Bahasa Ibu

Ditulis untuk menyambut Hari Bahasa Ibu se-Dunia, 21 Februari
(Tatang Sumarsono)

Bahasa ibu terusir dari rumah, menempati pojok halaman belakang. Tak ada yang hirau, kecuali sebatas pemulung yang setiap pagi mengais-ngais bak sampah. Bahasa ibu dimasukkannya ke dalam karung, bersama barang rongsokan lain. Di pengepulan yang kumuh, bahasa ibu ikut ditimbang, sebelum akhirnya ditukar dengan uang recehan. Bahasa ibu ditumpuk, lalu diangkut truk besar, menuju pabrik daur ulang.
Ada juga yang luput dari jangkauan mata pemulung, lantaran bahasa ibu sudah kadung terbuang ke selokan yang airnya pekat bercampur limbah. Saat air bah menerjang perkampungan, bahasa ibu ikut terhanyutkan. Hal ini luput dari perhatian para jurnalis, apakah bahasa ibu sampai juga ke laut lepas, tempat kapal nelayan asing ditenggelamkan, atau justru tersangkut di batu-batu karang.
Akan halnya yang masuk ke pabrik pengolahan milik para taipan, bahasa ibu diubah menjadi produk baru, menjadi sesuatu yang sudah meninggalkan keasliannya. Dikemas dan didesain semenarik mungkin, lalu dilempar ke pasaran dengan iklan gila-gilaan. Khalayak banyak juga yang tergiur, apalagi setelah dijadikan perangkat kampanye oleh politisi untuk meraup simpati publik.
Syahdan kondisi terkini di dalam rumah, para ibu sudah lupa kepada bahasa ibu. Demikian pula golongan bapaknya, selalu merasa menjadi sosok tampan pada saat tidak berbahasa ibu. Anak-anak pun berubah kenes ketika menyentuh layar gawai yang difituri bukan dengan bahasa ibu. Pengaruh dari dunia antah-berantah semakin menyeruak ke tengah keluarga, lalu terkunci di dalam hati.
Bahwa hidup harus dimoderenkan, itu merupakan tafsir para petinggi negeri atas mukadimah konstitusi. Peradaban dibangun melalui gedung tinggi dan super market yang dengan gagahnya melahap pasar tradisional. Tak ada lagi bahasa ibu pada proses jual-beli, dan label harga dikemas sesuai zaman globalisasi. Tempat hunian moderen dengan segala fasilitasnya dibangun atas dasar konsep heteroginisasi, tanpa mengikut-sertakan pribumi. Maka tampillah kompleks pemukiman dengan nama gagah mendunia, bukan nama yang dianggap kampungan yang mencerminkan keadaan alam asalnya. Transportasi antar kota tambah dipercepat, yang membuat orang semakin bergegas. Ada sibuk yang karena alasan bekerja, ada pula yang merasa dirinya bekerja padahal tidak berbuat apa-apa, misalnya mereka yang kerap membetulkan letak dasi, menganggap dirinya menjadi yang terhormat karena sedang melegislasi-i penghuni negeri.
Semua itu butuh dana besar. Hutang ke luar negeri adalah pilihan pasti. Apapun dijaminkan kepada para pengijon, kecuali bahasa ibu, yang memang tidak laku. Karena itu, bahasa ibu tercoret dari daftar menu para pembuat kebijakan. Lain halnya dengan pemilihan putri ayu yang dianggap mengangkat citra anak bangsa.
Grafik konsumsi meroket tanpa henti, sehingga keran impor dibuka seluas-luasnya. Hidup hanya menjadi urusan perut, yang semua itu menghasilkan energi bagi hasrat kelamin semata. Dengan mudahnya murid sekolah membuat foto porno, lalu diunggah sambil cekikikan. Semua serba bisa dan serba boleh.
