Tren Gaya Hidup Korea: Menyebarkan “Virus” Negeri Ginseng

1-2MENGAGUMI seseorang bukan hal yang aneh dalam panggung kehidupan. Di dalam panggung tersebut setiap wanita pasti pernah mengangumi seseorang bahkan lebih. Namanya Syania, tapi lebih senang dipanggil dengan Xiania. Alasannya, agar namanya lebih mirip dengan idolanya Xiah Junsu. Ia menceritakan bahwa kekaguman terhadap idola adalah bagaikan dia menyukai kue cokelat. Banyak orang yang sama-sama menyukainya, tapi ada pula orang yang sangat membenci kue cokelat tersebut.

Ia memperlihatkan bagaimana kekaguman itu muncul dalam dirinya. Sebuah tayangan dari layar ponselnya memperlihatkan bagaimana sekumpulan pria menari dan bernyanyi mengikuti alunan lagu diiringi riuh penonton yang memadati sebuah ruangan besar, gelap, dan hanya menyisakan cahaya merah kecil seperti kunang. Matanya seolah ikut berbicara mengenang bagaimana setitik keringat saat itu tak penting untuknya, yang terpenting adalah bagaimana idolanya melepas keringat tampil di hadapannya.

Syania mungkin merupakan sebagian kecil dari orang yang terkena “virus” Korea yang melanda Indonesia belakangan ini. Tak ayal banyak generasi muda kita yang ikut hanyut terbawa arus pergerakan gelombang Korea. Mulai dari mengikuti tren fesyen, koleksi kosmetik, mengikuti episode demi episode drama serial, bahkan sampai perilaku hidup orang Korea itu sendiri.

“Suka sudah dari zaman sekolah dasar, dulu karena kakak suka drama Korea. Ya, yang membuat menarik itu lagunya easy listening, koreo dance keren, dan orang-orangnya ganteng dan cantik,” begitulah katanya ketika disinggung masalah mengapa menyenangi hiburan pop Korea atau biasa disebut dengan Kpop.

Orang menyebutnya Kpopers, sebutan untuk menunjukkan kepada orang-orang yang “terinfeksi virus” dunia hiburan pop Korea. Bagi sebagian mereka, rupiah merupakan pengorbanan. Pengorbanan akan memuaskan hasrat cinta yang ditunjukkan kepada sang idola. Bukan seribu atau dua ribu yang kadang mereka keluarkan, namun ratusan sampai jutaan mungkin sudah mereka korbankan. Membeli pernak-pernik, album, bahkan mendatangi konser idola seperti syarat tak tertulis dalam menyatakan kecintaan terhadap sang idola.

“Kalau mereka konser pasti selalu datang, setiap mengeluarkan album pun langsung ikut pre-order. Kalau bicara biaya yang dikeluarkan, ya susah disebutkan. Hitungannya perkonser minimal itu saju juta, sedangkan harga album biasanya seratus sampai sejuta malah,” ucap perempuan yang menyatakan dirinya seorang Cassiopeia atau penggemar grup idol Korea DBSK itu.

Dalam melancarkan aksi kecintaannya itu, mereka sering datang bersekutu. Menyatukan suara yang padu mengatasnamakan idola yang mereka pilih. Contohnya saja Sone (dibaca Sowon) panggilan resmi bagi sekumpulan penggemar idol grup wanita SNSD. Mereka menyebutnya fanbase atau fandom, di mana sebagai wadah atau alat mengekspresikan identitas dan jati diri mereka sebagai penggemar suatu idola.

“Saya masuk jadi anggota Cassiopeia Bandung, penggemar grup DBSK,” ujar perempuan yang hingga kini masih aktif mengikuti les bahasa Korea ini menyatakan identitas dirinya sebagai seorang Kpoper. “Saya juga tergabung menjadi anggota Homey Korean Language Club Bandung, tempat les saya,” lanjutnya.1-1

Bagi mereka “penyembahan” terhadap idola seolah seperti napas yang terus dibutuhkan. Sehari tanpanya bagaikan rumah tak beratap. Berita mengenai idola adalah konsumsi pil-pil pelepas rindu dari realita hidup yang kian membosankan, sedangkan musik menjadi air kehidupan yang wajib dalam membasahi setiap inci kerongkongan yang kehausan.

Invasi budaya Korea seolah sukses menancapkan cakar-cakarnya di bumi pertiwi bahkan sampai belahan bumi lainnya. Kepopuleran idola Korea menjadikan cerminan akan kemajuan bangsa timur tersebut memperkenalkan kebangkitan negeri dengan sebutan negeri ginseng tersebut. Bukan saja melalui hiburan maupun produk nyata semata, di bidang pendidikan dan bahasa rupanya menjadi salah satu kunci dalam memperkenalkan Korea yang sesungguhnya ke hadapan mata dunia.

Pembukaan jurusan baru yakni Pendidikan Bahasa Korea di Universitas Pendidikan Indonesia merupakan salah satunya. Jurusan yang belum menginjak usia tiga bulan ini hadir dalam mengikuti kemajuan arus globalisasi dalam mencetak lulusan yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan khususnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Korea.

“Mereka akan dibekali dengan pengetahuan mengenai bahasa dan budaya Korea, etos kerja bangsa Korea (semaulundong) serta keterampilan teknologi dan informasi,” ujar Lee Jeon Sun, dosen nativ pengajar mata kuliah menulis, membaca, berbicara, dan kosa kata Pendidikan Bahasa Korea UPI.

Bukti bahwa arus Korea yang sangat diminati dewasa ini adalah cerminan bagi bangsa Indonesia yang gembor ingin memajukan budaya dan pariwisata negeri ke kancah internasional. Bukan bicara mengenai bagaimana Indonesia di mata dunia, melainkan bagaimana kita sebagai generasi penerus bangsa mempunyai dasar yang kuat dalam mengibarkan nama Indonesia ke seluruh dunia. (Rizki Khoeri, MahasiswaIlmu Komunikasi, FPIPS UPI)