ARSITEK(UR) SUDAH MATI?

M. Syaom Barliana

Terma kematian dan keberakhiran, sudah lama menjadi isu dalam berbagai khasanah filsafat, pengetahuan, ilmu, seni, sastra, dan teknologi. Sejak filsuf existensialis Friedrich Nietzsche menyatakan ”The Death of God”, Roland Barthes mengusung “The Death of Author”, John Horgan memproklamirkan “The End of Science”, Francis Fukuyama mengetengahkan “ The End of History and the Last Man”, Reg Whitaker mengungkapkan “The End of Privacy”, Peter Noever mengartikulasikan “The End of Architecture”, sampai penyair dan novelis Sapardi Djoko Pramono menuliskan “Pengarang Telah Mati”.

Ada banyak perspektif tentang isu kematian dan keberakhiran itu, bukan saja karena bidang kajian yang beragam, tapi juga karena paradigma yang berbeda. Esai ini, kalau mungkin, ingin memberi perspektif yang lain lagi.

Tentu pernyataan Arsitek(ur) sudah mati, adalah ungkapan provokatif, hiperbolik, yang sangat jauh dari realitas. Persisnya, barangkali adalah Arsitek(ur) akan mati, jika dan hanya jika prasyarat dan prakondisinya terpenuhi. Untuk sebagian besar, prakondisi terpenuhi atau tidak, bergantung kepada para Arsitek dan sekolah arsitektur itu sendiri.

Telaah bermula dari dua pertanyaan. Pertama, betulkah arsitektur dan atau Arsitek sedang menuju akhir, menuju kematian? The end of architect (ure). Kedua, jika ya ataupun juga jika tidak, bagaimana pemikiran dan solusi atas gagasan kritis itu. Harapannya, akan merangsang lahirnya berbagai pemikiran bernas, meskipun baru taraf eksperimental, menjawab pertanyaan itu.

Isu kematian arsitek (ur) itu, setidaknya bisa ditelusuri dari dua jalan. Jalan pertama, berbasis pada isu konseptual. Ini adalah jalan yang ditempuh oleh gerakan arsitektur postmodernisme yang kontroversial. Meskipun gerakan arsitektur postmodern sendiri, tidak juga memberikan jalan keluar yang memuaskan atas kritiknya kepada modernisme arsitektur, sampai saat ini belum ada lagi pemikiran besar untuk menjawab persoalan kontemporer arsitektur. Artinya, jika mengikuti wacana modernisme dan postmodernisme arsitektur, berarti mungkin saja akan ada dua fase “kematian” dalam arsitektur.

Untuk fase kematian arsitekur yang kedua, yang merujuk pada runtuhnya postmodernisme, esai ini belum menganalisis sampai sejauh itu. Telaah, hanya akan membahas kematian arsitektur (pertama) yang dimulai sejak runtuhnya gerakan arsitektur modern. Dalam ruang kelas arsitektur, kerapkali dihadirkan bahwa diruntuhkan dan dihancurkannya bangunan Pruitt-Igoe, dianggap sebagai simbol matinya arsitektur modern. Charles Jencks menyebut bahwa dinamika yang menyertai penghancuran itu, dilihat sebagai momen “arsitektur modern mati” (Marshall, 2015).

Pruitt-Igoe adalah kompleks rumah susun sewa di kota Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Awalnya, ia dipuji-puji sebagai “oasis di tengah gurun” atau “penthouse si miskin”. Terletak di lahan seluas 23 hektar, Pruitt-Igoe memiliki 33 gedung masing-masing dengan 11 lantai. Selesai dibangun tahun 1956, mega-block ini memiliki 2,870 unit hunian. Kompleks Pruitt-Igoe diperuntukkan bagi kelas-menengah dari ras kulit putih dan kulit hitam. Kedua ras disegregasi ke gedung-gedung berbeda. Dalam satu dekade pertama, Pruitt-Igoe menjadi rusun bobrok yang dihuni minoritas kulit hitam miskin. Sebelum dekade kedua terlampaui, Pruitt-Igoe mulai dihancurkan dan dibongkar. Kondisi fisik dan sosial begitu hancur sehingga pemerintah merasa tidak memiliki pilihan lain. (Moore,2016). Keberadaan Pruitt-Igoe yang pendek dan bermasalah merupakan ekspresi dari kegagalan arsitektur, kegagalan kebijakan, atau kegagalan masyarakat. Nasibnya tetap terikat dengan, dan mencerminkan, nasib banyak kota di Amerika pada pertengahan abad ke-20. (Marshall, 2015).

