Akses Pendidikan Tanpa Kecuali

Bandung, UPI

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menerapkan pendidikan inklusif sebagai strategi untuk mencapai pendidikan untuk semua sehingga semua anak memiliki akses ke pendidikan tanpa kecuali.

Demikian ungkap Dosen Departemen Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (PKh FIP UPI) Juang Sunanto, Ph. D., saat memberikan materinya tentang Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia “Dari Segregasi untuk Inklusi” dalam International Conference of Special Education Needs (ICSEN) 2016, “Fostering Education For All and Inclusive Society, di Isola Resort, Kampus UPI Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Jumat (2/12).img_8271

Juang, Ph. D., yang juga Pengurus Pusat Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) menjelaskan,  agar semua anak memiliki akses ke pendidikan tanpa kecuali, maka pemerintah disarankan memberikan informasi tentang pendidikan inklusif untuk guru pendidikan khusus dan pendidikan umum, memperkenalkan pendidikan inklusif dan pendidikan khusus untuk calon guru di Lembaga Pelatihan Guru, dan manajemen pendidikan inklusif di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah tidak di bawah Pendidikan Khusus Direktorat, serta peraturan reviewing atau kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip pendidikan inklusif.

“Namun, untuk menjalankan saran tersebut, perlu kiranya kita mengatasi beberapa tantangan dalam menerapkan pendidikan inklusif di Indonesia. Tantangan tersebut diantaranya harus adanya pemahaman dan kesadaran pemangku kepentingan pendidikan tentang pendidikan inklusif, ada beberapa peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pendidikan inklusif, penanggung jawab pengelolaan pendidikan inklusif di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berada di bawah Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus, dan umumnya, guru berpikir mereka tidak kompeten untuk mengajar anak-anak penyandang cacat,” ungkapnya.

Lebih lanjut dikatakan, pendidikan Inklusif diimplementasikan untuk memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk semua anak (termasuk anak-anak cacat) untuk mendapatkan pendidikan yang layak berdasarkan kebutuhan mereka, membantu dalam mempercepat program wajib belajar, membantu meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah dengan berfokus pada penurunan repeater jumlah dan putus siswa, serta menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keragaman, non-diskriminatif, serta ramah dan bersahabat.

img_8212Menurut The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education, menyatakan bahwa pendidikan inklusif berkaitan dengan memberikan respon sesuai dengan spektrum yang luas dari kebutuhan dalam pengaturan pendidikan formal dan non formal belajar. Alih-alih menjadi tema marjinal tentang bagaimana beberapa peserta didik dapat diintegrasikan dalam pendidikan mainstream, pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang terlihat dalam bagaimana mengubah sistem pendidikan untuk menanggapi keragaman peserta didik. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan kedua guru dan peserta didik merasa nyaman dengan keragaman dan melihat itu sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, bukan masalah.

Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau lainnya kondisi mereka. Ini harus mencakup cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak-anak yang bekerja, anak-anak dari populasi terpencil atau nomaden, anak-anak dari linguistik, etnis atau budaya minoritas dan anak-anak dari daerah tertinggal atau terpinggirkan atau kelompok lain.

“Pendidikan untuk orang cacat disebut pendidikan khusus sementara pendidikan bagi orang-orang non-cacat disebut pendidikan umum. Oleh karena itu, Booth mengatakan, inklusi dipandang sebagai proses menangani dan menanggapi keragaman kebutuhan semua peserta didik melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi pengucilan dalam dan dari pendidikan. Sementara UNESCO menyatakan ini melibatkan perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan visi yang sama yang mencakup semua anak dari rentang usia yang tepat dan sebuah keyakinan bahwa itu adalah tanggung jawab sistem reguler untuk mendidik semua anak, ” ujarnya.img_8209

Sejarah mengatakan, bahwa sebelum kemerdekaan, sekolah khusus untuk anak-anak dengan kecacatan di Indonesia ini diprakarsai oleh Pemerintah Belanda, yaitu Special School for Visual Impairment atau Sekolah khusus untuk Tunanetra (1901), Special School for Developmental Disability (1901), dan Special School for Hearing Impairment atau Sekolah khusus untuk Gangguan Pendengaran (1930). Setelah kemerdekaan, pemerintah menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dengan menggunakan sistem terpisah, yaitu Special School for Visual Impairment atau Sekolah khusus untuk Tunanetra, Special School for Hearing Impairment atau Sekolah khusus untuk Gangguan Pendengaran, Special School for Developmental Disability, Special School for Motoric Disability, dan Special School for Social and Emotional Disturbance.

UU tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab IV, Pasal 5, menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk menerima pendidikan yang berkualitas baik. Warga dengan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial kekurangan berhak untuk menerima pendidikan khusus.

Dijelaskannya,”Berkaitan dengan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus, UU tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 32, meyatakan pendidikan khusus disediakan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kekurangan fisik, emosional, mental, dan sosial, dan juga bagi mereka yang memiliki kecerdasan dan terutama berbakat. Pendidikan layanan khusus disediakan bagi peserta didik di daerah terpencil dan daerah yang kurang berkembang, daerah terpencil, dan/atau peserta didik yang menjadi korban bencana alam, menderita kekurangan sosial, dan mereka yang secara ekonomi kurang beruntung.”

Adapun komitmen internasional untuk Pendidikan Inklusif tertuang dalam Convention on the Rights of the Child, 1989; World Declaration on Education for All; World Education Forum, The Dakar Framework for Action, 2000; The Salamanca Statement and Framework for Action On Special Needs Education, 1994; dan Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities, 1983.Integration School, 1970, Ministry of Education – Helen Keller International Inc; Inclusive Education, 1990, Ministry of Education – Government of Norway; National Convention, 2004,Bandung Declaration: Indonesia toward inclusive education; dan International Symposium, 2005, Bukit Tinggi Recommendation.

Rekomendasi Bukit Tinggi berbicara tentang Inklusi dan Penghapusan Hambatan Belajar, Partisipasi, dan Pengembangan. Menekankan pada kebutuhan pengembangan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara untuk memastikan bahwa semua anak memiliki kualitas yang lebih baik dari pendidikan dan pengasuhan. (dodiangga)