ARSITEKTUR DAN SEKSUALITAS (bagian 1)

M. Syaom Barliana

Esai ini sedikit berbeda, karena akan dimulai dengan sebuah puisi. Waktu itu, puisi ditulis atas permintaan panitia pameran Perempuan Arsitektur, yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Arsitektur, UPI, pada tahun 2019 lalu.

Perempuan dan Lekaki Arsitek(tur)

Meluas memandang jendela kaca
kotak kotak tanpa gurat jelaga
Bingkai bajanya membayang di langit
langit metal bergelombang
Di luar udara kental membara
Pesawat pesawat terbang mengangkang
pergi dan pulang

Serupa inikah?
Para lelaki adalah manusia pergi
meninggalkan akar dan segala hal yang lokal
dan perempuan adalah manusia pulang
kembali ke jati diri dan segala hal yang murni?
Pertanyaanku bersipongang
di antara tiang tiang dan lengkung ruang
membentur realitas yang sungsang

Lelaki arsitektur dan kota
adalah para pencakar langit yang bisu
berdiri pongah menengadah
menyangsikan semua kehadiranmu
menggusur segala hal yang uzur

Perempuan arsitektur dan kota
adalah rumah rumah serupa rahim ibu
memeluk dan menyambut dengan haru
dengan kelembutan yang biru
dan terkadang lugu

Perempuan berarsitektur
rebutlah takdirmu untuk menjadi pengatur
Penglipur bagi jiwa kota dan pohonan yang gugur
Kreatur bagi habitat kota, moda, dan kultur
sebab arsitektur bukan hanya fasad dengan gincu

dan pupur

Dubai,  2019

Puisi itu mungkin  cukup relevan dengan bahasan kali ini, tetapi meminjam kredo “pengarang sudah mati” dari Roland Barthes, maka esai ini tidak dalam posisi untuk menginterpretasikannya. Silakan para pembaca secara bebas menafsirkan puisi itu, mau ada ataupun tidak ada kaitannya dengan arsitektur dan seksualitas.

Relasi arsitektur dan seksualitas, setidaknya dapat ditelaah dari tiga sudut pandang. Pertama, menyangkut hubungan ideologi, kuasa, dan politik tubuh dengan arsitektur, serta relasi yang menyertainya. Kedua, hubungan bentuk dan ruang arsitektural dengan seksualitas dan gender. Ketiga, relasi arsitektur, Arsitek, dan gender. Untuk maksud itu, tulisan ini akan terdiri atas tiga bagian.

Tentang hal pertama, seksualitas kerapkali dinisbatkan pada tubuh perempuan. Lalu, tubuh perempuan sering dianalogikan sebagai tubuh bumi (alam, lingkungan). Demikianlah, tanah air disebut sebagai ibu pertiwi. Pada sejumlah tempat, pada kebudayaan agraris,  reproduksi perempuan disimbolkan sebagai dewi kesuburan alam. Ricklefs dkk (2010),  menyebutkan, ada dua perhatian penting dalam kebudayaan primordial di Asia Tenggara yakni kesuburan dan perlindungan dari bahaya. Kesuburan selalu diidentikkan dengan pemujaan terhadap perempuan. Ricklefs memberi dua contoh komunitas masyarakat seperti etnis Bali dan Thai yang memercayai dewi padi sangat berhubungan dengan panen berlimpah.

Pada masyarakat Sunda, dikenal “Indung Peuting” (ibu Malam). Indung Peuting memang berkaitan dengan penamaan waktu, yaitu dimulai pukul 23.00 WIB malam, namun juga berkaitan dengan alam. Pada saat  Indung Peuting, bulan yang menerangi pada malam hari diartikan sebagai Ibu yang mengayomi bumi ketika cahaya gelap.

Pada asal kata  Kota Bandung, secara teknik geologik, berasal dari kata “bendung” atau “bendungan”, yang terbentuk dari proses terbendungnya Sungai Citarum oleh Lava dari Gunung Tangkuban Perahu. Di sisi lain, konon asal nama Kota Bandung berasal dari Filosofi Sunda, yakni, “Nga-Bandung-an Banda Indung” atau menyaksikan kekayaan ibu (bumi).  Dari bumi, semua dilahirkan ke alam hidup sebagai banda. Segala sesuatu yang berada di alam adalah Banda Indung, yaitu bumi, air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia dan segala isi perut bumi. Langit yang berada di luar atmosfer adalah tempat yang menyaksikan, Nu Nga-Bandung-an, yaitu Tuhan  yang berkuasa di langit tanpa batas dan seluruh alam semesta termasuk Bumi.