Salah satu sebab yang ditunjuk dari kegagalan arsitektur (late) modern, adalah terjadinya kejumudan dan ortodoksi dari pemikiran dan ideologi arsitektur modern awal. Gerakan arsitektur modern, yang pada mulanya berbasis pada rasionalitas, kejujuran, ideologi kiri arsitektur, dan sebagian metaphorik, lalu kehilangan elan filosofi dan ideologinya pada arsitektur modern akhir.

Pada karya Le Corbusier, misalnya, jelas diperlihatkan unsur konseptual atau intelektual dan visual metafor yang tangible, tak tersembunyi. Corbusier sangat terkesima oleh produk teknologi dan industri yaitu alat transportasi kapal terbang dan kapal laut. Teknologi mesin transportasi itu, dianggap dapat membebaskan manusia dari ketergantungan kepada alam, dan hanya mengambil sumber secukupnya dari alam. Atas prinsip dasar ini, ia kemudian menemukan konsep masion domino. (Frampton,1996). Dalam konsep domino, material dapat diproduksi dalam industri secara massal, sehingga efisien dan murah. Ini menunjukkan sikap sosialis atau kiri arsitekturnya yang berpihak pada rakyat. Konsep domino dengan material beton yang preprabicated sangat fleksibel untuk dikembangkan baik ke arah vertikal maupun horisontal terutama untuk permukiman rakyat.  Struktur rangka tanpa dinding pengisi, hanya dinding partisi fleksibel, mengakomodasi ekspresi pribadi atau selera estetika penghuni.

Demikian pula dengan metafor konseptual yang kemudian diusung sebagai international style. Terma ini pertama kali dikemukakan oleh Henry R. Hitchcock dan Philip Jonshon’s, dalam buku dengan judul yang sama dan terbit tahun 1932. Rujukannya jelas, yaitu konsep dan produk arsitektur karya dari para arsitek modernis seperti Louis Sulivan, Frank Lloyd Wright, Berlage, Le Corbusier, Walter Gropius, L. Mies van der Rohe, dll. International style adalah konsekwensi dari dua basis ide modernisme, yaitu standarisasi dan rasionalisasi.  Dua prinsip dasar itu dikemukakan baik oleh Gropius maupun dalam deklarasi La Sarraz oleh CIAM. (Frampton,1996).  Standarisasi adalah metode desain arsitektur, sebagai bagian dari efisiensi sistem produksi material, tapi sekaligus pula merupakan konsekwensi dari upaya rasional dan logis dalam desain yang mengekspresikan kualitas dan karakter material secara langsung dan jujur. Mies van der Rohe, seperti dijelaskan oleh Lesnikowski (1982), mengemas ihwal tersebut dalam tiga kredo metafor konseptualnya yang terkenal; rasional ialah prinsip pertama dari seluruh kerja manusia, kejujuran ialah fakta yang signifikan, dan kurang itu lebih (less is more).

Tidak dipungkiri, sejak mula pemikiran arsitektur modern mengandung problematika dan kontradiksi. Arsitektur modern lebih menekankan kepada definisi rasionalisasi ruang sebagai sesuatu yang efisien dan fungsional, sehingga kebutuhan dan kondisi psikologis manusia penghuninya dianggap homogen. Pendekatan positivistik dan generalistik dalam metoda perancangan, menyebabkan manusia menjadi sekedar statistik dalam demografi urban. Pada satu sisi, ruang-ruang didesain dengan ergonomik terstandar, sehingga sangat fleksibel dan efisien untuk mewadahi beragam aktivitas. Pada sisi yang lain, arsitektur kehilangan karakter tempat, sehingga mengakibatkan tereduksinya nilai-nilai kemanusiaan.

