Sumpah di Pulau Nipah

“Nipah pulau terluar. Pertahankan sampai Titik Darah Penghabisan”. Demikian prasasti yang tertulis dan ditandatangani langsung oleh Presiden Megawati pada tahun 2004 yang lalu. Prasasti ini disimpan di bibir pantai pulau Nipah yang berhadapan langsung dengan Selat Singapura.

 Pulau Nipah merupakan salah satu dari 12 pulau terdepan Indonesia yang berhadapan langsung dengan negara Singapura. Pulau ini sangat strategis karena  terletak di jalur pelayaran internasional.  Kapal laut yang akan berlabuh menuju pelabuhan laut  Jurong Port Singapura pasti lewat  sekitar pulau Nipah. Bibir pantai Pulau Nipah dengan Singapura hanya berjarak 10 km saja. Sangat dekat. Kendati pulau ini tak berpenghuni, namun  pulau ini memiliki nilai politis dan ekonomis yang sangat tinggi. Secara politis, pulau ini menjadi penyangga terdepan dalam menjaga kedaulatan NKRI. Sejumlah satuan Angkatan Laut dan TNI  hadir di sana untuk tetap siaga menjaga kedaulatan bangsa. Sedangkan secara ekonomis, pulau Nipah merupakan pulau potensial sebagai kawasan ekonomis kelautan. Berbagai fasilitas pelabuhan tengah dibangun di sana. Nipah menjadi penopang sentra niaga, karena berhadapan langsung dengan pelayaran internasional.

Pada awal tahun 2000, pulau Nipah menjadi perhatian nasional. Pulau Nipah nyaris tenggelam akibat dari penambangan pasir. Ribuan meter kubik tanah Pulau Nipah dan pulau lainnya di  wilayah Batam Kepulauan Riau

Sumpah Nipah diekspor secara legal ataupun ilegal.  Ekspor pasir ini sangat masip untuk memenuhi pasokan urugan bagi reklamasi daratan pulau Singapura. Akibatnya secara kasat mata gampang dilihat. Pulau Nipah semakin mengecil akibat penambangan pasir dan nyaris tenggelam karena abrasi laut. Sedangkan daratan kepulauan Singapura semakin meluas karena program reklamasi pantainya yang agresif.

Langkah penyelamatan pulau Nipah ini mulai dilakukan pada tahun 2004. Ketika itu, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri pembangunan Pulau Nipah mulai dilakukan. Hal ini ditandai dengan penanaman Cemara laut dan peneraan telapak kaki Presiden sebagai simbol diawalinya penataan dan reklamasi pulau Nipah.

Sumpah di Nipah

Dalam suasana memperingati  Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021 ini, fenomena yang terjadi di pulau Nipah dan pulau  terluar lainnya, patut dikaji dan masih relevan dengan kondisi kekinian.

Pertama, semangat sumpah pemuda yang diikrarkan 28 Oktober 1928 lalu, patut terus digelorakan. Putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, Tanahair Indonesia, berbangsa satu  bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Komitmen untuk Tanahair satu, berbangsa satu, dan berbahasa masih sangat relevan digaungkan. Termasuk di pulau Nipah. Bila tidak ada penanganan seksama, fenomena pulau Nipah sebagai pulau terluar bisa tergerus dan hilang sebagai garis pantai. Bila pulau terluar tergerus, titik acuan medialine akan hilang. Batas negara menjadi hilang. Indonesia akan kehilangan sebagian Tanahair.

Kedua, secara geografis pulau  pulau terluar memiliki nilai strategis. Dalam beberapa kasus, ada sejumlah pulau yang masih menjadi incaran eksportir legal ataupun ilegal yang menjual tanah urugan untuk memasok kebutuhan reklamasi negara tertentu. Ini berbahaya, pulau terluar akan tenggelam.  

Ketiga, di beberapa pulau terluar banyak juga yang berpenghuni. Penduduk lokal yang umumnya nelayan tradisional adalah yang sebenarnya garda terdepan bangsa. Mereka berhadapan langsung dengan komunitas luar. Oleh sebab itu penguatan dan pembinaan mental kewarganegaraan menjadi semakin dominan. Mereka butuh pembinaan dan dan penguatan bukan hanya di bidang pendidikan dan keaehatan saja, namun perlu pembinaan dalam semua aspek pembangunan bangsa, termsuk dalam dimensi politik dan pertahanan negara.

