Teror Vaksin Palsu

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

VAKSIN palsu meneror warga. Tak tanggung-tanggung, yang diserang adalah buah hati keluarga, tumpuan kasih sayang, sekaligus tunas masa depan bangsa. Ini adalah kejahatan serius yang dilakukan kaum terdidik, yang bukan hanya mengancam ketenangan keluarga, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi kesehatan.

Pasien dan keluarga pasien pengguna vaksin palsu adalah korban. Mereka harus dilindungi sekurang-kurangnya atas dua hal. Kesatu, dampak pemakaian vaksin palsu (hilangnya imunitas yang semestinya terbentuk lewat vaksin, dan akibat asupan vaksin yang dipalsukan). Kedua, hilangnya ketenangan dan rasa aman, yang berubah menjadi kecemasan dan perasaan terancam terkena wabah, atau risiko terkena penyakit akibat tak terbentuknya kekebalan tubuh.

Efektivitas komunikasi dalam hubungan pasien dengan dokter, paramedis, dan apotek misalnya, tidak selamanya dilandasi saling pengertian. Hanya kepercayaan terhadap institusi kesehatanlah (khususnya dokter dan paramedis) yang membuat pasien dan keluarganya mau melakukan sesuatu yang –terkadang– tidak dipahaminya.

Dalam konsultasi dengan dokter misalnya, kerap ditandai ketidakpahaman menyangkut istilah teknis yang digunakan. Seringkali kita mengikuti anjuran dokter lebih karena kepercayaan terhadap tanggung jawab dokter dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Demikian pula dalam hal harga obat, keluarga pasien sama sekali tidak punya pilihan. Selain obatnya sudah ditentukan dokter, harganya pun sudah dipatok apotek. Jenis obat dan harganya adalah relasi gelap yang tak pernah terungkap. Sekali lagi, hanya karena percaya dan keinginan untuk sembuh yang membuat keluarga pasien membelinya.

Ironisnya “gagal paham” pun sering terjadi tatkala kita membeli obat yang dijual bebas. Sejak lama saya selalu menjadi bodoh ketika membaca komposisi obat. Bagaimana tidak, ketika saya membaca komposisi obat generik yang biasa saya beli di warung tak ada satu kata pun yang saya pahami artinya. Menurut informasi yang tertera di dalam kemasan obat, tiap tablet mengandung Paracetamol, Phenylpropanolamine HCI, dan Chlorpheniramine Maleate. Hanya paracetamol yang bisa ditebak fungsinya sebagai penurun panas, yang lainnya “lebeng” (tak dapat ditebak apa arti dan manfaatnya).

Ini hal ironis yang berulang saya lakukan. Saya minum obat itu ketika terserang flu. Anehnya lagi, saya meminum obat itu tanpa keraguan.

Kepercayaan pun berlipat ketika membaca indikasinya. Obat yang saya minum akan meredakan gejala flu seperti sakit kepala, demam, bersin-bersin, dan hidung tersumbat. Dengan tiga sampai empat kali minum, saya percaya gejala flu akan berkurang, dan bila berlanjut hubungi dokter.

Namun, saya kembali dibuat bodoh ketika hendak membaca kotak peringatan di dalam kemasan obat yang dijual bebas tersebut. Obat tersebut tidak boleh diberikan pada penderita yang peka terhadap obat simpatomimetik lain (misal efedrin, pseudoefedrin, fenilefrin). Hah, apaan tuh?

Saya tidak habis pikir, mengapa produsen obat mencantumkan istilah-istilah teknis yang hanya dipahami dokter, paramedis, atau ahli farmasi. Padahal layaknya barang yang dijual bebas, komposisi, indikasi, dan efek samping obat tersebut harus dapat diketahui pengguna secara mudah, semudah orang mengenali hal-hal tersebut pada jajanan pasar.

