Waktu Imsak Ditetapkan 10 Menit Sebelum Subuh

Jakarta, UPI

Kementerian  Agama menggunakan waktu imsak sepuluh menit sebelum masuk waktu subuh. Penggunaan waktu imsak ini disepakati dalam Rapat Tim Hisab dan Rukyat yang digelar Kementerian Agama di Jakarta, Rabu (22/6/2016). Rapat ini diikuti oleh perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Al-Washliyah, Persatuan Umat Islam, Universitas Islam Negeri, Bosscha ITB, Mahkamah Agung, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geosfisika, Badan Informasi Geospasial, Planetarium Jakarta, serta Pakar Hisab Rukyat Perorangan.

Situs www.kemenag.go.id memberitakan, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Muhammad Thambrin mengatakan imsak secara bahasa mengandung beberapa arti seperti menahan atau batas waktu memulai puasa. Ulama sepakat  bahwa  batas waktu memulai puasa tepat pada momen terbitnya fajar shadiq (subuh).

Meski demikian, lanjut Thambrin, sebagian ulama berpandangan bahwa bila waktu subuh sudah dekat maka umat Islam yang akan berpuasa dilarang makan, karena waktunya sudah masuk wilayah cegahan, meski ada juga  ulama yang membolehkan makan di waktu syak.1

Menurut Thambrin, dalam sebuah hadis Nabi disebutkan; Dari Qatadah, dari Anas bahwa Nabiyullah Saw dan Zaid bin Tsabit bersantap sahur. Setelah rampung dari santap sahur mereka, Nabi saw. berdiri untuk salat, kemudian beliau salat. Kami bertanya kepada Anas, ”berapa lama antara rampungnya mereka dari santap sahur dan masuknya mereka ke dalam salat?” Ia berkata: ”Kira-kira sepanjang seseorang membaca 50 ayat.”

Berkenaan dengan itu, peserta rapat Tim Hisab Rukyat sepakat untuk memahami  jarak waktu selesainya santap sahur Nabi saw. hingga masuk salat (bacaan 50 ayat), dengan durasi waktu 10 menit yang kemudian populer dengan sebutan Waktu Imsak.

Thambrin menegaskan,  Waktu Imsak di Indonesia ini tidak dimaksudkan mengubah waktu puasa dengan memajukannya dari batas yang telah ditentukan syariat, melainkan  sebagai ikhtiar melestarikan sunah sekaligus sebagai katup pengaman (tindakan hati-hati) agar kaum Muslimin tidak terperosok ke dalam batas larangan.

Ditambahkan Thambrin bahwa kesepakatan ini juga didasarkan pada pandangan tentang Ihtiyathi (kehati-hatian) dan Mahzhuri (siaga). (Bimasislam/Mkd/WAS)