai arah untuk mengokohkan batang, untuk memberi makanan bagi tumbuh-kembang pohon tersebut.

 

Ketiga, batang dan cabang-cabang pohon itu menjulang ke langit, tidak menjuntai ke bumi. Artinya, pemilik dan penanam pohon itu tidak mengharapkan imbalan atau buah dari bumi, dari manusia, tetapi dia mengharapkan imbalannya dari langit, dari Allah Ta’ala. Dia bertawakkal sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, pada kekuasaan-Nya.

 

Keempat, kata yang buruk itu seperti pohon yang buruk. Kata itu akan menyebarkan keburukan kepada puluhan, ratusan, ribuan, jutaan, bahkan miliaran orang. Hal ini seperti pohon yang buruk. Ia melahirkan biji yang buruk dan menularkan hama ke puluhan, ribuan, bahkan jutaan pohon lainnya. Atau kata yang buruk tidak bersumber pada kebenaran dan nilai-nilai yang abadi. Ia seperti pohon buruk yang  akarnya tidak menghunjam ke bumi, ke dalam tanah. Tentu saja kata itu mudah dibantah dan dipatahkan seperti halnya pohon buruk yang mudah runtuh jika tertiup angin. Hal ini tampak pada berbagai tatanan pemerintahan yang didasarkan pada nilai-nilai kekinian dan ke-disini-an. Tatatanan itu dapat dengan mudah diruntuhkan oleh penguasa berikutnya. Di antara kata yang buruk ialah prasangka buruk, gibah, dan mencari-cari kesalahan orang lain. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رحيم.

Kelima, kadang-kadang orang beriman terpesona dan terpukau oleh maraknya keburukan sehingga mengesankan sebagai kebenaran. Kadang-kadang orang Mukmin goyah dengan derasnya informasi palsu yang karena banyaknya, lalu dia menduga sebagai kebenaran. Tidak. Allah akan menunjukkan orang beriman kepada kebenaran hakiki yang membuat qalbunya kokoh dalam kebenaran itu. Orang beriman senantiasa berada dalam perlindungan dan pertolongan-Nya.

Keenam,  Allah hendak mengajarkan kepada orang beriman agar berkata dengan cermat, berhati-hati, dan tidak mengumbar atau menyebarkan kata yang belum tentu kebenarannya. Karena semua kata yang diproduksi manusia akan dihisab. Allah berfirman,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Demikianlah, istilah shiyam menegaskan bahwa pendidikan dimulai dari mengupayakan penghasilan yang halal, menyantap makanan halal, makanan yang thayyib, dan tidak israf (berlebihan). Makanan demikian akan membuahkan karakter yang baik, ilmu yang bermanfaat,  dan pengetahuan yang berkah.

Selanjutnya, istilah shaum menegaskan bahwa pendidikan dimulai dari mengucapkan kata yang thayyib, kata yang bermanfaat, yang bersumber pada nilai keabadian, yang mendatangkan manfaat setiap saat. Siswa yang memproduksi kata yang thoyyib akan tegar dan istiqamah dalam menghadapi gelombang informasi yang keliru. Wallau ‘alam bishshawab.

 

Rujukan

  1. Al-Ashfahani, A. (t.t.). Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur`ani. Beirut: Dar al-Fikr Lithhiba’ah Wannasyri Wattauzi’.
  2. Asy-Sya’rawi, M.M. (t.t.). Mu’jizatul Qur`an al-Ju`us Tasi’. Cairo: Akhbarul Yaum, Idaratul Kutub Walmaktabat.
  3. Utsaimin, M.S. ( 2002). Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ Al-Mujallad as-Sadis. Riyadh: Dar Ibn Al-Jauzi.