Problematika lalu muncul bertambah kronis pada arsitektur modern akhir. Pemikiran-pemikiran konseptual dan metaphorik dari para penggagas arsitektur modern, lalu berhenti dalam kejumudan dan ortodoksi. Inspirasi yang diikuti hanya bentuk fisik dan visualnya, tapi tidak pada kreativitas konsep-konsep yang berkembang di baliknya. Karena itu, kredo form follow function lalu menjadi form follow profit. Less is more menjadi less is bore. International style ditafsirkan menjadi universal style. Bahkan mungkin lebih parah, prinsip international style yang universal telah direduksi menjadi import style dari masa lalu atau dari dunia lain dalam bentuk fashion style.  Minimalis architecture sekedar menjadi minimal is architecture.

Sampailah kemudian pada kasus Pruit Igoe tersebut, yang menandai “kematian arsitektur modern”. Ini adalah isu konseptual, yang kemudian melahirkan jalan baru: arsitektur postmodern.

Jalan kedua, berkaitan dengan isu sosio-teknologikal. Berkaitan dengan isu sosio-teknologikal ini, terdapat tiga jalan bagi arsitek(tur) dalam menempuh jalan “kematian”nya, yaitu ketika arsitektur berhadapan dengan tantangan alam, ekonomi, dan perkembangan teknologi.

Pertama, ketika arsitektur berhadapan dengan tantangan alam. Tentu, telaah ini tidak berbicara tentang kematian yang sesungguhnya, ketika Tuhan yang Maha Kuasa mengakhiri kehidupan di dunia ini dengan kehancuran besar pada hari kiamat. Analisis merujuk kepada bencana alam yang ditakdirkan Allah seperti gempa bumi atau meletusnya gunung merapi. Juga, bencana akibat perilaku manusia dalam mengeksplorasi dan mengeksploatasi alam, yang mungkin pada suatu saat menghadirkan katastrofi, suatu bencana besar menghancurkan sebagian alam. Pemanasan global, banjir, longsor, kebakaran hutan, dan lain-lain.

Pada kasus yang ekstrim, sebagai amsal. Sekitar 99% air tawar yang ada di Bumi berada di atas Greenland dan Antartika yang membeku. Namun kini, es mulai mencair ke laut dalam jumlah banyak. Normalnya, perlu ratusan hingga ribuan tahun bagi semua es yang ada di Bumi untuk mencair, tapi bagaimana jika ada suatu bencana yang membuatnya meleleh dalam waktu semalam? Permukaan laut akan naik setinggi 66 meter. Kota-kota pesisir seperti New York, Shanghai, London, dan Jakarta akan tenggelam dalam banjir besar. Hal ini akan memaksa 40% populasi dunia untuk meninggalkan rumah mereka. Saat kekacauan terjadi di daratan, sesuatu yang menyeramkan juga berlangsung di bawah laut. Semua air asin akan menyusup dan mencemari cadangan air tawar di daratan. Artinya, cadangan air minum, irigasi, hingga sistem pembangkit listrik akan rusak. Widyaningrum (2019). Bagaimana Arsitek dan arsitektur menghadapi asumsi dan proyeksi bencana katastrofik ini?.

Demikianlah, pembangunan yang eksploatatif telah melahirkan berbagai dampak yang membahayakan lingkungan dan kehidupan manusia. Karena itu, isu lingkungan telah menjadi isu populer dan aktual dalam satu dekade terakhir ini. Pemanasan global dan dampak lingkungan lainnya, telah mengusik kesadaran masyarakat dunia untuk lebih peka dan kemudian bertindak bijak dalam pengelolaan lingkungan.

Hal itu melahirkan berbagai upaya untuk menghasilkan solusi yang tepat bagi permasalahan lingkungan. Sekaitan dengan perancangan lingkungan buatan, salah satu konsep pemecahan masalah itu adalah arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture). Menurut Steele (1997), sustainable architecture, adalah arsitektur yang memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang, dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Kebutuhan itu berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu kawasan ke kawasan lain dan paling baik bila ditentukan oleh masyarakat terkait.

Namun demikian, sustainable architecture bukan merupakan sebuah resep panasea yang dengan mudah menyelesaikan persoalan lingkungan. Arsitektur berkelanjutan tidak pula sekedar menyangkut persoalan teknologi-material, antara lain melalui efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan lahan, efisisensi penggunaan material, penggunaan teknologi dan material baru, dan manajemen limbah. Sustainable architecture adalah menyangkut sikap budaya, suatu perilaku responsif untuk memberikan pemahaman, penghargaan, dan tindakan dalam menjaga keselarasan alam. (Barliana & Cahyani (2014). Bagaimana Arsitek dan arsitektur menjawab persoalan ini?.

