Seni Tradisional Pun Dikembangkan Untuk Hadapi MEA

Bandung, UPI

Dramawan Putu Wijaya dalam berkesnian mempunyai semboyan “Bertolak dari yang ada”. Yang ada itu adalah potensi untuk dikembangkan yang nantinya menjadi andalan. Karena itu kuasailah dengan sungguh-sungguh apa yang kita miliki, sebab itu tidak dimiliki oleh orang lain.

“Milikmu adalah senjatamu dalam pertempuran. Engkau akan memenangkan pertempuran karena engkau memegang senjata yang hanya engkau sendiri yang bisa menggunakannya. Asahlah dari waktu ke waktu kemampuan menggunakan senjatamu, hingga engkau sanggup memainkannya dengan sangat mengagumkan,“ kata dosen Institut Kesenian Jakarta Jurusan Seni Tari Nungki Kusumastuti S. Sn., M.Sos,. saat memberikan materi tentang Seni Tradisional dalam Seminar Quovadis XII di Gedung Ahmad Sanusi (BPU) Jalan Setiabudhi Nomor 229 Bandung. Selasa (20/12/2016).

Menurut Nungki Kusumastuti, strategi menghadapi MEA adalah mengembangkan yang kita miliki, sehingga semua orang akan terpesona menonton kita. Karena mereka tak mempunyai potensi seperti yang kita miliki apalagi memainkannya.

Dia juga menjelaskan, dalam makna kesenian, senjata yang dimaksud Putu Wijaya adalah potensi yang terkandung untuk dimunculkan sebagai karya yang tidak akan direndahkan karena pengolahannya dilakukan tanpa rasa asing. Sebab yang diolah adalah potensi milik sendiri. Potensi itu sudah melekat ada, tinggal disadari untuk diolah dengan kesungguhan.”

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dalam perspektif keterbukaan, sesungguhnya adalah medan persaingan keras. Pada situasi demikian, siapa pun harus mempunyai senjata andalan agar tetap bisa tegak dalam persaingan.Senjata andalan itu adalah sesuatu yang harus sangat kita kuasai. Untuk menguasai sesuatu diperlukan waktu panjang karena kemahiran selalu menuntut intensifikasi pelatihan jangka panjang.

“Namun, dalam strategi menghadapi MEA, sesuatu yang harus kita kuasai tersebut apa? Ini perlu permenungan mendalam. Janganlah kita memaksakan untuk menguasai sesuatu yang sesungguhnya tidak kita akrabi,” ujar Nungki.

Dalam pohon kebudayaan, buah yang telah dihasilkannya antara lain kesenian tradisional. Kalau kebudayaan dibayangkan sebagai atmosfer kehidupan yang oksigennya dihirup oleh manusia yang dilingkupinya, maka kesenian tradisional adalah bagian inheren dari napas kehidupan itu sendiri yang diakrabi manusia yang hidup dalam kebudayaan itu.

“Inilah yang selayaknya diangkat untuk dikembangkan sebagai andalan dalam strategi menghadapi persaingan dalam MEA di mana para seniman dari setiap negara anggota MEA tentu juga masing-masing mempunyai kesenian yang diandalkan,” ujar Nungki.

Dia juga mengatakan “Kesenian tradisional kita ditengok oleh banyak orang asing karena mereka tidak memilikinya. Hukum daya pikat menyebutkan bahwa eksotisme merupakan elemen penting untuk memaksa orang menoleh. Bila eksotisme itu disajikan dengan pengolahan yg penuh perhitungan, maka lahirlah pujian.”

Jodjana (1893-1972), seorang penari klasik Jawa-Yogyakarta, pada tahun 1930-an menggegerkan Eropa Barat dengan menyajikan tari tradisional yang dikembangkannya untuk menyesuaikan dengan perubahan tempat dan penonton yang bukan di Jawa tapi di Eropa. Media massa dan pengamat tari di Eropa memuji karya Jodjana sebagai “tari modern berbasis Jawa” karena memadukan elemen karya tari tradisional Jawa dan India dan digarap menjadi karya tari baru.

Dua puluh empat karya tari tunggal telah dihasilkan Jodjana antara lain Ardjoena, Ksatria, Krishna, Wishnu, Shiva, Topeng Mas. Pengamat tari dan media massa di Eropa Barat menyebutkan penampilan Jodjana sebagai peristiwa kesenian yang luar biasa di ibu kota Eropa. Gerak tari dan alunan musik Jodjana dianggapsebagai pencapaian tertinggi dari sebuah keindahan. Disebutkan pula di media massa bahwa dalam salah satu karya terbaiknya, Topeng Mas, Jodjana

bergerak lembut dan membuat wajahnya seperti topeng, menyiratkan ketenangan jiwa yang menunjukkan kemampuannya dalam mengontrol segala bentuk emosi. Karya tari ini diiringi piano yang dimainkan oleh istrinya.

Nico Oosterbek, kritikus tari Belanda, menulis, “Dengan bakat kreatifnya ia bangkitkan keindahan yang membuat orang terpaku, dan tanpa ikatan kebangsaan mana pun ia dapat menyentuh perasaanlapisan luas umat manusia. Itulah keindahan permainan gerak dan mimik yang hanya dengan studi yang lama dan penuh cinta dapat ditekuni, dan menjadi gambaran yang hidup dan mengharukan.”

Uraian panjang mengenai Jodjana dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa kesenian tradisional kita mempunyai daya pukau yang hebat bila diolah dengan penuh kecintaan dan kreativitas untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi yang ada. Sekarang ini zaman telah berubah, pengembangan mutlak harus dilakukan untuk bisa menembus desa-kala-patra yang telah berubah.

