Adzan Versus Gonggongan

oleh

SUWATNO

Guru Besar Komunikasi Organisasi FPEB UPI,

Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI

Perkataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang membandingkan antara suara adzan dengan suara gonggongan anjing menuai polemik. Respon kritis bahkan protes disampaikan oleh berbagai kalangan, dari mulai MUI, politisi hingga tokoh masyarakat. Tidak hanya dari kelompok yang secara politik berseberangan, namun justru banyak dari tokoh-tokoh pro pemerintah. Artinya, tampaknya isu kali ini melampaui kotak-kotak fragmentasi politik.

Secara pribadi saya meyakini tidak ada niat dari Menag untuk melecehkan agamanya sendiri. Sangat jauh panggang dari api. Apabila perkataan tersebut dilaporkan ke pihak berwajib, sebagaimana rencana Roy Suryo yang hendak memidanakannya dengan Undang-Undang ITE atau pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, agaknya terlalu berlebihan. Akan tidak enak didengar seandainya muncul berita seorang Menteri Agama dituduh menista agama.

Sebagai pejabat publik, tidak hanya Menag, memang dituntut untuk menampilkan komunikasi publik yang patut dan elegan. Diksi yang digunakan juga harus hati-hati, agar tidak menciptakan kegaduhan yang menguras energi. Beliau seyogyanya dapat belajar dari pengalaman Menag sebelumnya, Fachrul Razi, yang kerap berbuat dan melontarkan pernyataan kontroversial, hingga berahir dengan reshuffle terhadap dirinya.

Gus Yaqut juga perlu mengingat bahwa sebelumnya ia sudah pernah membuat pernyataan kontroversial yang memanen protes. Jangan sampai prestasi yang dicapai sebagai pejabat publik tertutup oleh berita-berita trending yang sarat dengan emosi negatif dari publik. Apalagi, jabatan Menteri Agama idealnya memiliki kewibawaan dan dihormati oleh segenap warga bangsa ini yang mayoritas muslim.

Pembandingan suara adzan dengan suara gonggongan anjing, meski tidak berniat melecehkan, tetap merupakan komparasi yang tidak setara (apple to apple). Dalam teori semiotika, adzan itu memiliki petanda (signified) yakni konsep yang ada di pikiran pendengarnya tentang suara adzan. Petanda merupakan unsur mental dari suatu bahasa (Bertens, 2001).

Dalam suara adzan, ada makna yang difahami sangat bernilai bahkan suci bagi pendengarnya. Meski tidak semua muslim memahami dengan baik makna yang terkandung dalam kalimat-kalimat adzan, namun mereka semua mengerti bahwa suara itu adalah panggilan Tuhan dan berisi kata-kata kebaikan.

Jadi, petanda dari suara adzan itu sungguh sangat berbeda dengan petanda dari suara gonggongan anjing. Dari sisi citra bunyinya saja jauh berbeda, apalagi mentalitas dan makna yang difahami oleh pendengarnya. Disini, Menag tampaknya kurang berfikir jauh dan mendalam dalam membuat komparasi.

Bahkan, menurut saya, seandainya pun komparasinya benar secara ilmiah namun tidak patut secara etis-sosial, sebuah perkataan pejabat publik tetap dirasa kurang bijak. Apalagi jika komparasinya keliru dan tidak etis.

Dimaafkan

Atas perkataan kontroversial tersebut, ada baiknya Menag meminta maaf secara terbuka kepada publik. Pernyataan tersebut memang sudah diklarifikasi oleh Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama (Kemenag) dengan narasi yang lebih elegan. Menurutnya, Menag sama sekali tidak membandingkan suara azan dengan suara anjing, melainkan hanya mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara.

Namun, alangkah lebih elok apabila Menag sendiri yang melakukan klarifikasi, sekaligus menghaturkan maaf kepada publik secara terbuka. Jangan sampai merepotkan stafnya untuk berpikir keras mencari cara untuk “menyelamatkan” nama baik atasannya. Pun hal ini menjadi pelajaran bagi pejabat publik lainnya, dari mulai Presiden, Menteri hingga para penyelenggara negara lainnya.

Kita kerap melihat kekeliruan yang dilakukan oleh seorang pejabat negara namun dibela habis oleh stafnya. Yang lebih parah, jika antara staf dan atasannya tidak sinkron. Kasus demikian pernah terjadi dan menjadi contoh yang kurang baik bagi masyarakat. Agar tampak lebih bertanggungjawab, segala bentuk kekeliruan pernyataan sebaiknya direvisi atau diklarifikasi sendiri oleh yang bersangkutan.

Meskipun demikian, sebaiknya pula publik memaafkan kekhilafan kata yang diperbuat oleh Menag. Kalaupun itu dianggap sebagai kesalahan, itu hanyalah kesalahan etis yang tidak perlu dibawa hingga ke ranah pidana. Nasehat dan kritik dari berbagai kalangan yang cukup tajam barangkali cukup menjadi peringatan yang sepadan.

Peristiwa ini sepatutnya menjadikan para pejabat negara lebih hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Apalagi warganet Indonesia memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap isu-isu agama. Mereka juga relatif sangat berani dan tidak segan melayangkan hujatan, bahkan kepada tokoh agama yang disegani sekalipun. Apalagi hanya kepada seorang pejabat publik atau politisi.

Memang, sebagai bangsa kita memiliki pekerjaan rumah untuk lebih meng-adab-kan perilaku para warganet di ruang-ruang sosial. Namun memperbaiki jutaan orang membutuhkan waktu yang lebih lama. Yang paling mungkin untuk diperbaiki dalam waktu singkat adalah perilaku etis para pejabat publiknya. Dengan menjadi teladan yang baik, diharapkan akan menginspirasi masyarakat untuk berperilaku lebih baik pula.