Sudira vs Suparya

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia,

kolumnis Pikiran Rakyat

SUDIRA merasa malu bukan kepalang. Wajahnya murung, hari-harinya dijalani dengan kesendirian. Kalau tidak untuk urusan penting, ia memilih tidak keluar rumah dan menghindari kontak dengan orang lain. Apa sebabnya? Sudira merasa malu karena dilaporkan kepada Ketua RT oleh Suparya, yang tidak lain adalah tetanggnya. Sudira didakwa telah merusak rumah Suparya, karena buah limus yang ditanam di halamannya jatuh tertiup angin kencang saat hujan dan menimpa genting rumah Suparya. Genting kamar mandi Suparya pecah berantakan, dan air hujan menerobos masuk.

Selain meminta Sudira dan Suparya berdamai, ketua RT memerintahkan agar dahan limus yang menjorok ke rumah Suparya dipotong, dan Sudira harus bertanggung jawab bila ada buah limus yang jatuh menimpa rumah Suparya. Putusan RT tidak memuaskan Suparya, dan ia pun “naik banding” dengan melaporkan kasus ini ke ketua Rukun Kampung (RK). Setelah bermusyawarah, ketua RK memutuskan agar pohon limus milik Sudira ditebang untuk mencegah terulangnya cekcok, namun keputusan ini belum meredakan ketegangan dua keluarga yang hidup bertetangga tersebut. Alih-alih mereda, istri Suparya melemparkan buah limus yang menimpa gentingnya ke kaca rumah Sudira. Kaca rumah Sudira pun pecah.

Tidak terima atas tindakan istri Suparya, Sudira pun balik melaporkan istri Suparya ke polisi. Tak jauh beda dengan putusan sebelumnya, polisi pun meminta keduanya berdamai. Bukannya meredakan ketegangan, tindakan polisi dirasa melecehkan Sudira karena harga kaca rumah dianggap tidak seberapa, maka ia pun melaporkan perlakuan istri Suparya ke pengadilan. Saat menunggu panggilan sidang pengadilan, kebingungan Sudira memuncak, selain mengetahui bahwa hakim yang akan memeriksa kasusnya adalah kakaknya istri Suparya, juga karena buah limus yang akan menjadi barang bukti sudah habis dibikin rujak dan dimakan bersama anak-anak Sudira dan Suparya.

Kejadian saling lapor antara Sudira dan Suparya yang hidup bertetangga dikisahkan dengan nada satir dalam cerita pendek “Buah Limus Murag ku Angin” karya Karna Yudibrata. Ketika dibaca ulang pada pertengahan Februari 2017, cerita pendek yang ditulis September 41 tahun silam tersebut masih terasa aktual. Bukan hanya karena kasus saling lapor terkait penodaan agama dan Pancasila yang kini sedang memanas, namun lebih karena kejelian pengarang dalam mengangkat nilai-nilai yang menjadi habitus demokrasi yang kini terasa kian langka.

Kesatu, rasa malu berusuan dengan “institusi hukum” menjadi nilai dasar tumbuhnya tertib sosial. Sikap “keukeuh” dalam menempuh jalur hukum hanya muncul karena tindakan tidak adil yang kasat mata dan mempermalukan dirinya. Sikap ini seakan mengukuhkan kearifan lawas bahwa kedamaian akan muncul bila keadilan ditegakkan lebih dahulu.

Kedua, gagasan negara sebagai pemutus akhir bila dua kepentingan warga bertabrakan tergambar jelas dalam cerpen tersebut. Semua level “pemerintahan” dipercaya sebagai pembuat solusi yang bijak. Dalam kesederhanaan struktur sosial politik masyarakatnya, ketua RT dan RK saat itu telah mengambil solusi. Ini menegaskan bahwa, hakikat kepemimpinan politis bersifat fungsional. Ia dicipta, dan kemudian dihormati atau diacuhkan, bergantung kepada kesanggupannya memberi jawaban fungsional atas persoalan warga. Hanya apabila kehadirannya dirasa memberi fungsi maka keberadaan lembaga politis akan diapresiasi warga.

Berharap menemukan kembali relasi sosial politik seperti yang dialami Sudira versus Suparya mungkin memerlukan perjalanan jauh ke kampung-kampung di balik gunung, meski usaha ini pun bukan jaminan. Keterpencilan geografis belum menjamin pranata sosial kemasyarakatan tetap terjaga. Selama daerah itu dapat dijangkau motor atau ditembus hand phone, arus perubahan sosial akan menggerus tata titi duduga peryoga (nilai-nilai dan praktik yang menjadi pedoman hidup) masyarakatnya.

Masa lalu adalah tempat yang paling jauh karena tak mungkin dapat dikunjungi kembali. Memutar balik jarum jam kehidupan pun adalah hal yang absurd. Namun legacy yang dibawa cerpen yang ditulis 41 tahun silam tersebut adalah pentingnya memelihara loyalitas politis dan menjaga marwah lembaga-lembaga politis.

Hubungan warga dan negara (termasuk lembaga-lembaga yang mewakili negara) bersifat mutatis muntadis. Corak hubungan ini akan mengikuti perubahan yang terjadi pada elemen-elemen yang membentuknya, termasuk konteks sosial politik yang menjadi landscape kehidupan sosial masyarakatnya. Namun diantara unsur-unsurnya yang berubah, terdapat unsur dasar yang tidak boleh lepas, yakni loyalitas politis di sisi warga dan marwah lembaga-lembaga politis pada sisi penguasa.

Marwah RT dan RK di zaman Sudira bisa tegak karena keberadaannya dipercaya dapat memberi solusi. Karena menyadari fungsinya, mereka rela membayar iuran yang ditarik RT dan RK untuk kepentingan bersama. Kesadaran untuk loyal pada aparat pemerintah dan komitmen untuk menjaga marwah kekuasaan menjadi habitus tumbuhnya nilai-nilai dan praktik demokrasi yang sehat.

Dari cerpen ini pula kita belajar, kredibilitas lembaga akan tumbuh seiring pemenuhan fungsinya. Rasa hormat terhadap penguasa akan datang bila warga percaya bahwa kehadirannya dapat memelihara kehormatan dan menunaikan fungsi lembaganya. Kredibilitas pejabat dan marwah lembaga adalah kondisi yang menjadi syarat (conditio sine qua non) tumbuhnya loyalitas politis. Karena itu, resep untuk mendulang loyalitas warga (bahkan kesetiaan politis warga) amat sederhana, perlihatkan kemampuan unjuk kerja dan jaga marwah lembaga, dengan begitu rasa hormat dan kesetiaan akan datang.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2017/01/31/sudira-vs-suparya-392118