Mengutip pernyataan kritikus Belanda Nico Oosterbek, Jodjana mampu menyentuh perasaan lapisan luas umat manusia tanpa ikatan kebangsaan mana pun. Itu hanya bisa terjadi setelah Jodjana melalui studi yang lama dan penuh cinta. Karya seni yang hebat memang tidak mengenal kebangsaan karena yang dituju adalah kemanusiaan itu sendiri. Ini poin penting untuk digarisbawahi bahwa kesenian yang kita tampilkan dalam lingkup MEA adalah karya yang bisa dinikmati oleh siapa pun namun tetap dalam ciri keindonesiaan yang disemburatkan oleh kebhinekaan kesenian tradisional kita. Menjadi aneh sekali bila yang kita tampilkan adalah kesenian dari luar kebudayaan kita. Pastilah kita tak akan unggul bersaing bila yang kita sodorkan  hanyalah kesenian yang kita comot begitu saja dari kebudayaan lain.

Dalam konteks strategi menghadapi MEA, pendidikan seni kita selayaknya memperkuat sektor kesenian tradisional. Dalam hal ini dilakukan pembelajaran mendalam tidak hanya pada sisi teknis, juga tak kalah penting adalah sisi kebudayaan yang melahirkan kesenian tradisional. Kedua sisi tersebut harus terlebih dahulu dipahami secara mendalam sebelum menginjak tahap pengembangannya untuk memunculkan karya baru dalam lingkup zaman yang sudah berubah. Perubahan zaman ini pun juga harus dikenali secara mendalam untuk tercapainya sebuah migrasi yang tidak sembarangan dari karya tradisional menuju karya baru.

Indonesian Dance Festival (IDF) adalah festival tari kontemporer internasional yang berdiri  atas prakarsa dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (FSP-IKJ) pada tahun 1992. Meski berada di bawah FSP-IKJ, secara manajerial IDF dilakukan  dengan mandiri. IDF berkomitmen memberikan kontribusinya dalam pendidikan di ranah seni tari sejak berdiri 24 tahun yang lalu,  dan di tahun 2016 ini di antaranya menghadirkan Akademi IDF yang mencakup Lokakarya Kepenarian, Lokakarya Riset Artistik, dan Lokakarya Penulisan Kritik Tari.

Lokakarya Kepenarian Akademi IDF diselenggarakan sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan dunia tari kontemporer dewasa ini. Dua unsur penting bagi penari, yakni teknik tari dan teknik menari, memperoleh penekanan utama pada lokakarya ini. Teknik tari berhubungan dengan kemampuan menguasai teknik dan kosa gerak tertentu. Adapunteknik menari mencakup kecerdasan tubuh dan kematangan pribadi penari sebagai modal untuk menghadirkan dirinya di panggung. Peserta lokakarya ini adalah 16 penari muda berbakat dari berbagai kota di Indonesia.

Lokakarya Riset Artistik bertujuan memberikan bekal kepada koreografer muda dalam menciptakan karya. Dalam lokakarya ini peserta diperkenalkan dan diajak mengarungi kerja kesenian dari beragam disiplin dengan penekanan proses riset artistik yang meliputi penemuan tema yang akan digarap dan proses riset investigatif. Temuan-temuan dari riset itu yang kemudian menjadi basis karya. Peserta Lokakarya Riset Artistik ini 14 koreografer muda yang dipilih dari dari berbagai kota di Indonesia. Mereka diasuh oleh empat fasilitator , yakni Daniel Kok (koreografer, Singapura), Arco Renz (koreografer, Jerman-Belgia), Joned Suryatmoko (sutradara teater, Yogyakarta), dan Nindityo Adipurnomo (perupa, Yogyakarta). Daniel dan Joned mengajak peserta untuk melihat pentingnya aspek penonton dan kepenontonan. Penonton dipandang sebagai bagian integral dari karya tari, namun sering penonton dikeluhkan tidak memahami tari. Pembacaan tentang aspek penonton dan kepenontonan ini menghasilkan pertanyaan untuk riset, antara lain: “Siapa penontonmu dan apa yang didialogkan dengan mereka.” Arco Renz memberikan pandangannya tentang tari, yakni tari adalah sebuah bahasa yang bisa menggapai hal-hal yang tak bisa dicapai oleh bahasa verbal. Lanjutnya, tari memiliki tiga lapisan penting: tari sebagai praktik, tari sebagai bahasa, dan tari sebagai kontemplasi. Fasilitator berikutnya, Nindityo, berusaha membongkar cara berpikir para peserta dan menarik mereka keluar dari zona nyaman karena keluar dari zona nyaman sangat penting bagi kerja seniman.

Lokakarya Penulisan Kritik Tari diadakan karena penulisan pertunjukan tari yang bernas di Indonesia semakin jarang ditemukan. Diikuti oleh 15 penulis muda dan calon kritikus tari serta jurnalis yang berasal dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Padang, dan Makassar, para peserta mendapatkan pelatihan penulisan kritik secara intensif. Melalui lokakarya ini diharapkan para peserta memperoleh sensibilitas dalam mengamati pertunjukan sehingga mampu menuliskan deskripsi secara jelas. Juga ditekankan kepekaan estetis dan pikiran yang kritis untuk mengevaluasi sebuah pertunjukan berdasarkan kriteria kontekstual.

Kembali ke medan persaingan keras menghadapi MEA, potensi apa yang bisa, perlu dan ingin kita kembangkan yang nantinya menjadi andalan? (WAS/Riza Ibrahim)