Berdasarkan telaah itu, pada masyarakat tradisional dan agraris, metafora seksualitas perempuan dan tubuh bumi, secara konseptual tampaknya berada pada relasi yang baik-baik saja. Feminitas perempuan tidak dianggap sebagai kelemahan, tetapi kekuatan, kesuburan, dan cahaya yang dipuja. Perempuan diperlakukan sebagai subjek bukan objek.

Namun demikian, pada prakteknya, budaya patriarki lebih dominan untuk mengkonstruksi peran perempuan. Asal tubuh seksualitas  laki-laki yang berurat dan berotot dianggap sebagai kekuatan dominan, dibandingkan dengan kelembutan dan kehalusan perempuan yang kemudian dianggap kelemahan. Asumsi maskulinitas ini menjadi bias gender, yang menghantui hampir semua bidang kehidupan. Lelaki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek belaka.

Lalu datanglah kemudian revolusi industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta modernitas, yang bersekutu dengan kapitalisme dan konsumerisme, dan semakin memperkokoh bias gender itu. Sebagai objek, perempuan bahkan dianggap tidak memiliki kontrol atas tubuh sendiri. Menurut Shiva (2005), revolusi ilmiah telah menggulung  suatu tradisi pengetahuan dengan bungkusan mitos dan religi, yang memandang alam dan perempuan sebagai suatu sumber keseimbangan hukum alam. Revolusi industri serta kemajuan pengetahuan dan teknologi, justru melahirkan monster dan teknik-teknik patriarki terhadap alam-perempuan.

Beberapa pandangan ini (Roach, 2009; Rahayu, 2000; Suyono, 2000; Saptandari, 2013), menafsirkan pandangan Michael Foucault (1980), seorang filsuf pasca-strukturalis, yang menyatakan hubungan tubuh, seksualitas, modernitas, dan kuasa dalam kultur patriarkis itu. Bahwa tubuh dikuasai oleh modernitas melalui kekuasaan bio-medis, ketika tubuh perempuan diamati dan dikendalikan sedemikian rupa dengan ketat sebagi suatu sarana produksi.  Tubuh perempuan diperlakukan sebagai fetihisme, melalui  penetrasi regulasi dan wacana yang berpusat pada tubuh.  Akibatnya, perempuan menjadi polisi bagi tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan diawasi sedemikian rupa, semata–mata untuk memenuhi standar kriteria wacana yang beredar di masyarakat. Seksualitas, dengan demikian,  bukanlah realitas alamiah melainkan produk sistem wacana dan praktik yang membentuk bagian-bagian pengawasan dan kontrol individu yang semakin intensif.

Foucault juga menunjukkan hubungan antara seksualitas dan kekuasaan. Intervensi kekuasaan ke dalam seksualitas terjadi melalui disiplin tubuh dan ilmu tubuh, dan melalui politik populasi yang meregulasi kelahiran. Kekuasaan mulai mengadministrasi tubuh dan mengatur kehidupan privat orang. Dalam pemerintahan Orde Baru misalnya, atas nama dan dengan bungkus Keluarga Berencana, kontrol terhadap rahim perempuan diperketat.  Berkaitan dengan pengetatan populasi penduduk, perempuan dipaksa untuk membatasi reproduksi melalui penggunaan berbagai kontrasepsi.

Dalam wacana modernitas dan konsumerisme, fetihisme tubuh perempuan ditunjukkan dengan kuasa wacana tentang standar-standar kecantikan dan daya tarik seksual. Perempuan harus mengikuti ukuran ukuran tentang kecantikan yang ditentukan oleh selera massal konsumtivisme. Sebagai amsal, bahwa cantik berarti adalah bertubuh langsing, berkulit putih, berambut panjang, dan lain-lain. Perempuan, lalu secara rela ataupun terpaksa, disiksa untuk mengikuti citarasa artifisial itu, melalui operasi plastik, kosmetik atau obat pemutih, diet berlebihan, dan lain-lain. Fetihisme juga telah menjadikan tubuh perempuan sebagai objek pameran dan promosi barang-barng konsumtif yang bahkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan, seperti iklan mobil, dan lain-lain.

Akan halnya Arsitektur, dimanakah posisinya dalam percaturan seksualitas itu? Jika tubuh perempuan atau bahkan tubuh Ibu adalah metafora dari tubuh alam, bagaimana arsitektur dan Arsitek kontemporer memperlakukan tubuh itu. Pertanyaan ini kerap menjadi bahan refleksi dan terdengar di telinga kalangan Arsitek, lalu membentur dinding dan bersipongang ketika berhadapan dengan realitas politik industri konstruksi dan properti.