Saya tak yakin, orang paling kritis sekalipun membuka kamus, atau googling dulu, sebelum membeli obat yang dijual bebas tersebut. Saya pun tak yakin, orang-orang paling hati-hati sekalipun berkonsultasi terlebih dahulu dengan paramedis sebelum mengkonsumsi obat yang bisa dibeli di jongko di pinggir jalan, yang tidak diketahui pasti komposisinya tersebut.

Menurut hemat saya, informasi yang tertera di dalam kemasan obat yang dijual bebas tersebut gagal menjadi media informasi bagi pengguna, sebab apa yang dimaksudkan oleh produsen obat tidak dipahami oleh konsumennya. Karena itu, bila fungsinya sebagai media komunikasi kesehatan, maka teknik penyajian informasi dalam kemasan obat yang dijual bebas harus diubah.

Lalu, bagaimana bila seseorang ingin tahu komposisi obat yang direkomendasikan dokter? Hanya ada satu jalan, bertanya ke dokter yang menganjurkan pemakaian obat tersebut, meskipun tidak ada jaminan dokter menjelaskannya dalam cara-cara yang dipahami pasien. Selain karena waktu konsultasi yang pendek, juga karena tidak banyak dokter menjelaskan penyakit atau komposisi obat dalam sudut pandang pasien.

Bagi kebanyakan pasien, dengar dan taat (sami’na wa atona) atas apa yang dikatakan dokter akan dipandang sebagai wujud kesalehan seorang pasien dihadapan dokternya. Kita membeli dan meminum obat yang dianjurkan dokter lebih karena percaya kepada dokter yang menganjurkannya. Lebih dari itu, hanya karena kita percaya kepada profesionalitas dokter, harapan untuk sembuh tumbuh. Karena itu, dalam konteks hubungan dokter dan kesembuhan pasien kepercayaan adalah obat yang tak boleh dikurangi dosisnya.

Merebaknya kasus vaksin palsu bukan hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga meruntuhkan nilai dasar yang menopang profesi mereka yang terlibat dalam urusan kesehatan, sekaligus meruntuhkan kehormatan institusi kesehatan itu sendiri.

Bila terhadap obat yang dijual bebas saja –yang komposisinya tidak dipahami dan dapat dibeli di mana saja– publik menaruh kepercayaan, apalagi terhadap vaksin yang hanya dibeli dengan resep dokter, dan hanya didapatkan di apotek atau toko obat. Meragukan keaslian vaksin yang dianjurkan dokter, jangan-jangan malah dianggap melecehkan profesi dokter.

Analoginya seperti seseorang belanja barang. Ketika seseorang membeli barang di mal atau toko tidak perlu meragukan legalitas barang yang dibeli. Namun ketika membelinya di pasar loak, meragukan legalitas barang adalah hal yang perlu. Bisa jadi barang yang dijual di pasar loak adalah barang hasil curian, dan karena itu, pembelinya dapat dijerat dengan pasal memiliki barang hasil kejahatan (penadah). Namun bila barang yang dijual di toko atau mal ilegal, maka yang dijerat hukum adalah orang yang bertanggung jawab di toko atau mal tersebut.

Saya tidak ingin mengatakan siapa yang harus bertanggung jawab atas merebaknya kasus vaksin palsu dan terciptanya celah yang memungkinkan tangan-tangan kotor bekerja. Semua orang tahu, bisnis pengadaan dan distribusi vaksin bukan usaha terbuka layaknya buka warung makan. Karena itu, bila masih ada otoritas yang semestinya mengambil tanggung jawab namun melepaskannya, boleh jadi itu karena imunitas moralnya tidak tumbuh akibat virus cari selamat dan kuman yang mendorong cari untung sendiri yang disuntikkan ke dalam pikiran dan hatinya telah over dosis.***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/07/18/teror-vaksin-palsu-375092

photo: http://img.bisnis.com/posts/2016/06/25/561237/vaksin-ilustrasi.jpg