Toxic Masculinity Itu Apa?

Bandung, UPI

“Bahwa yang disebut Toxic ini merupakan keyakinan, sikap, praktik dan norma tradisional yang sempit dalam membentuk kehidupan yang merujuk kepada tiga tanda utama yaitu kekuasaan, kontrol dan kekerasan,” demikian ungkap aktifis serta peneliti yang aktif dalam kajian gender, maskulinitas dan kekerasan berbasis gender di Indonesia Nur Hasyim, M.A., dalam webinar bertajuk “Be A Man: Kenali Gejala Toxic Masculinity di Lingkungan Masyarakat”.

Webinar ini merupakan penutup dari rangkaian kegiatan Online Road-Show yang diselenggarkan Pusat Kajian Pendampingan Krisis, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jumat (30/4/2020).

Nur Hasyim, yang juga Dosen Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, menjelaskan lebih lanjut bahwa terdapat beberapa indikasi yang dapat dikatakan sebagai toxic masculitnity yaitu meyakini peran gender secara kaku, kepemimpinan ditentukan oleh jenis kelamin bukan talenta, menunjukkan kekuatan yang aktif dan agresif, laki-laki harus menekan atau tidak memperlihatkan emosinya (sedih, takut, khawatir), pantang mencari pertolongan, merasa memiliki hak atas layanan seksual dari perempuan, mengontrol dan menguasai orang lain misalnya laki-laki yang lebih lemah atau kelompok marginal, dan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

Dijelaskannya,”Toxic masculinity ini menjadi langgeng dan mainstream di masyarakat, karena normalisasi atas cara laki-laki menyelesaikan masalah melalui kekerasan dan kekuasaan.”

Banyaknya iklan yang mempromosikan aksi dari laki-laki yang melakukan kekerasan, ujarnya lagi, diberikan nilai dan dirayakan sebagai hal yang menguatkan perilaku tersebut sehingga menjadi semakin lestari. Toxic masculinity ini tidak akan hilang jika kita tidak melakukan transformasi pada institusi sosial yang memproduksi toxic masculinity.

Hadir dalam kesempatan ini sebagai moderator Fitri Suciati Wirawan dari Sekolah Pascasarjana Prodi Psikologi Pendidikan UPI. Dikatakannya,”Selain kita perlu mengenal toxic masculinity, sebagai masyarakat kita bukan hanya perlu menyadari toxic masculinity namun juga kita perlu bersama-sama menanggulangi dan memberantas toxic masculinity ini bersama-sama agar tidak menjadi lestari di masyarakat”. (dodiangga)