Jelas, bahwa kesadaran, pengetahuan, serta ilmu dan teknologi tentang arsitektur bekelanjutan, arsitektur hijau, arsitektur hemat energi, arsitektur tropis, arsitektur biophilic, ekoarsitektur, dan banyak terma lain yang sejenis, sudah menjadi sesuatu yang inheren di kalangan Arsitek. Sebagian kesadaran dan pengetahuan itu mungkin berakar dari kekayaan dan kearifan arsitektur tradisional di Nusantara, yang menghormati alam sebagai perempuan, sebagai ibu, sebagai subjek. Feminitas ini pun ternyata relevan jika diukur dengan parameter pengetahuan modern tentang arsitektur berkelanjutan. Hasil penelitian Barliana dan Cahyani (2014), dengan fokus etno-arsitektur pada kampung adat Ciptagelar, menunjukkan bahwa sebagian besar aspek lingkungan tata ruang/lansekap desa adat Ciptagelar, bangunan, serta infrastruktur memenuhi kriteria/parameter arsitektur berkelanjutan.

Artinya, dalam konsep seksualitas arsitektur, tradisionalitas yang feminin dan modernitas yang patriarkis dan maskulin, sesungguhnya bisa berdampingan secara harmoni, saling melengkapi. Problemnya, adalah ada pada praktek industri konstruksi dan properti yang menghamba pada patriarkis kapitalistik. Sebagian,  bersembunyi di balik politik ekonomi rente. Realitas ini telah mendorong dominasi maskulinitas yang mensubordinasi feminitas alam; menggarap, merekayasa, memperkosa, mendegradasi lingkungan.

Sebagai contoh, paling tidak, ada dua tahap pemerkosaan dilakukan. Pertama, pada tahap penguasaan cadangan lahan (land bank). Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang No. 5 Tahun 2015, menyebutkan bahwa developer diijinkan menguasai cadangan lahan maksimum 400 hektar. Realitasnya, di kawasan Jabotabek, ada satu perusahaan developer yang sampai menguasai lahan hampir 15000 hektar. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan penguasaan lahan tambang atau kebun sawit, yang bahkan seseorang bisa menguasai jutaan hektar lahan. Artinya, terjadi deforestasi dan de-diversifikasi hayati pada jutaan hektar lahan. Kuasa atas lahan, yang sebagian diperoleh melalui cara cara yang tidak elok, adalah kuasa maskulinitas yang memperkosa feminitas tubuh ibu bumi.

Kedua, pada tahap desain arsitektur dan pembangunan konstruksi, konsep-konsep arsitektur hijau, arsitektur hemat energi, dan sejenisnya, sebagian besar masih berhenti sebagai jargon belaka. Kesadaran harmoni pasangan maskulinitas dan feminitas, tenggelam dalam pikiran dan tindakan oposisi biner, kekuatan maskulinitas modal yang melawan dan menekan feminitas alam. Arsitektur berkelanjutan memang membutuhkan pembiayaan lebih besar di awal, namun dalam jangka panjang sangat menguntungkan, baik dari segi biaya operasional, maupun terutama dari segi konservasi energi dan konservasi lingkungan. Namun demikian, dalam kultur maskulinitas dan patriarkis,  yang cenderung jangka pendek, dengan libido yang tergesa-gesa, serta mengandalkan kekuatan otot dan rasio, maka urgensinya adalah laba bukan masa. Orientasinya adalah yang banal, bukan yang subtil.

Bersambung ke bagian kedua….

Referensi

Barliana, M. Syaom., Cahyani, Diah (2014). Learning Pattern of Inheritance Tradition of Sustainable Architecture: From Ethno-Architecture to Ethno-Pedagogy TAWARIKH: International Journal for Historical Studies, Volume 5(2) April 2014

Foucault, Michel. The History of Sexuality. New York: Vintage Publications, 1980

Ricklefs, M.C.,  Lockhart, Bruce., Lau,  Albert, Reyes, Portia., Thwin, Maitri Aungn (2010). A New History of Southeast Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillian

Rahayu, S,H.  (2000).  Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia, 2000.

Roach, Thomas J. (2009). Sense and Sexuality: Foucault, Wojnarowicz, and Biopower.  Nebula. 6.3, September 2009

Saptandari, Pinky (2013). “Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi.” Biokultural 2 (No.1)

Shiva, Vandana (2005). Staying Alive: Women, Ecology and Development, London: Zed Book.

Suyono, Seno Joko (2000). Tubuh Yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.