Kedua, ketika arsitektur menghadapi tantangan sosial-ekonomi. Modernisme yang bersekutu dengan sistem kapitalisme, telah melahirkan ketimpangan global. Sistem ekonomi kapitalisme, telah menjadi semacam infrastruktur untuk menyebarkan kolonialisme baru yang diterima secara sukarela. Kolonialisme bukan dalam arti penjajahan wilayah, tetapi penjajahan melalui kuasa ekonomi, arus informasi, dan budaya. Terjadi ketimpangan ekstrim, kekayaan ekstrim pada satu sisi, dan kemiskinan ekstrim pada sisi lainnya. Pada level Negara, 10 persen Negara Negara maju menguasai 90 persen ekonomi dunia. Sebaliknya 90 persen Negara-negara miskin dan berkembang hanya memperoleh remah remah 10 persen kekayaan ekonomi dunia. Pada level nasional, 10 persen orang orang kaya menguasai 90 persen kekayaan ekonomi nasional. Sebaliknya 90 persen penduduk miskin hanya memperoleh remah remah 10 persen kekayaan ekonomi nasional. Bagaimana arsitektur menjawab persoalan ini? Untuk kalangan menengah atas, barangkali para arsitek sudah banyak berkiprah dan dengan mudah melayani hasrat hegemoni dan selera artifisial mereka. Untuk kalangan miskin dan miskin ekstrim, bagaimana arsitektur menjawab tantangan peramasalahan ini?.

Pada aspek sosio ekonomi pula, Mouzon (2013), menyoroti ancaman kematian arsitekt(ur), dilihat dari para subjek pelaku yang terlibat, seperti Arsitek, Klien, pemasaran, dan perbankan.  Meskipun demikian, ia masih sangat percaya bahwa meskipun resesi hebat telah menjadi masa paling suram dalam arsitektur dan profesi Arsitek, tapi juga memiliki potensi untuk bertransformasi dan mengubah profesi menjadi lebih baik. Setidaknya bagi Arsitek yang mampu berubah dan beradaptasi dengan baik.  Ancaman kematian atau keberakhiran profesi Arsitek dan arsitektur, antara lain dipicu oleh alasan alasan berikut.

Akhir dari karyawan/pekerja Arsitek berpengalaman. Sejak tahun 2005, sudah lebih dari separuh orang yang sebelumnya bekerja di kantor arsitektur, kini sudah tidak lagi. Mereka umumnya berbisnis dengan membuka kantor Arsitek sendiri, atau menganggur, tetapi lebih banyak lagi yang bekerja dan meninggalkan profesi Arsitek. Ketika orang meninggalkan arsitektur, mereka jarang kembali karena tiga alasan: gelar arsitektur memberi bekal untuk melakukan begitu banyak hal lain; Arsitek adalah profesi yang penuh tekanan, tapi dengan bayaran jauh lebih rendah daripada profesi lain seperti hukum dan kedokteran; sebagian karyawan mungkin telah memulai perusahaan mereka sendiri dan bersaing dengan mantan bosnya untuk memperoleh proyek. Artinya, semakin sulit menemukan orang berpengalaman untuk bekerja loyal dalam satu perusahaan.

Akhir dari Klien yang sangat memercayai Arsitek. Selama sepuluh tahun terakhir, klien telah berubah dalam beberapa cara. Antara lain, pada satu dekade yang lalu, klien jauh lebih mudah menerima gagasan dan pendapat Arsitek. Sekarang, sebagian besar orang belajar ke mbah Google. Mungkin tinggal profesi Dokter, yang masih dipercayai untuk melakukan keahliannya sendiri, seperti melakukan operasi, misalnya.

Akhir dari gaya hidup boros. Dalam satu atau dua dekade terakhir, akibat krisis ekonomi, terdapat kecederungan orang untuk semakin berhemat. Ketika menghabiskan uang, orang yang hemat cenderung membeli produk daripada jasa. Mereka membeli pakaian yang dibeli di toko daripada memesannya ke penjahit, misalnya. Calon pemilik rumah lebih cenderung untuk membeli rumah jadi, daripada meminta jasa Arstek untuk mendesain secara khusus.