Orang Suku laut

Secara geografis, ada 12 pulau terluar di sekitar Selat Singapura, yang berhadapan langsung dengan Singapura dan Malaysia. Gugus pulau kecil ini  dihuni oleh  warga lokal yang umumnya nelayan tradisional dan masyarakat adat melayu. Salah satu masyarakat adat yaitu kelompok masyarakat tradisional Melayu. Mereka tersebar di gugus pulau dan pesisir  kepulauan Riau.  Chou (2003) menyebutnya sebagai Orang  suku laut atau sea people. Saat ini orang Suku Laut bermata pencaharian sebagai nelayan tradisisional. Mereka ada yang memiliki pola hidup menetap di pinggiran pantai, semi menetap, dan ada juga yang masih nomaden. Mereka ada yang masih tinggal di sampan kajang yang berlayar dalam kelompok kecil dan berpindah pindah tempat. Mereka nelayan tradisional yang sehari harinya melaut. Orang suku laut memberikan konstribusi nyata bagi perlindungan keanekaragaman hayati. Mereka penjaga keseimbangan ekosistem alam melalui  pengetahuan tradisional yang telah mereka wariskan secara turun menurun (Ariando, 2019). Tetapi mereka sering tergerus dengan persaingan global persaingan hidup dengan masyarakat darat. Oleh sebab itu, perlu ada kebijakan menyeluruh terhadap eksistensi masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat lokal yang ada di daratan. Saatnya pembinaan masyarakat lokal dilakukan melalui pendekatan kultural. Termasuk pembelajaran generasi mudanya dengan mengusung etnopedagogi.

Dalam dimensi pendidikan,  etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom), sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Yaitu bagaimana praktik pendidikan berbasis kearifan lokal diterapkan.  Hal ini antara lain mencakup berbagai ranah kehidupan yang bersumber dari nilai kultural dan etnis setempat.

Semangat  kearifan lokal itulah yang patut terus didorong. Kartawinata (2011) menyebut kearifan lokal dikenal dengan tiga ciri. Yaitu pengetahuan setempat (local knowledge), kecerdasan setempat (local genuine), dan identitas kebudayaan (local cultural identity).

Muatan Lokal

Secara umum, layanan pendidikan bagi masyakat  Batam Kepulauan Riau cukup baik.   Fasilitas pendidikan dasar sudah memadai. Salah satunya  SDN 011 Belakang Padang yang terletak di Kelurahan Pecung, pulau Pecung kecamatan Belakang Padang Batam. SDN 011 ini sudah terakreditasi B. Artinya jumlah guru dan sarana prasarana pendidikan cukup memadai. Kurikulum 2013 sudah dilaksanakan dengan baik. Muatan lokal yang diterapkan kepada generasi muda antara lain pengetahuan dan keterampilan kebaharian. Dari mulai pelestarian lingkungan, pengelolaan perikanan, dan kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan alam dan sosial budaya.

Para guru secara periodik mengajak anak anak untuk melakukan pengamatan terhadap fenomena lingkungan sekitar. Kemudian dibahas lebih lanjut dalam pembelajaran di kelas.

Hang Nadim

Al kisah, pusat Kerajaan Malaka pada tahun 1509 mengalami kejatuhan akibat kalah perang dengan tentara Portugis yang berambisi menaklukan ekspansi dagangnya di Asia Tenggara. Kerajaan Malaka yang memiliki banyak kepulauan membuat pertahanan baru di kota Kara. Saat ini wilayah tersebut di pulau Bintan. Nama Hang Nadim pada saat itu cukup dikenal sebagai salah seorang prajurit tangguh kepercayaan Sultan Mahmud Shah. Oleh karena keberhasilan dan keberanian dalam mempimpin pasukan, Kerajaan Malaka menyematkan gelar Laksamana bagi Hang Nadim. Walau Hang Nadim gagal menghalau Portugis di Malaka, namun benih perjuangan yang disemainya terus tumbuh dan membara di kalangan masyarakat Riau.

Hang Nadim adalah idola. Ia simbol perlawanan kepada bangsa penjajah. Sejarah terus bergulir sesuai jarum jam. Seirama dengan dinamika zaman, elan semangat Hang Nadim tetap membara.

Itulah gejolak  asa yang berhembus di pulau Nipah.     Ada sumpah di pulau Nipah. Tanah air harga   mati.Tak boleh sejengkalpun direbut orang (Dinn Wahyudin)