Tak ada lagi rasa santun, dan amarah pun mudah dipicu. Anak memperkarakan ibu, murid menghantam guru, atau kentut tak kenal waktu. Penghargaan bukan lagi terhadap pribadi orang, melainkan cukup ditulis pada selembar piagam. Memaki bisa diumbar kapan saja, sekalipun terhadap polisi yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan. Tak laku lagi petatah-petitih, atau kearifan lokal. Manusia pun bermetamorfosa menjadi binatang, meski baru sebatas dalam panggilan, khususnya anjing.
Adapun menjaga akar budaya, lho itu adalah tugas penjaga museum yang terbungkuk-bungkuk terserang asma. Sedangkan dalam kehidupan nyata, masyarakat kosmopolitan menjadi tujuan utama. Berkiblatlah ke negara maju! Tanggalkan jatidiri, agar katak keluar dari tempurung kelapa! Begitulah semboyan yang kerap didengungkan, atau dipublikasikan lewat poster yang seenaknya dipakukan pada sebatang pohon merana di pinggir jalan.
Namun, nyatanya kehidupan ini ibarat roda yang menggelinding. Itu bukan pepatah, melainkan kenyataan. Ada saatnya di bawah, lain waktu merangkak ke atas. Namun begitulah, umumnya orang betah bertengger di puncak, dan tidak begitu hirau saat meluncur turun. Euforia membuat orang lupa akan masa depan yang tidak selamanya seterang lampu pijar.
Dan begitulah kenyataan yang terjadi, kehidupan menjadi karut-marut lalu terpuruk. Peristiwa yang tidak diharapkan bisa saja tiba-tiba terjadi di depan mata: anak menghardik orang tuanya, sesepuh kampung dihujat penggembala kambing lantaran soal sepele, atau bahkan pengemudi ojek dibacok di pinggir jalan tanpa alasan yang jelas, apalagi masuk akal. Suasana jadi kacau, karena setiap tindakan yang dilakukan tercerabut dari akar kehidupan. Orang-orang pun kehilangan pijakan hakiki, sehingga anak-anak yang mulai tumbuh dewasa tidak sempat dibekali tatanan nilai yang sudah teruji.
Alkisah, pada kondisi seperti itu, ada sebagian orang (dalam jumlah terus membengkak) yang teringat bahasa ibu. Andai saja bahasa ibu masih ada, demikian yang sering jadi bahan omongan di antara mereka, kiranya kehidupan tidak akan seambruk sekarang, sebab ada yang dapat dijadikan pegangan, meskipun hanya berupa warisan usang.
Maka diselenggarakanlah seminar, dengan menghadirkan sejumlah narasumber ahli, atau yang pura-pura ahli. Tema yang diusung pun tidak sementereng dan bombastis seperti biasanya, melainkan cukup sederhana saja: bagaimana caranya mengembalikan bahasa ibu ke tempat asalnya.
Tapi, di manakah sekarang bahasa ibu berada? Para narasumber kebingungan. Sebab, produk baru hasil daur ulang dari bahasa ibu tidak mungkin dikembalikan ke asal, apalagi jika sudah terkontaminasi, khususnya oleh perilaku politisi busuk dan pemangku kekuasaan.
Beruntunglah suasana kebuntuan agak terpecahkan, setelah ada informasi sepintas tentang keterhanyutan bahasa ibu ke laut lepas di masa lalu. Itulah yang dijadikan sandaran pengambilan kesimpulan seminar, meski seolah-olah terkesan dipaksakan.
Disiapkanlah ekspedisi pencarian bahasa ibu ke lautan. Sebuah kapal dengan sejumlah peralatan canggih segera diluncurkan, diiringi lambaian tangan jutaan orang. Ada secercah harapan, bahasa ibu segera ditemukan, untuk difungsikan kembali sebagaimana mestinya.
Hingga tulisan ini disusun, tim ekspedisi masih belum kembali. Kabarnya, lautan selalu saja bertingkah aneh sehingga mengundang badai. Orang-orang pun cemas, meski sebagian kecil ada juga yang masih sempat berdo’a. ***