Bedah RUU Sisdiknas, IKA UPI Komisariat FPIPS Selenggarakan Webinar Nasional Pendidikan

Bandung, UPI

Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Komisariat FPIPS menyelenggarakan Webinar Nasional Pendidikan dengan tema “Membedah Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas Perspektif LPTK dan Pendidikan Guru” pada hari Sabtu, 23 April 2022 secara daring. Kegiatan ini merespon beredarnya naskah RUU Sisdiknas yang menuai polemik dan banjir kritik dari berbagai pihak.

Webinar ini dipandu langsung oleh Wakil Ketua IKA UPI Komisariat FPIPS Drs. Abdul Latief, M.Pd., dan menghadirkan empat narasumber pakar yakni Prof. Sunaryo Kartadinata (Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) sekaligus Dubes Indonesia di Uzbekistan), Ferdiansyah, S.E., M.M. (anggota Komisi X DPR RI), Doni Koesoema A, M.Ed. (pemerhati pendidikan dan pengelola Pendidikan Karakter Utuh Channel), dan Momon Sudarma, S.Pd., M.Si (praktisi pendidikan dan Ketua Departemen Advokasi, Hukum dan HAM, dan Pembinaan Profesi IKA UPI Komisariat FPIPS).

Ketua IKA UPI Komisariat FPIPS Prof. Cecep Darmawan dalam pengantar webinar menyampaikan bahwa pembentukan RUU Sisdiknas ini disinyalir kurang mengedepankan asas keterbukaan dan kurang melibatkan partisipasi publik secara bermakna terutama partisipasi dari kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian perihal LPTK dan Pendidikan Guru.

Ia menyarankan seharusnya pembahasan RUU ini melibatkan para akademisi, LPTK, organisasi guru, bahkan lebih baik lagi jika Kemendikbudristek datang ke kampus-kampus LPTK untuk berdiskusi dengan para dosen, guru besar, dan mahasiswa atau BEM secara langsung untuk menghasilkan rancangan yang sesuai harapan.

Sementara itu, Prof Sunaryo dalam pemaparannya menyampaikan bahwa Sistem Pendidikan Nasional seharusnya menjadi pemersatu bangsa, strategi politik bangsa, dan memajukan kebudayaan nasional. Pendidikan nasional memikul tangungjawab untuk menghadirkan guru dengan empat misi negara ke dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, guru perlu memiliki kecakapan “politik” mengarahkan dan membawa peserta didik mencapai tujuan kemerdekaan, karena guru adalah pemandu arah perjalanan pembangunan nasional.

Dalam pandangan Prof Sunaryo, tujuan pendidikan nasional bukanlah Profil Pelajar Pancasila, seharusnya tujuan pendidikan nasional adalah sosok utuh manusia Indonesia masa depan yang berlandaskan pada filsafat masyarakat Indonesia.

Selanjutnya, Doni Koesoema menyoroti tentang hilangnya kualifikasi akademik guru dan LPTK. Fakta bahwa banyak guru tetap mengajar meskipun tidak memenuhi kualifikasi akademis tidak berarti bahwa norma tentang kualifikasi akademis ini keliru atau tidak tepat diatur dalam UU, sehingga dihapuskan.

“Pengaturan kualifikasi minimum di tingkat UU yang dirasa tidak fleksibel, seharusnya ditata atau diperkaya dengan norma yang memberi ruang pada fleksibilitas karena pengecualian. Bukan sebaliknya, membuat yang pengecualian menjadi aturan umum. Adanya norma tentang Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) bisa menjadi alternatif pemerkaya tanpa menghapuskan kualifikasi akademik guru. Menghapuskan kualifikasi akademik minimum guru dalam UU justru tidak akan menjamin kualitas pendidikan di masa depan. Artinya ada defisit tentang visi guru masa depan, serta lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek (pragmatis),” tegasnya.

Selain itu, hilangnya definisi LPTK pun menjadi sorotan. Doni menilai RUU Sisdiknas meredusir peranan Perguruan Tinggi (PT) bertugas menjadi sekedar penyelenggara pendidikan profesi guru. Hilangnya peranan PT yang khusus mempersiapkan calon guru sebenarnya terkait dengan visi pembuat UU, apakah perancang UU Sisdiknas ini memiliki visi tentang pentingnya lembaga pendidikan tinggi yang khusus mempersiapkan para guru masa depan.

Momon Sudarma mengkritisi konsistensi istilah antara pendidik dengan guru, peserta didik dengan siswa/pelajar, lembaga/satuan pendidikan dengan sekolah. Selain itu, perlu kejelasan dalam RUU, misalnya profesi (PPG) apakah lanjutan atau terpisah, indikator persekolahan mandiri, ukuran bencana untuk layanan dan pendidikan khusus, sampai pesantren formal.

Momon pun mengkritisi naskah akademik RUU yang beredar, “aneh, sejarah pendidikan Muhammadiyah, NU, dan sejenisnya jadi latar belakang, tapi yang dicontoh Finlandia, Tiongkok, Singapure, dan lain-lain” ujarnya.

Selanjutnya, anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah menyampaikan bahwa DPR RI belum menerima secara resmi RUU Sisdiknas dari Kemdikbudristek, dirinya justru mendapatkan draft RUU dari beberapa pemangku kepentingan pendidikan. Ferdi menjelaskan bahwa esensi yang tidak boleh hilang dalam revisi UU Sisdiknas adalah visi dan misi bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, beriman dan bertakwa, dan sebagainya.

Disamping itu, RUU ini harus berpihak kepada guru, “Di RUU ini harus jelas bagaimana karier guru, perekrutan guru, pembinaan guru, sampai kesejahteraan guru, jika tidak ada untuk apa direvisi, karena aturan yang ada sudah baik, yang namanya merevisi maka harus lebih baik, jika lebih jelek maka tidak perlu direvisi,” tambahnya.

Di akhir acara, program beasiswa IKA UPI Komisariat FPIPS diluncurkan secara resmi oleh Ketua Departemen Sosial dan Beasiswa Dr. Jakiatin Nisa. Program ini merupakan program bantuan biaya pendidikan yang dikhususkan bagi mahasiswa aktif FPIPS UPI yang tidak mampu dan berprestasi yang bersumber dari donasi para Alumni FPIPS UPI.

Kegiatan ditutup secara resmi oleh Sekretaris Jenderal IKA UPI Komisariat FPIPS Deni Kurniawan As’ari, M.Pd dan diharapkan kegiatan seperti ini dapat diselenggarakan secara rutin demi mengawal dan memajukan pendidikan Indonesia. (Rizki M. Ramdhan, Wakil Sekretaris IKA UPI Komisariat FPIPS)