Akhir dari besarnya ukuran. Industri perbankan telah berubah secara drastis, dan jauh lebih konservatif. Akibatnya, orang semakin sulit memperoleh pinjaman hipotek untuk real estate. Karena itu, akan lebih banyak proyek kecil yang dibiayai, daripada bangunan dengan skala besar.

Akhir dari pemasaran model lama. Sebagian besar metode pemasaran yang telah digunakan para Arsitek selama beberapa dekade, sudah tidak berfungsi dan kehilangan daya tariknya. Generasi baru, lebih mudah menutup telinga terhadap promosi penjualan, secepat menekan tombol hapus spam pada email. Namun demikian, berita baiknya adalah bermunculan media sosial baru yang bekerja jauh lebih baik, dan dapat menjangkau lebih banyak orang dan tempat-tempat yang sangat padat oleh klien potensial muda, seperti blogging, facebook, tweeting, instagram, youtube, komunitas online, dan lain-lain.

Ketiga, ketika arsitektur menghadapi tantangan teknologi informasi, komputasi, simulasi, dan kecerdasan artifisial. Munculnya komputasi awan telah membawa banyak inovasi dengan sangat cepat. Banyak penyedia cloud mendukung panduan dan praktik arsitektur yang kaya. Jika secara teknologi, semua persoalan perancangan arsitektur sudah bisa dikerjakan oleh kecerdasan mesin, lalu dimanakah peran dan eksistensi Arsitek?. Apakah sebentar lagi akan datang saatnya “kematian” Arsitek? Dengan kata lain, akankah masih dibutuhkan sekolah arsitektur? Akankah sekolah arsitektur menuju akhir kebangkrutan dan “kematiannya”? Inikah saatnya menjawab, pada level mana, pada ceruk mana, dan pada aspek apa, Arsitek dan sekolah arsitektur masih dibutuhkan?.

Esai ini, seyogyanya ingin menganalisis dan mencari solusi atas tantangan tema kontroversial, the end of architecture tersebut. Namun demikian, dalam tulisan yang sangat singkat, dan kapasitas yang terbatas, tampaknya itu merupakan sesuatu yang muskil. Karena itu, biar waktu, kesempatan, peluang, dan ragam pemikiran dari banyak orang, Arsitek, Pemikir arsitektur, dan sekolah arsitektur yang ditantang untuk menjawab pertanyaan eksitensial tersebut di atas.

Diadaptasi dari dan untuk pendalaman lihat buku: Arsitektur Eksperimental: Menempuh Dua Jalan

Referensi

Barliana, M. Syaom (2008). Metafor Dalam Arsitektur Kontemporer:  Puisi Yang Terkuburkan. Jurnal TERAS,  Vol VIII, No 1, Juli 2008 Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur,   Universitas Pendidikan Indonesia)

Barliana, M,S., Cahyani, Diah (2014). Learning Pattern Of Inheritance Tradition Of Sustainable Architecture:  From Etno-Architecture To Etno-Paedagogy. Bandung: Tawarikh, International Journal for Historical Studies, Vol 5 No.20. April 2014.

Colin Marshall (2015). Pruitt-Igoe: the troubled high-rise that came to define urban America – a history of cities in 50 buildings, day 21. Tersedia di: https://www. theguardian.com/cities/2015/apr/22/

Frampton, Kenneth (1996). Modern architecture, a critical history. London: Thames and Hudson Ltd.

Lesnikowski, Wojciech G. (1982). Rationalism and romanticism in architecture. New York: McGraw-Hill Book Co.

Moore, Rowan. Pruitt-Igoe: death of American urban dream. 26 Feb, 2012. http://www.theguardian.com/artanddesign/2012/feb/26/pruitt-igoe-myth-film-review diakses 20 Mei 2016

Mouzon, Steve (2013). The End of Architecture as We Knew It. Tersedia di: http://www.originalgreen.org/blog/2013/the-end-of-architecture-as.html

Steele, J. (1997). Sustainable Architecture; Principles, Paradigms, and Case Studies. New York: McGraw-Hill

Widyaningrum, Gita, L (2019).  Ini yang Akan Terjadi Jika Semua Es di Bumi Mencair dalam Semalam. Tersedia di: nationalgeographic. grid.id/read/131886699